Senin, 30 Juni 2008

Pendiam....

Ayah saya mungkin termasuk orang yang sangat pendiam. Agak susah ngajak beliau ngobrol panjang lebar. Bahkan dengan anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, ayah cenderung bicara seperlunya saja.

Saya tidak bisa memastikan penyebab kenapa ayah begitu pediam. Kata orang, orang pendiam itu bisa jadi karena dia rendah diri. Ada juga yang bilang orang pendiam itu karena pengetahuan/wawasannya sempit, sehingga dia tidak punya banyak bahan untuk bicara/ngobrol panjang lebar. Ada juga yang bilang orang jadi pendiam pada situasi sosial tertentu karena ia merasa tidak perlu banyak bicara pada situasi tersebut. Apapun itu, yang pasti ayah saya sangat pendiam dalam segala situasi dan kondisi.

Namun, walau pendiam, ayah saya pernah bikin orang keki. Suatu ketika, saat ngantri uang pensiun, beliau ketemu dengan salah seorang temannya saat masih bekerja. Baru kali ini mereka ketemu saat sama-sama ngantri uang pensiun setelah bertahun-tahun tidak pernah ketemu. Sebagaimana layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu, mereka terlibat obrolan ringan, antara lain ngobrol soal kondisi keluarga masing-masing. Seperti biasa, ngobrol dengan siapapun dan membicarakan masalah apapun, ayah selalu bicara dan menjawab seperlunya.

"Gimana keadaanmu sekarang?" tanya si teman ayah basa-basi memulai obrolan. Ayah menjawab singkat, "Alhamdulillah baik". Si teman ayah melanjutkan, "Aku sekarang lumayan enaklah, anak-anak udah pada berhasil. Mereka bisa sekolah sampai perguruan tinggi, lanjutnya. Kemudian ia menyebut perguruan tinggi-perguruan tinggi swasta di Padang tempat anak-anaknya kuliah. Anakku yang sulung malah udah jadi bidan sekarang, dan banyak bantu-bantu biaya kuliah adik-adiknya", kata si teman ayah bangga. Ayah mendengar dengan penuh perhatian sambil sesekali mengangguk-angguk dan mengulum senyum, kemudian berkomentar singkat, "Alhamdulillah kalau begitu. Si teman ayah yang merasa udah di "atas angin" dan sedikit under estimate pada kondisi ayah sekarang, karena ia lihat ayah cuma diam dan gak bercerita apa-apa soal anak-anaknya, kemudian bertanya, "anak-anakmu gimana sekarang"? "Alhamdulillah juga baik" kembali ayah menjawab singkat. "Udah pada selesai mereka sekolah"? kejar si teman ayah. "Yang sulung udah, dan adik-adiknya masih sedang kuliah", jawab ayah. "Yang sulung itu udah dapat kerja"? si teman ayah terus mengejar. "Alhamdulillah sudah", jawab ayah pelan. "Kerja dimana"? Si teman ayah makin tak sabar bertanya. "Di rumah sakit Dr. Achmad Muchtar" (RSUP di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), jawab ayah masih dengan suara datar. "Ooo...kerja sebagai apa? perawat ya"? si teman ayah menyimpulkan. Ayah sedikit terdiam, trus dengan tetap berusaha bernada wajar beliau menjawab, "bukan perawat...., dokter". Si teman ayah terlihat gelagapan. Sejenak dia tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Setelah hening beberapa saat, si teman ayah kembali bertanya, "adik-adiknya kuliah dimana”? kali ini nada suara si teman ayah lebih rendah dan terkesan hati-hati… Ayah sebenarnya sudah enggan menjawab. Beliau sudah tidak enak hati karena temannya itu gelagapan mendengar jawabannya yang terakhir tadi. Tapi karena kelihatannya si teman ayah itu memang ingin sekali mendengar jawaban ayah, ayah kembali menjawab singkat, “untungnya mereka kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, karena kami gak akan mampu biayai kalau mereka kuliah di swasta. Baru inilah jawaban ayah yang disertai keterangan. Berikutnya si teman ayah benar-benar tidak bicara lagi…dan ayah makin jadi tidak enak hati.

