Selasa, 23 September 2008

Lebaran... lebaran... lebaran

Lebaran…lebaran…lebaran… Yah, saban tahun, lebaran seolah menjadi orientasi hidup setiap orang Indonesia yang mengaku beragama Islam. Bagi para perantau, mereka bekerja keras sepanjang tahun, menabung, dan uangnya itu nanti akan dipakai untuk mudik dan dihabiskan di kampung saat lebaran. Yang bukan perantau, atau perantau yang memutuskan tidak perlu mudik, kondisinya sama saja. Lebaran jadi tujuan segala upaya untuk mengejar simbol-simbol kehidupan duniawi. Mereka merenovasi rumah dengan target sudah harus rampung saat lebaran. Membeli berbagai macam jenis perabotan rumah untuk lebaran. Kredit motor untuk dipakai lebaran. Beli mobil untuk jalan-jalan dan pamer saat lebaran. Memborong berbagai bahan makanan untuk keperluan selama lebaran. Belanja kebutuhan sandang untuk tampil gaya saat lebaran. Pokoknya semua berorientasi untuk lebaran.

Anak-anak kita juga terlanjur kita budayakan untuk berorientasi lebaran. Mereka diajari puasa dengan iming-iming akan dibelikan berbagai barang untuk kebutuhan lebaran; sepatu/sendal baru, beberapa pasang pakaian, mainan, handphone, play station, dan macam-macam lagi.

Orientasi terhadap lebaran ini bukan fenomena sumir. Ia memiliki implikasi sangat besar. Bahkan pada sistem keuangan negara. Tak percaya? Buktinya, oleh pemerintah gaji PNS saja terpaksa dimajukan pembayarannya. Gaji untuk Bulan Oktober 2008 dibayarkan tanggal 25 September 2008. Katanya supaya bisa dimanfaatkan oleh para PNS untuk kebutuhan lebaran. Di kantor-kantor instansi pemerintah, orientasi lebaran ini juga sangat mempengaruhi irama pelaksanaan anggaran. Para bendaharawan didorong oleh para pelaksana proyek untuk segera mencairkan pos-pos anggaran yang sekiranya bisa dimanfaatkan dulu oleh pegawai dikantor bersangkutan untuk keperluan lebaran. Para pegawai diberi Surat Perintah Tugas untuk melaksanakan perjalanan dinas. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menambah penghasilan untuk kebutuhan lebaran. Soal apakah perjalanan dinas itu relevan atau tidak, soal bagaimana pelaksanaan pekerjaan dan bagaimana outputnya nanti, itu urusan belakangan, setelah musim lebaran usai!! Yang jelas sekarang lebaran dulu!!

Lebaran juga menggerakkan sektor riil, sekaligus juga mendongkrak inflasi karena para pedagang komoditas tertentu berlomba-lomba menaikkan harga untuk menangguk untung yang jauh lebih besar untuk kebutuhan lebaran. Selain itu perilaku konsumtif menjelang lebaran juga banyak memaksa masyarakat menjual/menggadaikan barang-barang berharga milik mereka.

Lebaran juga mendorong para perampok, penjambret, pencopet, penipu, dan para kriminal lainnya, untuk meningkatkan intensitas aksi mereka. Tujuannya tentu saja untuk memperoleh “penghasilan” lebih untuk kebutuhan lebaran.

Para gelandangan, pengemis, kaum miskin maupun kaum marginal lainnya juga makin “rajin” menjelang lebaran. Mereka makin semangat meminta-minta, memanfaatkan momen kesalehan sosial sebagian orang yang memang meningkat selama Ramadhan. Mereka juga berlomba-lomba mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta diberi zakat. Baik zakat harta atau setidaknya zakat fitrah para penghuni rumah yang didatangi. Tujuannya juga sama, mereka juga ingin berlebaran.

Ya.. lebaran… lebaran… lebaran…..

Sabtu, 20 September 2008

Kenapa Suporter Sepakbola di Pulau Jawa Lebih Brutal?


