Rabu, 12 Agustus 2009

Nak.....

Nak...ayah kalian barangkali tak kan pernah bisa menjadi orang kaya. Jadi, pandai-pandailah menempatkan diri kalian sebagai anak orang biasa..

Nak...ayah kalian barangkali tak selalu mampu menyediakan pangan terbaik.. Tapi jangan terlalu khawatir Nak.. itu tak berarti ayah tak selalu berusaha penuhi kebutuhan nutrisi untuk tumbuh kembang kalian. Percayalah Nak, banyak orang hebat di dunia ini yang terlahir, tumbuh, dan berkembang, hanya dengan mengkonsumsi penganan sederhana.

Nak...kelak ayah kalian barangkali tidak bisa menyekolahkan kalian di sekolah-sekolah unggulan.. Tapi jangan terlalu risau Nak.. Sekolah unggulan bukanlah jaminan untuk bisa menjadi orang baik kelak.. Percayalah Nak, banyak orang mencapai kejayaan hidupnya tanpa bersekolah disekolah-sekolah unggulan nan mahal itu..

Nak...kelak ayah kalian barangkali tak mampu penuhi kebutuhan kalian untuk gaul.. Tapi jangan ragu Nak.. banyak orang-orang rendah hati di luar sana yang dengan tulus mau berteman dengan kalian, meski kalian tak punya modal untuk dicap gaul..

Nak..kelak andai kalian merasa tak memiliki intelejensi di atas rata-rata.. jangan terlalu cemas akan masa depan kalian. Yakinlah, dengan tekad dan keuletan, masa depan gemilang tak mustahil tetap dapat kalian raih..tapi ingat Nak..kalian tak akan mampu tanpa DOA...

Nak..andai kelak banyak orang meremehkan kalian atas apa yang cuma mampu kalian raih dan lakukan, tak usah bersedih Nak... Sepanjang hidup, Ayah kalian juga mengalami banyak perlakuan tidak simpatik, diremehkan bahkan dilecehkan.. Tapi yakinlah Nak.. Semua itu tak akan mempengaruhi rencana Tuhan atas diri kalian... Sejuta pelecehan manusia atas diri kalian, tak akan mampu mengalahkan kuasa Tuhan jika Dia ingin memuliakan kalian.. Maka dari itu Nak...cuma pada Nya respek tertinggi perlu kalian berikan..

Nak...tak perlu gamang menjalani kehidupan...tak perlu terlalu risau dengan segala atribut dunia yang barangkali tidak akan pernah bisa kalian miliki.. karena kalian hanya butuh hati yang bersih dan hasrat yang kuat untuk mengarungi anugrah kehidupan ini.....


Untuk Ketiga anakku: Nazhifa, dan Si Kembar Fardan dan Fadhlan...

Kamis, 02 Juli 2009

Dilema

Ini masih berkaitan dengan catatan saya sebelumnya (Malam Yang Mencekam dan Melelahkan di Rumah Sakit). Sebagaimana saya ceritakan dalam tulisan itu, saya sempat menjadi saksi meninggalnya seorang pasien di ruang High Care Unit (HCU) Bangsal Anak, dimana anak saya juga sempat dirawat di sana.

Pasien yang meninggal itu, seorang anak laki-laki usia 8 tahun. Setelah tanya sana-sini, saya dapat informasi, rupanya bocah itu meninggal karena keracunan minuman. Menurut cerita yang saya dengar dari obrolan sesama penunggu pasien di ruangan itu, anak itu keracunan setelah meminum minuman kemasan yang sudah kadaluarsa, yang dijual oleh pedagang jajanan di sekolahnya. Jadi ceritanya, sepulang sekolah, anak itu sudah tidak enak badan, muntah-muntah dan demam. Tapi oleh orang tuanya dikira hanya masuk angin biasa, dan diberi pengobatan sekedarnya. Sampai akhirnya anak itu jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dilarikan ke rumah sakit. Namun, malang. Jiwa anak itu tidak tertolong. Barangkali karena sudah terlambat dan racun itu sudah terlanjur menjalar dan merusak organ-organ dalamnya yang vital.