Begitulah ayah saya. Si pendiam yang sangat tidak mau menonjol-nonjolkan diri dan keluarganya. Namun sifat diamnya itu kadang dianggap orang sebagai sebuah bentuk kesombongan juga. Seperti cerita di atas, si teman ayah menganggap ayah melakukan kesombongan pasif (kalau boleh diistilahkan demikian). Padahal, saya yakin betul, ayah benar-benar tidak bermaksud membuat temannya itu merasa kalah. Beliau Cuma menjawab apa adanya, karena memang begitulah beliau dari dulunya.

Senin, 23 Juni 2008

Profesi Yang "Membunuh" Nasionalisme

Hingar bingar Euro 2008 belum mencapai puncaknya. Namun, dari pesta sepakbola benua biru itu ada hal penting yang patut jadi bahan diskusi, yaitu soal nasionalisme. Jika anda memang penggemar sepakbola, atau setidaknya tertular demam sepakbola selama perhelatan Euro 2008, pasti melihat beberapa momen "menarik" berkaitan dengan nasionalisme. Antara lain:
Striker Jerman, Lucas Podolsky, terlihat dingin, nyaris tanpa ekspresi dan tidak melakukan selebrasi selepas mencetak gol ke gawang Polandia di babak penyisihan group. Podolsky adalah pemain Jerman berdarah Polandia.
Juga terjadi pada babak penyisihan group, striker Swiss, Hakan Yakin, yang keturunan Turki, juga memperlihatkan perilaku yang sama, dingin dan tanpa selebrasi setelah melesakkan gol ke gawang Tim Nasional tanah leluhurnya itu.
Guus Hidink, pelatih Rusia berkebangsaan Belanda terlihat begitu gembira dan berjingkrak-jingkrak kegirangan ketika tim asuhannya membekap Belanda 3 - 1 pada babak perempat final.
Ada ironi dalam tiga contoh momen di atas. Para pemain terlihat "menyesal" menjebol gawang tim lawan yang kebetulan adalah tim dari tanah leluhur mereka. Namun, pelatih, malah memperlihatkan sikap sebaliknya.
Para pemain seperti Lucas Podolsky dan Hakan Yakin, terlihat seolah masih memiliki nasionalisme ganda. Di satu sisi ingin memberikan kemenangan untuk tim negara mereka saat ini, namun disisi lain mereka juga seolah tidak tega melihat tim dari tanah leluhur mereka itu "terluka" oleh gol yang mereka buat. Sebab gol mereka itu tentunya juga "melukai" hati seluruh warga negara leluhur mereka tersebut. Akan tetapi perasaan seperti yang dirasakan oleh kedua pemain itu agaknya tidak dirasakan oleh Guus Hidink. Seolah tak berperasaan, Hidink mengiris-iris hati semua orang Belanda dengan ekspresi bahagianya ketika tim asuhannya Rusia mengalahkan Belanda.
Kenapa ironi seperti itu muncul? Tentunya karena Profesi. Para pemain saat membela negara mereka dalam ajang antar negara tidak dibayar sebagaimana ketika mereka membela klub mereka masing-masing. Sedangkan pelatih, sebagaimana halnya Guus Hidink, dibayar dengan nilai yang tinggi ketika melatih sebuah tim nasional suatu negara dalam suatu ajang seperti Euro 2008 ini. Konsekwensinya, ia harus menjalankan profesinya itu secara profesional, termasuk dengan "membunuh" rasa nasionalisme. Makanya Hidink bisa bersuka cita disaat seluruh saudara sebangsa dan setanah airnya mengalami duka cita yang mendalam. Ternyata profesi sebagai pelatih sepakbola bisa mengikis bahkan "membunuh" rasa nasionalisme.