Anda penggemar, pemerhati, atau sekedar tau persepakbolaan Indoneisa? Jika jawaban anda ya, tentu anda sangat akrab dengan cerita dan berita tentang berbagai kerusuhan, kekisruhan dan kebrutalan seputar sepak bola Indonesia tersebut. Aktornya beragam, mulai dari pemain, pengurus, ofisial, dan sudah pasti, tentu saja penonton/suporter. Kesemuanya pernah "menyumbang" untuk angka statistik kejadian-kejadian memalukan dalam sepakbola Indoneisa. Saling pukul antar pemain, pengeroyokan wasit oleh pemain dan bahkan oleh ofisial, tawuran antar suporter, suporter yang vandalis, anarkis, bahkan kriminalis, merupakan potret yang jamak dalam dunia sepak bola kita. Kondisinya sudah demikian memprihatinkan. Bahkan seorang pengamat sosial pernah melontarkan ide nyeleneh, bahwa tontonan sepak bola Indonesia harus diberi label "untuk 17 tahun ke atas", karena banyaknya unsur kekerasan didalamnya.

Namun, yang berdampak sosial lebih luas adalah ulah penonton/suporter. Suporter yang rusuh bisa saling serang, bahkan saling bunuh. Mereka juga merusak apa saja yang mereka jumpai, tak peduli itu milik pribadi, milik pemerintah, swasta atau fasilitas umum sekalipun. Kerusuhan suporter bisa menimbulkan korban manusia dan menyebabkan kerugian materil yang nilainya terkadang amat besar. Selain itu kerusuhan suporter ini mengancam bahkan merusak ketenangan hidup masyarakat. Menimbulkan kecemasan dan trauma psikologis bagi khalayak.

Apakah anda cukup memperhatikan? Ternyata kasus-kasus kerusuhan suporter sepak bola Indonesia itu hanya banyak terjadi di Pulau Jawa saja. Berkali-kali kita dengar, yang rusuh itu Bonek-nya Persebaya Surabaya, Bobotoh-nya Persib Bandung, Jak Mania-nya Persija, Aremania-nya Arema Malang, dan lain-lain. Berkali-kali klub-klub tersebut terpaksa menerima sanksi gara-gara ulah rusuh suporter mereka sendiri. Pernahkah anda mendengar suporter PSMS Medan rusuh? atau suporter PSM Makasar? suporter Persipura? dan suporter klub-klub lainnya di Luar Pulau Jawa? Hampir tidak pernah. Kalaupun ada, skalanya kecil, hampir tidak berarti.

Pertanyaannya, kenapa suporter sepakbola di Pulau Jawa begitu gampang rusuh? sedangkan suporter sepakbola diluar Pulau Jawa cenderung adem-adem saja? Pertanyaan ini menjadi menarik, karena ada ironi. Etnis-etnis penghuni Pulau Jawa yang secara kultural kita kenal, adem, ramah, santun, ewuh pakewuh, tipo siliro, dan lain-lain, kenapa menjadi sangat brutal ketika menjadi suporter sepakbola? sebaliknya etnis-etnis di luar Pulau Jawa yang secara kultural pencitraannya; berwatak keras, lugas, kurang basa basi, dan lain-lain, malah tidak pernah rusuh di arena sepakbola. Ironis bukan?

Banyak sosiolog, antropolog, dan ahli psikologi massa yang telah menjelaskan fenomena ini. Pernah di satu tabloid seorang ahli membahas, bahwa penonton sepakbola di Jawa gampang rusuh berkaitan dengan falsafah hidup orang Jawa itu sendiri. Kesimpulannya kurang lebih begini. Etnis Jawa sangat mementingkan harmoni dalam kehidupan mereka. Mereka juga sangat mengagungkan martabat dan kehormatan. Nah, sebuah kekalahan bagi mereka adalah gangguan terhadap harmoni kehidupan mereka, karena telah mencederai martabat dan kehormatan mereka. Jadi identifikasi diri yang terlalu kuat terhadap klub sepakbola yang mereka dukung, menyebabkan mereka merasa tercabik-cabik rasa bangga akan martabat dan kehormatannya itu. Oleh karena itu mereka gampang marah dan rusuh jika klub yang mereka dukung kalah. Bagaimana menurut anda analisa tersebut?