Kemudian saya juga mendengar obrolan para penunggu pasien diruangan itu, yang panjang lebar membahas "kasus" itu. Intinya, mereka berpendapat bahwa anak-anak jangan dibiarkan jajan sembarangan di sekolah. Jajanan yang dijual oleh para penjual jajanan itu banyak yang berbahaya, tidak sehat, mengandung bahan-bahan yang tidak layak dikonsumsi, terutama untuk anak-anak. Jadi, sebaiknya anak-anak kita dibekali saja makanan/jajanan dari rumah. Kalau mereka tidak mau bawa bekal dari rumah, beri penekanan tegas pada anak-anak kita itu, jangan jajan sembarangan di sekolah, berbahaya!! Demikian rata-rata pendapat mereka.

Mendengar obrolan seperti itu menimbulkan pemikiran yang dilematis pada diri saya. Disatu sisi, keselamatan anak kita memang harus kita lindungi, bahkan harus dinomor satukan. Namun, disisi lain, lihatlah para penjual jajanan di sekolah-sekolah anak-anak kita itu. Mereka rata-rata masyarakat ekonomi lemah, yang berjuang mencari nafkah untuk sekedar menyambung hidup diri dan keluarga mereka.

Kalau kita bisa sedikit berempati, rasakanlah beratnya perjuangan mereka. Betapa, demi membawa sedikit uang untuk menutupi rasa lapar keluarga mereka dirumah, mereka mati-matian mencari nafkah. Bayangkan beratnya perjuangan para pedagang yang harus memikul atau mendorong gerobak dagangannya di tengah panas terik dan polusinya udara kota. Sedangkan kita yang berada diatas mobil saja kadang merasa sumpek di atas mobil jika AC mobil kita dirasa kurang dingin. Apalagi mereka yang harus mendorong gerobak, betapa kepanasan dan letihnya mereka. Tapi Kita kadang malah mengumpat para pedagang gerobak itu. Bikin macet jalan aja!!

Juga, bayangkanalah, andai semua anak kita dibekali makanan dari rumah, atau kita larang jajan di sekolah, bagaimana nasib para pedagang itu? Pernahkah terbayangkan oleh kita? betapa hibanya hati pejuang-pejuang kehidupan itu mendengar ocehan lugu anak-anak kita pada teman-teman mereka seperti ini, "hei teman-teman, jangan beli jajanan Bapak itu, kata Ibuku jajanan itu berbahaya!!"

Mereka akan pulang dengan dagangan yang utuh karena tidak ada pembeli. Tidak ada uang yang bisa dibawa pulang. Dengan apa mereka harus membeli beras dan sekedar lauk pauk sederhana untuk memberi makan perut-perut lapar keluarga mereka? Terbayangkankah oleh kita? mereka dengan menahan air mata berusaha menenangkan anak mereka yang merengek, "nak..tahan saja rasa lapar itu, kita tak punya uang untuk beli beras..."

Sungguh dilematis. Saya yakin, para pedagang yang sederhana itu, tidak bermaksud meracuni anak-anak kita. Kalaupun memang makanan dan minuman yang mereka jual itu berbahaya, itu semata-mata karena ketidak tahuan dan keterbatasan mereka.

Mereka tidak terlalu paham mengenai zat kimia yang berbahaya untuk makanan, mereka tak paham soal kadaluarsa. Atau, kalaupun mereka sedikit paham, kemiskinan dan keterbatasan modal menyebabkan mereka menutup mata. Mereka tak mampu membeli zat pencampur makanan yang tidak berbahaya, karena mahal, sedangkan modal sangat terbatas. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan para pedagang dengan modal pas-pasan seperti penjual jajanan sekolah itu mau membuang dagangan mereka yang sudah kadaluarsa? Barangakali mereka berpendapat, "ah, dari pada dibuang, sayang, jual aja, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada anak-anak pembeli itu.."