Kamis, 19 Juni 2008

Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan Butuh Optimalisasi “Pengamanan” Hutan

Pada suatu kesempatan, tim dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Agam Kuantan (tempat saya bekerja, merupakan Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan di daerah) mengunjungi salah satu lokasi kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di sebuah nagari di salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Barat dalam rangka pelaksanaan bimbingan teknis dan kelembagaan. Kegiatan HKm di nagari tersebut merupakan salah satu dari beberapa kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah Propinsi Sumatera Barat yang difasilitasi oleh BPDAS Agam Kuantan. Di lokasi tersebut BPDAS Agam Kuantan telah memfasilitasi dan membina masyarakat setempat membuat tegakan meranti pada areal seluas 200 hektar.

Kegiatan itu sendiri terlihat cukup berhasil. Ini terlihat dari dua indikator, yaitu indikator fisik dan kelembagaan. Indikator fisik memperlihatkan fakta bahwa setelah penanaman tahun pertama, dan dilanjutkan dengan pemeliharaan pada tahun kedua dan ketiga, persentase tanaman yang tumbuh cukup tinggi. Salah satunya terbukti dengan tidak terlalu banyaknya perlu dilakukan penyisipan pada saat pemeliharaan untuk mengganti tanaman yang mati. Dari sisi kelembagaan juga telah berhasil ditanamkan tata nilai yang positif di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat di nagari tersebut memiliki kesadaran yang tinggi untuk memelihara tanaman pada areal 200 hektar tersebut. Tak cuma itu, secara umum masyarakat juga menjadi memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi terhadap sumberdaya alam (khususnya hutan) di wilayah nagari mereka.

Kembali ke soal kunjungan tim BPDAS Agam Kuantan tadi. Ada hal yang patut dicermati pada lokasi HKm tersebut. Pada nagari-nagari tetangganya banyak dijumpai kegiatan pembalakan hutan, yang tentu saja illegal, karena dilakukan di kawasan hutan negara atau kawasan konservasi yaitu di daerah-daerah yang kelerengannya lebih dari 40%. Dalam perjalanan menuju lokasi HKm pada hari itupun, rombongan BPDAS Agam Kuantan secara kasat mata juga melihat aktivitas illegal logging tersebut. Jelas terdengar deru gergaji mesin, dan diikuti dengan digelindingkannya kayu-kayu hasil tebangan dari perbukitan menuju pinggir jalan untuk kemudian diangkut. Menurut masyarakat setempat, aktivitas ini sebenarnya diketahui oleh pihak-pihak yang seharusnya mencegahnya.

Bagi tim BPDAS Agam Kuantan, kondisi ini sungguh dirasakan sebagai sebuah ironi yang ”meyesakkan dada”. Pada satu sisi mereka bersama masyarakat dengan sabar menanam pohon pada areal yang terbatas, merawat dan memeliharanya, kemudian dengan perasaan bangga dan penuh harap mengawal pertumbuhan tanaman tersebut inci demi inci. Namun disisi lain, tak jauh dari lokasi itu, hutan dirusak tak mengenal batas, pohon-pohon ditebang secara serampangan tanpa peduli berapa ukurannya. Selain itu, pada satu sisi mereka dengan sabar dan telaten membina dan menggugah kesadaran masyarakat untuk sadar akan pentingnya upaya-upaya RHL, sehingga masyarakat akhirnya tergugah kesadarannya dan dengan penuh semangat menjaga apa yang telah mereka tanam, bahkan lebih dari pada itu masyarakat juga dengan antusias berusaha melindungi hutan yang masih utuh yang berada di wilayah nagari mereka. Namun di sisi lain, tak jauh dari nagari itu, oknum-oknum tertentu justru memanfaatkan ketidak berdayaan dan kemiskinan masayarakat untuk memperalat mereka menjadi ujung tombak penjarahan hutan! Jika seperti ini kondisinya, upaya-upaya RHL tentu menjadi tak berarti.