Bagi saya, fenomena rusuh suporter sepak bola di Pulau Jawa tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya, manusia dari etnis apa saja, punya potensi sifat-sifat agresif dan destruktif. Namun pada etnis Jawa secara umum, sifat-sifat seperti itu tidak mendapat tempat penyaluran dalam budaya mereka. Budaya mereka hanya memberi tempat pada sikap yang santun, ramah, sopan, manut/patuh, dan perilaku-perilaku lembut lainnya. Ini terlihat dari bahasa, gerak tubuh dan perilaku orang Jawa sehari-hari. Anda bisa rasakan ini jika anda berada dan bergaul di pulau Jawa pada umumnya. Pernahkah anda ke Parahyangan, Jogja atau Solo? jika pernah, pasti anda bisa rasakan betapa santunnya masyarakat disana dalam bergaul, baik bertutur maupun bertingkah laku. Nah, karena tidak ada tempat untuk perilaku agresif, destruktif, mereka cenderung menekan sifat itu. Namun ia tetap ada, hanya disembunyikan atau ditekan untuk tidak muncul dalam pergaulan sehari-hari, karena memang lingkungan mereka tidak bisa menerima perilaku seperti itu. Lama-lama akan terakumulasi dan butuh penyaluran untuk muncul kepermukaan. Nah, akhirnya potensi perilaku agresif dan destruktif itu mendapat tempat penyalurannya saat mereka lebur dalam sebuah kerumunan massa berbentuk suporter sepak bola, dimana identitas mereka secara orang perorang lebur, tidak gampang diketahui dan terlindungi oleh identitas mereka sebagai kumpulan massa. Disanalah mereka lampiaskan semua potensi sikap agresif dan destruktif yang terpendam. Begitu ada pemicunya, yaitu kekalahan tim sepakbola yang mereka dukung, meledaklah semua, dan ledakannya tentu sangat dahsyat.

Kondisi seperti ini tidak terjadi pada etnis diluar Pulau Jawa. Budaya mereka tidak "halus" seperti di Pulau Jawa. Mereka lebih spontan, apa adanya, blak-blakan, dan lain-lain. Lihat saja orang Sumatera Utara, orang Makasar, Papua dan lain-lain. Suara dan bicara mereka keras, lantang dengan logat yang tegas. Mereka lebih lugas dalam menyatakan pendapat. Mereka terbiasa bereaksi secara keras terhadap sesuatu yang dianggap kurang berkenan bagi mereka. Tidak ada hal yang disimpan-simpan, semua dilontarkan, walau kadang terkesan "kasar". Begitu mereka jadi suporter sepakbola, tidak ada akumulasi prilaku agresif, kasar dan agresif yang perlu disalurkan. Karena itu jarang terjadi kerusuhan suporter sepakbola di luar Pulau Jawa.

Kamis, 18 September 2008

Muslim Indonesia "Belum Wajib Naik Haji"


Rukun Islam Kelima, yaitu menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, adalah wajib atas setiap muslim yang mampu. Namun, juga dipersyaratkan bahwa muslim yang berangkat haji haruslah benar-benar mampu. Jangan sampai seorang muslim berangkat haji, namun saudara dan kerabat yang ditinggalkan terlantar. Artinya, jangan memaksakan diri untuk pergi haji, yang butuh biaya cukup besar, dengan mengorbankan biaya untuk kebutuhan hidup layak bagi saudara atau kerabat yang ditinggal. Namun, selama ini kita terjebak pada simplifikasi, bahwa yang dimaksud saudara itu hanya saudara dan kerabat yang masih memiliki pertalian darah dengan kita saja. Kita lupa, bahwa dalam konsep Ukhuwah Islamiah, semua muslim itu bersaudara...lebih erat dari pada hanya hubungan sedarah, karena kesamaan aqidah yang mengikatnya.