Selain itu, sadarkah kita? Dengan membuatkan bekal makanan untuk anak-anak kita, kita hanya memperkaya para pemodal besar saja. Jika misalnya anak kita, kita bekali dengan sandwich atau roti bakar, setidaknya kita mesti belanja roti tawar, meses, selai, atau mentega/margarin. Semua itu hanya bisa kita beli di swalayan atau setidaknya di warung-warung yang agak besar. Sebuah paradoks, kita memperkaya orang kaya disaat banyak orang miskin yang sebenarnya dapat tertolong oleh sedikit rupiah yang dibelanjakan olah anak-anak kita di sekolah mereka.

Kenapa hidup penuh dilema yang menyesakkan seperti ini???

Jangan sampai jadi kenyataan....... (Sebuah Imaji)

Aku tersentak dari tidur. Tidur yang tidak pernah nyaman, karena udara yang gerah. Aku bangkit dari pembaringan, beranjak Sholat Shubuh. Dalam doa seusai Sholat, seperti doa-doa yang selalu ku ucapkan tiap hari, aku kembali memohon padaNya, "kembalikan bumi Mu ini seperti dulu" "Seperti masa kecilku dulu".. Aku rasa do'a ku itu juga adalah do'a semua manusia seumuran aku, di zaman ini.

Selesai sholat, aku beranjak ke beranda rumah. Di beranda, Aku tertegun di depan sebuah kalender bergambar pemandangan alam yang hijau ranau di tahun 1980-an. Aku tatap gambar itu, sebuah gambar pemandangan yang tidak mungkin ditemukan lagi di zaman ini. Kemudian, aku balik kalender itu, karena bulan sudah berganti. Sekarang terpampang gambar lain, gambar sungai yang mengalir jernih membelah sebuah lembah berhutan lebat. Itu juga foto tahun 1980-an. Di bawah gambar itu sekarang tertera Bulan November Tahun 2050. Di zaman ini, gambar kalender yang paling indah memang gambar pemandangan alam semesta yang hijau alami.

Ya, ini tahun 2050. Di zaman ini, kehidupan manusia sangat berat, karena berhadapan dengan berbagai ancaman bencana lingkungan. Manusia zaman ini kembali berupaya keras untuk memperbaiki berbagai kerusakan lingkungan yang sudah amat parah. Zaman ini, tanggal yang paling disakralkan bukan lagi tanggal 17 Agustus, tapi tanggal 28 November, yaitu Hari Menanam Indonesia. Karena tanggal itu, dianggap sebagai momentum yang paling penting untuk menyelamatkan sisa-sisa kehidupan manusia di Bumi Indonesia ini. Memerdekakan Indonesia dari teror kiamat lingkungan.

Di zaman ini, profesi paling mulia adalah penanam pohon. Mereka menjadi andalan untuk kembali memperbanyak tumbuhnya pepohonan. Pohon-pohon yang diharapkan kembali menjadi sumber penghasil dan perlindungan air. Ya, air, sumber kehidupan. Sesuatu yang sudah sangat langka di zaman ini.

Aku kembali merenung, mengenang masa lalu. Renungan yang selalu berujung penyesalan. Aku teringat disaat aku berumur 5 tahun. Semua sangat berbeda. Masih banyak pohon di hutan dan tanaman hijau di lingkungan sekitar. Setiap rumah punya halaman dan taman yang indah, dan aku sangat suka bermain air dan mandi sepuasnya. Sekarang, kami harus membersihkan diri hanya dengan handuk sekali pakai yang dibasahi dengan minyak mineral.

Dahulu, rambut yang indah adalah kebanggaan, terutama bagi kaum perempuan. Sekarang, kami harus mencukur habis rambut untuk membersihkan kepala tanpa menggunakan air.

Dahulu, para ayah sambil bermain gembira dengan anak-anak mereka, mencuci mobilnya dengan menyemprotkan air langsung dari keran ledeng. Sekarang, anak-anak tidak percaya bahwa dulunya air bisa digunakan untuk apa saja. Sekarang, bahkan mobilpun tak banyak lagi digunakan, karena sulit mendapatkani air untuk mengisi radiatornya.