Cerita di atas meskipun hanya mencerminkan kondisi pengelolaan hutan pada skala yang sangat kecil, namun mewakili kondisi makro kehutanan di Indonesia. Wajar saja jika akhirnya banyak tudingan miring yang mengatakan kegiatan RHL tidak menghasilkan apa-apa. Buktinya, perbaikan lingkungan tak kunjung terasa, banjir dan tanah longsor tetap saja terjadi. Tentu saja. Perlu disadari bahwa tanaman yang ditanam baru akan berfungsi secara ekologis setelah beberapa tahun, yaitu ketika pohon telah tumbuh besar. Disamping itu, tentu saja karena kegiatan-kegatan RHL belum diringi dengan optimalisasi pengamanan hutan. Sehingga muncul kondisi, laju luas kerusakan hutan jauh melebihi luas hutan dan lahan yang mampu direhabilitasi. Sebagai gambaran, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dicanangkan pemerintah semenjak tahun 2003 hanya menargetkan merehabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta hektar di seluruh Indonesia hingga tahun 2007. Bayangkan, andai gerakan ini tingkat keberhasilannya 100% sekalipun, baru hanya mampu merehabilitasi kerusakan hutan yang terjadi dalam kurang dari satu setengah tahun saja! Karena menurut data terakhir, laju kerusakan hutan Indonesia seluas 1,8 juta hektar/tahun. Bahkan sebagian kalangan non pemerintah menyebut angka 3 sampai 3,5 juta hektar/tahun.

Jadi, tak ada jalan lain. Pengamanan hutan harus dioptimalkan. Dengan pengamanan yang optimal, laju kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian barulah upaya-upaya rehabilitasi yang kita laksanakan akan menampakkan hasil dan memberi pengaruh yang signifikan dalam memperbaiki kondisi lingkungan sehingga percepatannya juga dapat diharapkan akan semakin tinggi.

Pengamanan hutan yang dimaksud tidak saja pengamanan terhadap ancaman dari illegal deforestasi, seperti pembalakan liar oleh pemegang maupun bukan pemegang ijin, tapi juga dari ancaman legal deforestasi, yaitu karena pengalihan fungsi hutan untuk berbagai kepentingan. Sebab, menyusutnya kawasan hutan Indonesia yang besarannya makin meningkat dari tahun ke tahun tidak saja karena illegal deforestasi tapi juga karena kebijakan legal deforestasi tersebut.

Pengamanan hutan dari ancaman illegal deforestasi dapat dioptimalkan dengan law enforcement yang tegas tapi progresif. Aparat penegak hukum harus bersih terlebih dahulu, kemudian bertindak tegas, dan dalam mengusut perkara-perkara pengrusakan hutan harus sedapat mungkin mengedepankan rasa keadilan ekologis. Polisi menangkap pelaku tanpa pandang bulu, jaksa menuntut dengan ancaman hukuman maksimal, dan hakim seyogyanya secara progresif menjatuhkan vonis dengan mengedepankan rasa keadilan ekologis tadi. Hakim jangan hanya berpedoman secara kaku pada ketentuan-ketentuan hukum secara formal belaka sehingga selalu terjebak pada situasi tidak terbuktinya kesalahan seorang tersangka dalam persidangan walau secara materil terasa sangat nyata kesalahannya dan benar-benar bertentangan dengan rasa keadilan.

Selanjutnya, kondisi yang tidak mudah adalah mengamankan hutan dari ancaman legal deforestasi. Sebab hal ini menyangkut politik hukum dan politik ekonomi yang dijalankan pemerintah yang tentu saja akan sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam memperlakukan sumberdaya hutan. Sepanjang pembangunan masih berorientasi pada angka-angka pertumbuhan ekonomi semata, maka sumberdaya hutan akan tetap menjadi sasaran untuk memenuhi target pertumbuhan tersebut. Hutan akan selalu dikorbankan untuk kepentingan perluasan areal perkebunan dan pertanian, kepentingan pertambangan, kebutuhan areal pemukiman dan pengembangan wilayah dan lain-lain, yang semuanya itu untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Maka akan semakin sering terjadi pelepasan/pengalihan fungsi kawasan hutan dan semakin tinggilah angka legal deforestasi.