Tiap tahun Indonesia memperoleh kuota sebanyak 300.000 calon jemaah haji. Saat ini ongkos naik haji mencapai angka Rp. 30.000.000. Artinya biaya yang dikeluarkan jemaah haji Indonesia setiap tahun berjumlah 90 trilyun Rupiah!! Belum lagi dana yang masih parkir dalam bentuk tabungan haji, karena masih masuk daftar tunggu untuk berangkat haji, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Banyak juga yang masih ingin naik haji untuk yang kedua, ketiga, atau kesekian kalinya. Namun sungguh ironis, disisi lain, masih banyak umat Islam Indonesia yang tidak cukup makan, tidak cukup pakaian, tidak memiliki perumahan yang layak, tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Bahkan lebih tragis lagi, banyak umat yang bayinya busung lapar, yang bunuh diri karena himpitan beban hidup.. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah, banyak umat yang murtad, pindah agama, demi terjaminnya kelangsungan hidup mereka!!

Dengan kondisi demikian, pikiran awam saya menggugat, benarkah umat Islam di Indonesia ini telah wajib menunaikan ibadah haji? Tidakkah akan lebih besar manfaatnya bagi kemaslahatan umat jika dana jemaah haji yang berjumlah 90 trilyun rupiah/tahun itu di salurkan saja untuk umat? Angka 90 trilyun Rupiah itu barangkali mampu mengentaskan semua umat yang miskin di 2 atau 3 provinsi tiap tahunnya. Bukankah setiap muslim itu bersaudara? Bukankah hanya beberapa meter dari pintu rumah kita, masih ada tetangga muslim yang menjerit karena terlilit kemiskinan? Bukankah masih banyak saudara muslim kita yang menjadi gelandangan dan pengemis dijalanan? Juga, bukankah masih banyak saudara muslim kita yang gampang dimurtadkan karena mereka miskin? Nah, sebelum semua saudara muslim kita itu mampu hidup secara layak dan bermartabat, menunaikan ibadah haji belumlah wajib bagi kita. Ongkos naik haji yang telah kita siapkan itu harusnya lebih berhak diterima oleh sudara-saudar muslim kita yang miskin itu.

Lagi-lagi pendapat awam saya berkeyakinan, Allah SWT akan memberi pahala sama atau bahkan lebih dari pahala haji, jika umat yang telah berniat untuk menunaikan ibadah haji, akhirnya malah mengikhlaskan semua ongkos naik haji mereka tersebut disumbangkan untuk mengentaskan berbagai persoalan umat, terutama masalah kemiskinan. Sebaliknya, saya yakin, tidak akan bernilai ibadah haji yang kita laksanakan dengan memaksakan diri. Berangkat haji dengan menerlantarkan sebegitu banyak umat ditanah air yang masih membutuhkan bantuan. Mana yang lebih bernilai? melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya belum wajib atas diri kita, ketimbang membantu saudara-saudara kita yang barangkali saja terancam aqidahnya karena kemiskinan mereka? Mana yang lebih bernilai? Melaksanakan ibadah haji yang hanya bernilai ibadah individual, ketimbang membiayai pendidikan puluhan anak yatim piatu dari sesama kaum muslim, yang akan meningkatkan kualitas, harkat dan martabat umat secara umum? Apalagi jika dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut masih tersirat dalam kalbu kita unsur ria. Yaitu adanya unsur selain karena Allah dalam pelaksanaan ibadah haji kita tersebut. Misalnya, agar dipuji oleh masyarakat, agar gelar haji bisa jadi pendongkrak pamor untuk maju ke ajang pemilu/pilkada, berangkat haji sambil berwisata, berbelanja, dan lain-lain.

sebagai awam, saya berharap agar komisi fatwa MUI memfatwakan:

Bahwa bagi muslim Indonesia belum ada kewajiban untuk menunaikan Ibadah haji, karena masih banyak saudara-saudara kita sesama muslim yang miskin dan bahkan terancam aqidahnya karena kemiskinan itu. Adalah kewajiban kita bersama untuk mengentaskannya.

