Lebaran…lebaran…lebaran… Yah, saban tahun, lebaran seolah menjadi orientasi hidup setiap orang
Ya.. lebaran… lebaran… lebaran…..
Blog-nya Pemula
Lebaran…lebaran…lebaran… Yah, saban tahun, lebaran seolah menjadi orientasi hidup setiap orang
Ya.. lebaran… lebaran… lebaran…..
Rukun Islam Kelima, yaitu menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, adalah wajib atas setiap muslim yang mampu. Namun, juga dipersyaratkan bahwa muslim yang berangkat haji haruslah benar-benar mampu. Jangan sampai seorang muslim berangkat haji, namun saudara dan kerabat yang ditinggalkan terlantar. Artinya, jangan memaksakan diri untuk pergi haji, yang butuh biaya cukup besar, dengan mengorbankan biaya untuk kebutuhan hidup layak bagi saudara atau kerabat yang ditinggal. Namun, selama ini kita terjebak pada simplifikasi, bahwa yang dimaksud saudara itu hanya saudara dan kerabat yang masih memiliki pertalian darah dengan kita saja. Kita lupa, bahwa dalam konsep Ukhuwah Islamiah, semua muslim itu bersaudara...lebih erat dari pada hanya hubungan sedarah, karena kesamaan aqidah yang mengikatnya.
Tiap tahun Indonesia memperoleh kuota sebanyak 300.000 calon jemaah haji. Saat ini ongkos naik haji mencapai angka Rp. 30.000.000. Artinya biaya yang dikeluarkan jemaah haji Indonesia setiap tahun berjumlah 90 trilyun Rupiah!! Belum lagi dana yang masih parkir dalam bentuk tabungan haji, karena masih masuk daftar tunggu untuk berangkat haji, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Banyak juga yang masih ingin naik haji untuk yang kedua, ketiga, atau kesekian kalinya. Namun sungguh ironis, disisi lain, masih banyak umat Islam Indonesia yang tidak cukup makan, tidak cukup pakaian, tidak memiliki perumahan yang layak, tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Bahkan lebih tragis lagi, banyak umat yang bayinya busung lapar, yang bunuh diri karena himpitan beban hidup.. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah, banyak umat yang murtad, pindah agama, demi terjaminnya kelangsungan hidup mereka!!
Dengan kondisi demikian, pikiran awam saya menggugat, benarkah umat Islam di Indonesia ini telah wajib menunaikan ibadah haji? Tidakkah akan lebih besar manfaatnya bagi kemaslahatan umat jika dana jemaah haji yang berjumlah 90 trilyun rupiah/tahun itu di salurkan saja untuk umat? Angka 90 trilyun Rupiah itu barangkali mampu mengentaskan semua umat yang miskin di 2 atau 3 provinsi tiap tahunnya. Bukankah setiap muslim itu bersaudara? Bukankah hanya beberapa meter dari pintu rumah kita, masih ada tetangga muslim yang menjerit karena terlilit kemiskinan? Bukankah masih banyak saudara muslim kita yang menjadi gelandangan dan pengemis dijalanan? Juga, bukankah masih banyak saudara muslim kita yang gampang dimurtadkan karena mereka miskin? Nah, sebelum semua saudara muslim kita itu mampu hidup secara layak dan bermartabat, menunaikan ibadah haji belumlah wajib bagi kita. Ongkos naik haji yang telah kita siapkan itu harusnya lebih berhak diterima oleh sudara-saudar muslim kita yang miskin itu.
Lagi-lagi pendapat awam saya berkeyakinan, Allah SWT akan memberi pahala sama atau bahkan lebih dari pahala haji, jika umat yang telah berniat untuk menunaikan ibadah haji, akhirnya malah mengikhlaskan semua ongkos naik haji mereka tersebut disumbangkan untuk mengentaskan berbagai persoalan umat, terutama masalah kemiskinan. Sebaliknya, saya yakin, tidak akan bernilai ibadah haji yang kita laksanakan dengan memaksakan diri. Berangkat haji dengan menerlantarkan sebegitu banyak umat ditanah air yang masih membutuhkan bantuan. Mana yang lebih bernilai? melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya belum wajib atas diri kita, ketimbang membantu saudara-saudara kita yang barangkali saja terancam aqidahnya karena kemiskinan mereka? Mana yang lebih bernilai? Melaksanakan ibadah haji yang hanya bernilai ibadah individual, ketimbang membiayai pendidikan puluhan anak yatim piatu dari sesama kaum muslim, yang akan meningkatkan kualitas, harkat dan martabat umat secara umum? Apalagi jika dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut masih tersirat dalam kalbu kita unsur ria. Yaitu adanya unsur selain karena Allah dalam pelaksanaan ibadah haji kita tersebut. Misalnya, agar dipuji oleh masyarakat, agar gelar haji bisa jadi pendongkrak pamor untuk maju ke ajang pemilu/pilkada, berangkat haji sambil berwisata, berbelanja, dan lain-lain.
sebagai awam, saya berharap agar komisi fatwa MUI memfatwakan:
Bahwa bagi muslim Indonesia belum ada kewajiban untuk menunaikan Ibadah haji, karena masih banyak saudara-saudara kita sesama muslim yang miskin dan bahkan terancam aqidahnya karena kemiskinan itu. Adalah kewajiban kita bersama untuk mengentaskannya.