Hutan juga seringkali dianggap sebagai sumberdaya alam yang tidak berfungsi atau tidak menghasilkan apa-apa jika tidak dieksploitasi. Anggapan demikian menyebabkan akan selalu lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang eksploitatif terhadap sumberdaya hutan. Agar hutan aman dari ancaman legal deforestasi, harusnya paradigma yang demikian dapat dirubah. Mengutip Sofyan P. Warsito (UGM), sumberdaya hutan sebenarnya memiliki keistimewaan dibanding dengan sumberdaya alam lain seperti barang tambang misalnya. Sumberdaya hutan dapat berfungsi dalam kondisi stock (apa adanya) mapun dalam kondisi flow (hasil eksploitasi). Namun jika kita arif, akan jauh lebih besar manfaat hutan jika dibiarkan tetap berada dalam kondisi stock dari pada jika dieksploitasi, karena dalam kondisi stock, hutan akan berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Sedangkan sumberdaya alam lain, seperti tambang, hanya bermafaat jika telah dieksploitasi (diolah).

Selama kita masih memandang bahwa jika hutan dibiarkan dalam kondisi stock (apa adanya) adalah tidak produktif dan tidak memiliki nilai ekonomi sebagai penghasil income, selama kita tidak bisa menyadari bahwa sesungguhnya keberadaan hutan justru bernilai ekonomi tinggi karena mampu berfungsi untuk mencegah kerugian ekonomi (loss avoided), maka sangat sulit kita mengharapkan muncul kebijakan yang berpihak pada sektor kehutanan. Kondisi ini tercermin pada kebijakan-kebijakan yang cendrung masih berorientasi pada suprastruktur ekonomi, sehingga kepentingan-kepentingan konservasi selalu dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya eksploitatif demi kepentingan ekonomi jangka pendek, yaitu menghasilkan income secara cepat dan mudah (instant).

Dari sisi hukum ketatanegaraan paradigma ekploitatif ini juga dapat dirasakan. Perundang-undangan sektor kehutanan seringkali harus mengalah pada kepentingan sektor pertambangan, pertanian dan perkebunan, perumahan. Kondisi ini tentu makin diperparah oleh keadaan dimana para penentu kebijakan di sektor-sektor tersebut yang masih meragukan (kalau tidak bisa dikatakan tidak percaya) fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Kondisi ini tentu akan semakin mengarah kepada munculnya ancaman kerusakan dan kehancuran hutan yang massif dan tidak terkendali.

Dari pihak forester sendiri, barangkali karena kebijakan-kebijakan Departemen Kehutanan yang juga subordinat dari kebijakan Bappenas yang berorientasi eksploitasi untuk kepentingan income, maka masih banyak kebijakan-kebijakan yang sangat permisif yang sebenarnya secara gradual (cepat?) semakin mengancam keberadaan hutan di Indonesia. Ini terlihat dari masih adanya kebijaksanaan untuk memberikan berbagai ijin dan konsesi untuk pengusahaan hutan alam produksi. Dengan konsep yang rentan penyimpangan, di tambah dengan tidak adanya jaminan itegritas moral para pemegang ijin, tentu makin memperparah kondisi sektor kehutanan di Indonesia. Jika demikian, kapan hutan kita akan benar-benar aman?

Rabu, 18 Juni 2008

Wanita-Wanita yang "Kelelahan"