Bahwa bagi umat Islam Indonesia, karena belum ada kewajiban menunaikan ibadah haji, maka menyumbangkan uang bagi kemaslahatan umat minimal senilai ongkos naik haji, telah sama nilai ibadah dan pahalanya dengan berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Bagi saya kondisi ini sangat urgen untuk kita renungkan. Ibadah haji selama ini hanya menjadi "Ibadah Mercu Suar" di tengah lautan kemelaratan umat. Mereka-mereka yang mampu selalu berdalih, mereka sudah merasa "terpanggil" untuk segera berangkat haji. Mereka berangkat dengan segala rasa bangga dan bahagia. Sementara, disaat yang sama barangkali ada tetangga mereka yang sedang kelaparan, atau ada tetangga mereka yang sedang pontang-panting mencari pinjaman untuk melanjutkan pendidikan anak mereka.

Sebagian mereka yang mampu berangkat haji itu juga sering berdalih, bahwa mereka telah berhak berangkat haji. Soal masih banyak umat yang miskin, toh mereka juga sudah berinfaq dan bersedekah. Tapi sadarkah mereka? hanya berapa nilai infaq dan sedekah mereka itu? sadarkah mereka bahwa itu masih sangat kurang? Beranikah mereka bersedekah sejumlah ONH? Ikhlaskah mereka menyumbangkan ONH-nya itu? Atau memang kebanggaan menjadi haji jauh lebih berharga ketimbang menyelamatkan sesama saudara muslim?

Demikian sekelumit pemikiran "aneh" saya. Pemikiran saya ini memang tidak memiliki landasan syariat.. Tapi cobalah renungkan baik-baik....saya yakin banyak kadar kebenarannya..

Minggu, 14 September 2008

Memilih Untuk Tidak Memilih

Semenjak reformasi menggelinding di Indonesia tahun 2008 lalu, hingga sekarang, euforia demokrasi benar-benar terasa. Hampir semua aspek kehidupan diwarnai oleh semangat kebebasan. Kebebasan Pers mengalir deras bak semprotan air dari slang pemadam kebakaran. Kehidupan sosial politik juga penuh dinamika oleh berbagai perubahan yang dilandasi oleh semangat kebebasan.

Di ranah politik, perubahan itu terasa begitu drastis. Reformasi sekonyong-konyong merubah wajah perpolitikan Indonesia dari keterkungkungan otoritarian menjadi politik demokrasi liberal. Bahkan dunia internasional mengakui, bahwa saat ini Indoneisa termasuk negara yang paling demokratis di dunia. Yang paling menarik dari demokrasi politik Indonesia saat ini adalah, rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya, mulai dari tingkat presiden sampai pada tingkat bupati/walikota.

Namun, agak unik memang Indoneisa ini. Meskipun kran kebebasan telah dibuka selebar-lebarnya, namun masih belum berimplikasi positif pada perbaikan kondisi berbangsa dan bernegara. Pemilu langsung juga demikian. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang baik, mumpuni, serta mampu membawa kemajuan, yang lebih banyak kita dengar sebagai output dari pemilu langsung itu, tak lebih hanya cerita mengenai kisruh hasil penghitungan suara, konflik antar pendukung peserta pemilu/pilkada, soal gugat menggugat karena kalah dalam pemilihan, dan lain-lain masalah yang keseluruhannya kontra produktif bagi perbaikan kondisi bangsa.

Kondisi tersebut akhirnya memunculkan fenomena semakin banyaknya pemilih yang tidak mau lagi menggunakan hak pilihnya (golput) pada setiap ajang pemilihan pemimpin. Statistik hasil pemilu/pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa kaum golput ini seringkali "menang" dalam berbagai ajang pilkada. Tak jarang jumlah suara golput jauh mengungguli jumlah suara yang diraih pemenang pilkada.