Aku masih ingat, dahulu seringkali ada pesan yang mengatakan: ”JANGAN MEMBUANG BUANG AIR” . Tapi tak seorangpun memperhatikan pesan tersebut. Orang beranggapan bahwa air tidak akan pernah habis karena persediaannya yang tidak terbatas. Sekarang, sungai, danau, bendungan dan air bawah tanah semuanya telah tercemar atau sama sekali kering.

Zaman ini, pemandangan sekitar yang terlihat hanyalah gurun-gurun pasir yang tandus. Infeksi saluran pencernaan, kulit dan penyakit saluran kencing sekarang menjadi penyebab kematian nomor satu. Industri mengalami kelumpuhan, tingkat pengangguran mencapai angka yang sangat dramatik. Pekerja hanya dibayar dengan segelas air minum per harinya. Banyak orang menjarah air di tempat-tempat yang sepi. 80% makanan adalah makanan sintetis.

Dahulu, rekomendasi umum untuk menjaga kesehatan adalah minum sedikitnya 8 gelas air putih setiap hari. Sekarang, aku hanya bisa minum segelas air setiap hari. Sejak air menjadi barang langka, kami tidak mencuci baju, pakaian bekas pakai langsung dibuang, yang kemudian menambah banyaknya jumlah sampah. Kami menggunakan septic tank untuk buang air, seperti pada masa lampau, karena tidak ada air untuk membersihkan kotoran.

Manusia di zaman ini kelihatan menyedihkan: tubuh sangat lemah; kulit pecah-pecah akibat dehidrasi; ada banyak koreng dan luka akibat banyak terpapar sinar matahari karena lapisan ozon dan atmosfir bumi semakin habis. Karena keringnya kulit, perempuan berusia 20 tahun kelihatan seperti telah berumur 40 tahun.

Para ilmuwan telah melakukan berbagai investigasi dan penelitian, tetapi tidak menemukan jalan keluar.
Manusia tidak bisa membuat air. Sedikitnya jumlah pepohonan dan tumbuhan hijau membuat ketersediaan oksigen sangat berkurang, yang membuat turunnya kemampuan intelegensi generasi mendatang. Morphology manusia mengalami perubahan...…yang menghasilkan anak-anak dengan berbagai masalah defisiensi, mutasi, dan malformasi.

Beberapa negara yang masih memiliki pulau bervegetasi mempunyai sumber air sendiri. Kawasan ini dijaga dengan ketat oleh pasukan bersenjata. Air menjadi barang yang sangat langka dan berharga, melebihi emas atau permata.

Disini, ditempatku tidak ada lagi pohon karena sangat jarang turun hujan. Kalaupun hujan, itu adalah hujan asam. Tidak dikenal lagi adanya musim. Perubahan iklim secara global terjadi di abad 20 akibat efek rumah kaca dan polusi.

Sejak zaman mudaku, sebenarnya telah banyak peringatan bahwa sangat penting untuk menjaga kelestarian alam, tetapi tidak ada yang peduli. Berbagai gerakan penghijauan dan penanaman tidak di gubris dengan serius oleh manusia-manusia di zaman mudaku. Semua hanya sebatas hura-hura dan seremonial belaka. Pohon yang ditanam tidak pernah dipelihara.

Ketika anak-anak di zaman ini bertanya bagaimana keadaannya ketika aku masih muda dulu, aku menggambarkan bagaimana indahnya hutan dan alam sekitar yang masih hijau. Aku menceritakan bagaimana indahnya hujan, bunga, asyiknya bermain air, memancing di sungai, dan bisa minum air sebanyak yang kita mau. Aku juga menceritakan bagaimana sehatnya manusia pada masa itu. kemudian, mereka bertanya: "hai orang tua, kenapa tidak ada air lagi sekarang??