Kita sering menggadang-gadang betapa "perkasanya" seorang perempuan yang telah berstatus sebagai seorang ibu. Terutama kaum ibu yang juga berkiprah di sektor publik, alias bekerja/berkarir di luar rumah. Memang kita pantas mengagumi mereka. Mereka mengerjakan segala macam tetek bengek urusan rumah tangga, sekaligus juga produktif menghasilkan income bagi keluarga dari hasil pekerjaan mereka di luar rumah.
Seorang ibu yang bertanggungjawab, plus "patuh" dengan stigma bahwa perempuan harus mengabdi pada keluarga, telah harus memulai aktivitasnya semenjak hari masih sangat dini. Disaat anak-anak dan suami mereka masih terlelap, ibu menyiapkan segala sesuatunya. Ketika anak-anak dan suami terjaga, mereka tinggal bersiap-siap untuk berangkat ke tempat aktivitas mereka. Biasanya segala kebutuhan mereka telah disiapkan oleh sang ibu. Mereka tinggal mandi, mengenakan pakaian rapi yang telah disiapkan ibu, dan tentu saja sarapan dengan menyantap makanan yang juga disiapkan sang ibu. Kemudian sang ibu juga berangkat bekerja dan menjalani berbagai aktivitas ditempat kerjanya, yang tentunya juga diwarnai oleh berbagai dinamika, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Apapun yang mereka alami di kantor atau di tempat kerjanya, yang pasti selepas jam kerja, si ibu kembali ke rumah dan kembali harus menjalani aktivitas "mengurus" rumah tangga. Tak ada dispensasi dari kewajiban-kewajiban itu. Apalagi ingin menghindarinya. Sesuatu yang tidak mungkin, kecuali mau menanggung beban diberi label oleh masyarakat sebagai wanita yang tidak becus, ibu yang tidak bertanggung jawab, dll.
Begitulah roda hidup sang ibu berjalan dari hari ke hari hingga datang saatnya mereka "diperkenankan" oleh masyarakat untuk "beristirahat". Kapan itu? ya, tentunya jika anak-anak mereka telah mandiri, atau jika mereka tergolek sakit, dan tentunya jika tuhan memanggil mereka. Ibu-ibu yang demikian memang layak kita sebut "wanita-wanita perkasa". Tapi yakinlah, mereka sebenarnya juga WANITA-WANITA YANG KELELAHAN.

Kamis, 12 Juni 2008

Kunjungan Ke Lokasi TUL Asam Kandis Lubuk Alung.

(Melestarikan Rahasia Nikmatnya Cita Rasa Masakan Urang Awak)

Tanggal 18 Maret 2008 lalu, Tim dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan (salah satu Unit Pelaksana Teknis Dephut, tempat saya bekerja) mengunjungi lokasi kegiatan Pembuatan Tanaman Unggulan Lokal (TUL) Asam Kandis (Garcinia Xanthochymus) di Jorong Salibutan Nagari Lubuk Alung Kabupaten Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Kelompok Tani Sepakat diatas lahan seluas 50 Ha dengan menggunakan anggaran GNRHL BPDAS Agam Kuantan tahun 2007. Kunjungan kali ini bertujuan untuk membuat dokumentasi audio visual mengenai kegiatan dimaksud, sekaligus memantau kondisi terakhir pelaksanaan kegiatan di lapangan.

Dari hasil kunjungan tersebut banyak hal menarik yang dapat disampaikan. Antara lain: Kelompok Tani Sepakat sebagai pelaksana kegiatan, sangat antusias melaksanakan program pembuatan tanaman TUL di jorong mereka tersebut. Ini antara lain terlihat dari besarnya perhatian dan inisiatif dari kelompok agar tanaman bisa tumbuh dengan baik.

Di lokasi kegiatan, petani mengamati bahwa tanaman yang berada dibawah naungan tumbuh lebih baik dibanding tanaman yang ditanam di tempat terbuka. Menyadari kondisi itu, anggota kelompok berinisiatif untuk membuat naungan bagi tanaman yang berada pada tempat terbuka. Naungan dibuat secara sederhana dengan memagari tanaman dengan ranting-ranting pohon dan dibagian atasnya ditutupi dengan ranting-ranting pohon yang berdaun. Hasilnya tidak sia-sia, tanaman tumbuh lebih subur dibanding sebelum diberi naungan. Hal ini tentu sangat menggembirakan. Dari sisi kelembagaan, salah satu tolok ukur keberhasilan kelompok tani adalah terciptanya tata nilai yang positif untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan fisik kegiatan. Dan adanya perhatian yang besar dan inisiatif dari Kelompok Tani Sepakat untuk berbuat yang terbaik terhadap tanaman yang telah mereka tanam, menunjukkan bahwa telah tercipta tata nilai yang positif pada kelompok tani tersebut untuk melaksanakan kegiatan secara sungguh-sungguh.