Gejala apa ini? Apakah masyarakat menjadi semakin apatis politik? Bisa jadi ya. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan tadi, masyarakat menganggap pemilu/pilkada tidak menghasilkan perbaikan bagi kehidupan mereka. Namun jika kita berfikiran sedikit modifikatif, fenomena golput tersebut bukanlah sebuah kondisi yang negatif. Malah sebaliknya, positif.

Bisa saja orang golput, karena merasa semua kandidat itu sama, punya visi dan misi yang bagus. Tidak ada program mereka yang tidak bertujuan untuk kebaikan. Nah, jika semuanya mengusung program yang bagus, dan seandainya program-program tersebut benar-benar mampu mereka realisasikan, tentu tidak jadi masalah siapapun yang akan memenangi pemilihan. Karena pasti akan membawa kebaikan. Jadi untuk apa ikut memilih? Dalam perspektif seperti ini, orang yang menggunakan hak pilih malah patut dicurigai. Sangat mungkin motif mereka memilih hanya karena dasar primordialisme, sektarianisme, ataupun karena kedekatan psikologis dengan calon tertentu. Atau memilih hanya karena punya kepentingan yang hanya akan terakomodir jika calon tertentu yang memenangi pemilihan. Bukankah kondisi yang demikian malah merupakan potensi masalah? Primordialisme dan sektarianisme hanya akan merusak ke-bhinekaa-an dalam NKRI. Memilih karena dasar suka/tidak suka secara psikologis terhadap seorang calon, juga bukan sebuah ukuran yang objektif. Terlebih lagi kalau memilih atas dasar kepentingan. Malah akan menjadi embrio makin parahnya KKN jika pemimpin yang dipilih menjabat kelak.

Jadi, jika dasarnya untuk tercapainya kebaikan bersama, pemilih yang paling ideal justru adalah mereka yang golput. Bagi kaum golput, tidak menjadi masalah siapa saja yang menjadi pemimpin, asal berorientasi pada kebaikan bersama. Dan bukankah sebenarnya golput itu juga sebuah pilihan? Yaitu “memilih untuk tidak memilih”. Jadi, tidak menjadi persoalan jika orang memilih untuk tidak memilih. Apalagi kalau patisipasi politik dari rakyat, dengan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu/pilkada, hanya dibutuhkan sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan belaka..lebih baik golput saja….

Jumat, 12 September 2008

Dua, Sepasang, Kembar

Ada makna yang tumpang tindih pada kata-kata judul diatas. Dua adalah jumlah objek tertentu setelah satu. Sepasang juga dua, jika dilihat dari jumlah objeknya. Kembar juga dua dari segi jumlah objek. Tak gampang juga memilah-milah penggunaan kata-kata tersebut.

Kata dua, sangat jelas penggunaannya. Setelah satu, ya dua. Sepasang, biasanya digunakan orang untuk menjelaskan dua kata yang saling berlawanan tapi saling melengkapi. Seperti kiri-kanan untuk alas kaki, laki-laki dan perempuan, suami-istri, dan lain-lain. Tetapi walaupun tidak berlawanan dan tidak saling melengkapi, kadang orang juga memberi label sepasang untuk objek tersebut. Misalnya, dalam contoh kalimat, "pada turnamen itu Indonesia hanya mengirim sepasang ganda putra". Kemudian kata kembar. Biasanya orang menyebut kata kembar untuk menjelaskan dua objek yang mirip atau bahkan sama persis. Misal dua menara WTC yang runtuh karena serangan teroris pada 11 September 2001, disebut Twin Tower (menara kembar). Namun, kata kembar tidak melulu menjadi padanan kata dua. Kembar juga digunakan untuk sesuatu yang sama atau mirip walau berjumlah lebih dari dua.

Tapi anehnya kata kembar juga digunakan untuk jadi keterangan kata untuk dua objek atau lebih yang tidak sama atau tidak mirip. Contohnya, ada istilah program kota kembar, yang melibatkan beberapa kota. Padahal sama sekali tidak ada kemiripan pada kota-kota tersebut. Bayi yang lahir dua atau lebih juga disebut bayi kembar walaupun mereka tidak mirip satu sama lain. Bahkan walaupun jenis kelamin mereka berbeda, tetap saja disebut bayi kembar. Agak rancu memang penggunaan kata-kata, dua, sepasang, dan kembar, tersebut.