Aku merasa seperti ada yang menyumbat tenggorokannku. Aku tidak dapat menghilangkan perasaan bersalah, karena aku berasal dari generasi yang menghancurkan alam dan lingkungan dengan tidak mengindahkan secara serius pesan-pesan pelestarian... dan banyak orang segenerasiku juga berperilaku sama! Kami berasal dari generasi yang sebenarnya bisa merubah keadaan, tetapi tidak ada seorangpun yang melakukannya dengan bersungguh-sungguh.

Sekarang, anak dan keturunanku yang harus menerima akibatnya. Sejujurnya, dengan situasi ini kehidupan di planet bumi tidak akan lama lagi punah, karena kehancuran alam akibat ulah manusia sudah mencapai titik akhir.

Aku berharap untuk bisa kembali ke masa lampau dan meyakinkan umat manusia untuk mengerti apa yang akan terjadi ... Pada saat itu masih ada kemungkinan dan waktu bagi kita untuk melakukan upaya menyelamatkan planet bumi ini!

..........................
.........

Kring...kring....kring....
Alarm di HP ku berdering gaduh. Aku terjaga. Astaga..aku mimpi jadi orang tua yang masih hidup di tahun 2050... Alhamdulillaah, semua cuma mimpi...

Tapi semua kondisi sebagaimana mimpi itu bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Kondisi itu malah sudah mulai kita rasakan saat ini. Jadi, sebelum terlambat, marilah kita menjadi generasi yang peduli dengan alam. Kita harus mewariskan alam semesta ini dalam kondisi utuh demi terselamatkannya anak cucu kita kelak dari kiamat lingkungan.

Sudah banyak sarana untuk ikut terlibat aktif dalam upaya melestarikan lingkungan. Dan tahun 2009 ini, salah satunya adalah program yang dimotori oleh Departemen Kehutanan, yaitu ONE MAN ONE TREE.
Ya, satu orang satu pohon. Berarti tahun 2009 ini Indonesia ingin menanam 230 juta pohon untuk dunia. Sudahkah anda ikut menanam??

SALAM RIMBAWAN


(beberapa kalimat dalam tulisan di atas adalah adaptasi dari Translation in free bahasa oleh Yuliana Suliyanti, Aug 2007 atas Publikasi Majalah "Crónica de los Tiempos" April 2002)

Profesi dan Hati Nurani

Barangkali banyak profesi yang dalam pelaksanaannya harus bertentangan dengan hati nurani si pemilik profesi. Contohnya, personil Satpol PP barangkali sebenaranya banyak yang mengalami pertentangan batin saat harus mengusir atau menggusur para pedagang kaki lima, sebab tak tega rasanya melihat orang-orang kecil itu tak bisa mengais rejeki sekedar untuk bertahan hidup. Tapi di sisi lain, tugas adalah tugas, tetap harus dilaksanakan. Contoh lain: Polisi Kehutanan yang terus menerus harus konflik dengan masyarakat yang masuk dan melakukan aktivitas ekonomi, seperti berladang, dalam kawasan hutan. Di satu sisi tuntutan tugas mengharuskan para jagawana itu untuk bertindak tegas. Tapi disisi lain, nurani mereka tak tega. Sebab, sama seperti kasus Satpol PP, masyarakat yang mengokupasi kawasan hutan negarapun juga cuma karena desakan ekonomi yang harus dipenuhi. Bahkan kadang hanya untuk sekedar dapat makan agar bisa bertahan hidup.

Nah, anda tahu konflik batin apa yang terjadi pada seseorang yang berprofesi sebagai kameramen?? Saya juga baru tahu. Kemaren, saya melaksanakan tugas lapangan bersama 2 orang teman. Bersama kami, juga ikut serta seorang kameramen salah satu stasiun TV. Kami hendak meliput pelaksanaan kegiatan penghijauan lingkungan di salah satu Kabupaten. Dalam perjalanan ke lokasi, sang kameramen bercerita, bahwa jadi kameramen itu sebenarnya butuh insting yang tajam. Juga butuh mental yang kuat dan tidak gampang panik. Selain itu, ini yang sulit katanya, butuh sedikit rasa tega atau pengabaian hati nurani.