Dari keterangan anggota kelompok tani juga terungkap, bahwa semenjak dahulu kaum ibu di sekitar lokasi kegiatan TUL ini terbiasa menyimpan sampai jumlah beberapa puluh kilogram buah asam kandis yang sudah dikeringkan. Sambari ke sawah/ladang ibu-ibu tersebut memungut dan mengumpulkan buah asam kandis yang sudah masak dan jatuh dari batangnya. Kemudian dijemur hingga kering dan disimpan. Tujuannya adalah sebagai “tabungan” untuk kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya mendesak. Buah Asam Kandis yang sudah dikeringkan tahan disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama tanpa berkurang kualitasnya dan sewaktu-waktu bisa dijual. Buah yang merupakan salah satu resep rahasia cita rasa masakan Minang, yang dikumpulkan oleh kaum ibu itu, berasal dari pohon-pohon asam kandis yang memang merupakan tanaman endemic dan banyak tumbuh secara alami disekitar Jorong Salibutan.

Selain itu, kayu dari batang pohon asam kandis juga dapat dimanfaatkan, baik untuk material bangunan ataupun keperluan lainnya. Selain karena batangnya lurus, kayunya juga keras dan berkualitas baik. Kualitas kayunya akan semakin baik apabila diberi perlakuan tertentu terlebih dahulu sebelum dimanfaatkan. Disekitar lokasi kegiatan memang banyak terlihat masyarakat memanfaatkan kayu yang berasal dari pohon asam kandis untuk membangun rumah atau untuk keperluan lain yang membutuhkan kayu.

Hanya dengan memanfaatkan pohon asam kandis yang berasal dari pohon yang tumbuh alami saja, masyarakat setempat telah merasakan manfaatnya dalam membantu perekonomian mereka. Namun, karena selama ini tidak pernah dibudidayakan, sementara pemanfaatannya terus berlangsung (baik buah maupun kayunya), maka keberadaan asam kandis mulai terasa berkurang, kalau tidak bisa dikatakan mulai langka. Dengan latar belakang kondisi tersebut, BPDAS Agam Kuantan berinisiatif memfasilitasi Program Pengembangan Tanaman Unggulan Lokal ini. Dengan adanya kegiatan budidaya ini, diharapkan di masa yang akan datang asam kandis akan makin berperan dalam meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat yang melaksanakan kegiatan. Sehingga dapat menjadi contoh dan motivasi bagi kelompok masyarakat lain untuk melaksanakan kegiatan serupa secara swadaya. Dengan demikian akan tercapai maksud dan tujuan dari fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu, munculnya swadaya masyarakat untuk merevitalisasi potensi tanaman unggulan lokal, yang akan memberi efek perbaikan lingkungan karena manfaatnya terhadap konservasi lahan, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat tani hutan, karena nilai ekonomi yang dihasilkan oleh tanaman itu sendiri.

Selasa, 10 Juni 2008

Kenapa Laki-Laki Cenderung Mendua?

Kenapa laki-laki cenderung tertarik tidak hanya pada satu orang lawan jenis? Jawabannya hanya satu, karena hormon testosteron yang mengalir dalam darah mereka. Dorongan hormon testosteron itu benar-benar menggerakkan perilaku laki-laki sebagai pejantan, sebagaimana halnya hewan berjenis kelamin jantan. Itu kodrati lho. Muncul dalam bentuk naluri, sebagaimana nalurinya kaum perempuan yang selalu ingin tampak menarik dengan cara berdandan atau mempercantik diri, ya kan? Nah, gimana kita bisa "membunuh" naluri yang secara kodrat memang dibenamkan tuhan dalam raga kita? Bisa dibayangkan, gimana kalau perempuan dilarang mempercantik diri? gak mungkin kan? Nah, begitu juga dengan laki-laki. Gak mungkin laki-laki itu dilarang tertarik dengan banyak perempuan, karena itu naluri. Masalahnya, masyarakat telah sepakat, bahwa secara normatif, laki-laki yang tertarik pada banyak perempuan dianggap "bad guys". Itu cuma masalah norma yang terlanjur disepakati oleh masyarakat. Ingat, ada juga lho norma tertentu yang menganggap perempuan yang suka mempercantik diri itu salah, padahal itu nalurinya perempuan.