Namun bagi saya kata-kata tersebut memiliki makna tersendiri. Ada satu rangkaian kalimat yang bisa saya susun dengan unsur ketiga kata tersebut, yang mewakili kehidupan saya saat ini. Yaitu: Pada 14 Agustus 2008, SEPASANG suami istri, dikarunia anak KEDUA, KEMBAR laki-laki. Itulah keluarga saya saat ini....

Persepsi

Barangkali setiap individu ingin dipersepsikan positif oleh individu-individu lain pada berbagai lingkungan sosialnya. Orang akan merasa bangga jika merasa dirinya dipersepsikan positif oleh orang lain. Karena persepsi positif tersebut akan berujung dengan perolehan pengakuan atas kapabilitas dirinya, pujian, penghargaan, dan lain-lain, yang keseluruhannya itu mampu mengisi kebutuhan batin seorang manusia akan eksistensi diri. Sebuah kebutuhan pada hierarki tertinggi bagi seorang manusia.

Tentu sangat membanggakan, jika kita memperoleh persepsi positif dari lingkungan, dan sepanjang tidak berlebihan, tidak ada yang salah dengan rasa bangga itu. Namun, tentunya jika persepsi tersebut memang sesuai dengan kenyataan apa adanya yang memang ada pada diri kita.

Namun sebaliknya, akan menjadi beban yang teramat berat, jika persepsi positif tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat, atau malah berlebihan, dialamatkan pada diri kita. Karena bisa jadi persepsi positif tersebut kita dapat karena kesimpulan orang lain tentang diri kita terlalu prematur, kurang dasar pertimbangan, atau bahkan karena sebuah kamuflase yang sengaja maupun tidak sengaja kita tampilkan. Atau bisa saja orang memberi persepsi positif tentang diri kita secara pukul rata. Kita dianggap/dinilai positif untuk semua hal, hanya karena beberapa hal yang telah kita lakukan kebetulan sangat memuaskan dan bernilai positif bagi orang-orang yang menilainya. Seperti seorang bawahan yang kebetulan berhasil membuat puas atasannya karena telah mengerjakan beberapa tugas dari atasannya tersebut dengan baik, sehingga sang atasan berkesimpulan si bawahan ini adalah seorang staf yang handal. Padahal belum tentu demikian.

Nah, saat ini saya sedang mengalami kondisi tersebut. Persepsi positif lingkungan terhadap saya, saya rasa sangat berlebihan. Orang-orang terlalu over estimate terhadap diri saya, dalam segala hal. Ini membebani saya. Karena ada ekspektasi yang berlebihan dari lingkungan terhadap diri saya. Harusnya saya bisa menyikapinya secara positif. Yaitu dengan menjadikannya sebagai salah satu energi pendorong agar apa-apa yang dipersepsikan positif oleh orang-orang itu, benar-benar mampu saya lakukan dan benar-benar menjadi sesuatu yang inheren dengan diri saya. Namun, itulah. Bagi saya itu cuma menjadi beban yang kadang berpengaruh negatif pada ritme hidup saya. Karena terkadang menyebabkan kita seolah terpenjara untuk harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan persepsi dan ekspektasi orang terhadap diri kita. Kita tidak bisa lagi menjadi diri kita yang sebenarnya dan apa adanya secara utuh. Ya...mungkin memang benar juga syair lagunya Ahmad Albar, bahwa dunia ini, panggung sandiwara.....

Atau barangkali kita juga sering salah mempersepsikan apa sebenarnya persepsi orang tentang diri kita...? Sehingga kita merasa harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan persepsi kita mengenai apa persepsi orang terhadap diri kita? Hmmm... rumit dan tidak sederhana bukan? Pantas saja terori-teori berbasis paham interaksionisme simbolik terasa begitu abstrak untuk dipahami dibangku kuliah dulu.....kadang terasa terlalu absurd..