Bahwa bagi umat Islam Indonesia, karena belum ada kewajiban menunaikan ibadah haji, maka menyumbangkan uang bagi kemaslahatan umat minimal senilai ongkos naik haji, telah sama nilai ibadah dan pahalanya dengan berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.
Bagi saya kondisi ini sangat urgen untuk kita renungkan. Ibadah haji selama ini hanya menjadi "Ibadah Mercu Suar" di tengah lautan kemelaratan umat. Mereka-mereka yang mampu selalu berdalih, mereka sudah merasa "terpanggil" untuk segera berangkat haji. Mereka berangkat dengan segala rasa bangga dan bahagia. Sementara, disaat yang sama barangkali ada tetangga mereka yang sedang kelaparan, atau ada tetangga mereka yang sedang pontang-panting mencari pinjaman untuk melanjutkan pendidikan anak mereka.
Sebagian mereka yang mampu berangkat haji itu juga sering berdalih, bahwa mereka telah berhak berangkat haji. Soal masih banyak umat yang miskin, toh mereka juga sudah berinfaq dan bersedekah. Tapi sadarkah mereka? hanya berapa nilai infaq dan sedekah mereka itu? sadarkah mereka bahwa itu masih sangat kurang? Beranikah mereka bersedekah sejumlah ONH? Ikhlaskah mereka menyumbangkan ONH-nya itu? Atau memang kebanggaan menjadi haji jauh lebih berharga ketimbang menyelamatkan sesama saudara muslim?
Demikian sekelumit pemikiran "aneh" saya. Pemikiran saya ini memang tidak memiliki landasan syariat.. Tapi cobalah renungkan baik-baik....saya yakin banyak kadar kebenarannya..
Semenjak reformasi menggelinding di
Di ranah politik, perubahan itu terasa begitu drastis. Reformasi sekonyong-konyong merubah wajah perpolitikan
Namun, agak unik memang Indoneisa ini. Meskipun kran kebebasan telah dibuka selebar-lebarnya, namun masih belum berimplikasi positif pada perbaikan kondisi berbangsa dan bernegara. Pemilu langsung juga demikian. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang baik, mumpuni, serta mampu membawa kemajuan, yang lebih banyak kita dengar sebagai output dari pemilu langsung itu, tak lebih hanya cerita mengenai kisruh hasil penghitungan suara, konflik antar pendukung peserta pemilu/pilkada, soal gugat menggugat karena kalah dalam pemilihan, dan lain-lain masalah yang keseluruhannya kontra produktif bagi perbaikan kondisi bangsa.
Kondisi tersebut akhirnya memunculkan fenomena semakin banyaknya pemilih yang tidak mau lagi menggunakan hak pilihnya (golput) pada setiap ajang pemilihan pemimpin. Statistik hasil pemilu/pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa kaum golput ini seringkali "menang" dalam berbagai ajang pilkada. Tak jarang jumlah suara golput jauh mengungguli jumlah suara yang diraih pemenang pilkada.
Gejala apa ini? Apakah masyarakat menjadi semakin apatis politik? Bisa jadi ya. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan tadi, masyarakat menganggap pemilu/pilkada tidak menghasilkan perbaikan bagi kehidupan mereka. Namun jika kita berfikiran sedikit modifikatif, fenomena golput tersebut bukanlah sebuah kondisi yang negatif. Malah sebaliknya, positif.
Bisa saja orang golput, karena merasa semua kandidat itu sama, punya visi dan misi yang bagus. Tidak ada program mereka yang tidak bertujuan untuk kebaikan. Nah, jika semuanya mengusung program yang bagus, dan seandainya program-program tersebut benar-benar mampu mereka realisasikan, tentu tidak jadi masalah siapapun yang akan memenangi pemilihan. Karena pasti akan membawa kebaikan. Jadi untuk apa ikut memilih? Dalam perspektif seperti ini, orang yang menggunakan hak pilih malah patut dicurigai. Sangat mungkin motif mereka memilih hanya karena dasar primordialisme, sektarianisme, ataupun karena kedekatan psikologis dengan calon tertentu. Atau memilih hanya karena punya kepentingan yang hanya akan terakomodir jika calon tertentu yang memenangi pemilihan. Bukankah kondisi yang demikian malah merupakan potensi masalah? Primordialisme dan sektarianisme hanya akan merusak ke-bhinekaa-an dalam NKRI. Memilih karena dasar suka/tidak suka secara psikologis terhadap seorang calon, juga bukan sebuah ukuran yang objektif. Terlebih lagi kalau memilih atas dasar kepentingan. Malah akan menjadi embrio makin parahnya KKN jika pemimpin yang dipilih menjabat kelak.