Oleh karena itu, dengan sifat kodrati dasar yang sama pada setiap laki-laki tersebut, maka faktor sosiallah selanjutnya yang menentukan. Norma, nilai, agama kemudian melahirkan konsep penilaian masyarakat bagaimana seharusnya seorang laki-laki itu bersikap dan bertindak sebagai laki-laki, sebagai "pacar", sebagai suami.

Ada laki-laki yang karena tersosialisasi (ini konsep sosiologi, dalam artian terbentuk kepribadiannya melalui proses sosial yang panjang) dalam suatu lingkungan sosial tertentu, menyebabkan dia jadi seorang laki-laki yang cendrung "penakut". Maka jadilah dia sebagai laki-laki yang dengan sekuat tenaga "mengkebiri" naluri kelaki-lakiannya. Oleh masyarakat mereka diberi label: pria setia, suami bertanggungjawab, dll.

Ada laki-laki yang karena tersosialisasi dalam lingkungan sosial tertentu, menyebabkan dia berani coba-coba bertoleransi dengan naluri pejantannya tadi. Mereka jadi laki-laki yang suka coba-coba menggoda lawan jenis, suka coba-coba memancing lawan jenis, berselingkuh, jajan ke PSK dll (celakanya banyak juga lawan jenis yang dengan sadar mau meladeni, maka gayung bersambutlah naluri pejantan tadi). Tapi uniknya, laki-laki tipe ini gak otomatis menjadikan mereka sebagai orang jahat, orang tidak bertanggung jawab, dll. Ada yang tetap berhasil jadi "suami dan ayah yang baik". bahkan laki2 tipe ini bisa saja jauh lebih baik dibanding laki-laki tipe pertama tadi dalam dimensi kehidupan sosial yang lain. Buktinya, laki-laki pelaku sex bebas, mungkin saja lebih peduli mengenai kemiskinan, lingkungan, dll, dibanding dengan laki-laki yang mati-matian mengkebiri naluri pejantannya.

Ada laki-laki yang karena tersosialisasi dalam lingkungan sosial tertentu, menyebabkan dia jadi laki-laki yang memperturutkan hasrat pejantannya. Mereka menjadi laki-laki yang ignorant terhadap pasangan tetapnya, ignorant terhadap keluarganya, terhadap lingkungan sosialnya, dll. Mereka juga secara significant terpengaruh negatif oleh dorongan hasrat pejantannya itu. Mereka jadi semacam public enemy. Mereka inilah yang dimasyarakat dikenal sebagai tukang kawin cerai hanya karena motif sex, tukang perkosa, pelaku sex bebas yang serampangan, dll.

Ada juga laki-laki yang karena tersosialisasi dalam lingkungan sosial tertentu, berupaya mencari pembenaran-pembenaran agar dia dapat memenuhi naluri pejantannya. Mereka mau memenuhi hasrat pejantannya dengan cara yang legal bahkan kalau bisa pemenuhan hasrat pejantannya itu dianggap mulia. Dengan berdalih ajaran norma tertentu membenarkan bahkan menganjurkan itu, maka puaslah mereka mereguk kenikmatan untuk memenuhi hasrat pejantannya itu.

Intinya, semua laki-laki sama... mereka memiliki naluri dasar sebagai pejantan yang tertarik pada banyak lawan jenis.. lingkungan sosiallah yang membedakan bagaimana laki-laki memperlakukan nalurinya itu..

Nah... laki-laki tipe manakah kita??