Insting yang tajam dibutuhkan untuk memburu gambar-gambar yang bagus dan bernilai berita, bahkan kalau perlu sensasional. Mental yang kuat dan tak gampang panik diperlukan agar si kameramen selalu sigap mengaktifkan kameranya saat berhadapan atau mengalami momen-momen genting atau bahkan membahayakan diri mereka sendiri. Menurut sang kameramen, seorang kameramen pemula banyak yang belum memiliki ini. Misal, saat terjadi gempa dan mereka sedang berada di tengah pasar. Para kameramen pemula biasanya akan ikut panik dan lupa dengan kameranya. Mereka akan berteriak; Gempa!! Gempa!! terus berusaha menyelamatkan diri. Sedangkan kameramen berpengalaman, yang sudah kental mental kameramennya, dalam situasi itu akan langsung menyalakan kameranya untuk merekam gambar situasi kepanikan yang terjadi di pasar itu. Sebab, kejadian buruk adalah gambar yang bagus jika berhasil direkam oleh kamera.

Sedangkan rasa tega atau pengabaian hati nurani kadang terjadi saat si kameramen kebetulan menyaksikan situasi seperti bencana, kerusuhan, dan sejenisnya. Dalam suatu kejadian bencana banjir, misalnya. Ketika seorang kameramen melihat ada seorang korban bencana yang hanyut di arus deras banjir, maka sang kameramen akan segera merekam kejadian itu dengan kameranya, bukan menolong si korban.. Aduh, kesannya raja tega ya? Nah, disitulah sering terjadi konflik antara profesi dengan hati nurani seorang kameramen..

Terakhir, anda tau moto seorang kameramen dalam menjalankan tugas? Begini motonya: ANDA BOLEH MENINGGAL SAAT MELIPUT SUATU KEJADIAN, TAPI ANDA HARUS MENINGGALKAN GAMBAR YANG BAGUS.. Hmmm... pantas ada kameramen yang mati-matian menyelamatkan kamera mereka meskipun nyawa taruhannya..

Bagaimana dengan Anda?? Adakah konflik batin dalam pelaksanaan profesi Anda??

Selasa, 23 Juni 2009

Perhatian Untuk Kaum Pria: Ini mungkin juga akan jadi masalah anda kelak

Hari Sabtu (20/6/09) lalu, saya bermaksud akan pangkas rambut di tempat tukang pangkas langganan. Sesampai di tempat pangkas, si tukang pangkas langganan saya rupanya sedang melayani seorang pelanggan. Jadi saya harus menunggu giliran.

Yang sedang dilayaninya itu, seorang pria manula. Menurut perkiraan saya, umurnya tak kurang 75 Tahun. Tapi meskipun sudah sangat tua, masih jelas terihat sisa-sisa kegagahan pada pria itu. Seperti Sean Conery kurang lebih, yang masih tampak sangat gagah di usia senjanya. Nah, pria itu juga demikian, terlihat masih sangat gagah dan tegap. Ketika mudanya pria itu pasti seorang laki-laki yang tampan.

Setelah rambutnya dipangkas rapi, pria itu juga minta rambutnya yang sudah memutih semua dan sudah tipis di sana-sini itu, untuk disemir agar menjadi hitam lagi. Agak geli juga saya melihatnya.. "Ah, sudah setua itu ngapain juga masih ingin rambut tampak hitam?", batin saya. Tapi, tukang Pangkas langganan saya tampak dengan sabar melayani orang tua itu.

Selesai sudah si pria tua. Setelah merapikan diri di depan cermin dan membayar jasa si tukang pangkas, ia pun pergi. Dia nyetir mobilnya sendiri. Tanpa kaca mata pula. Kelihatanya orang tua ini memang masih sangat prima kondisi kesehatannya.

Giliran saya sekarang. Saya duduk di kursi pangkas kemudian dipasangi kain penutup tubuh agar pakaian tidak terkena jatuhan rambut yang dipangkas. Si tukang pangkas langganan saya itu mulai bekerja merapikan rambut saya. Dan, seperti biasa, dia selalu duluan memulai obrolan. Dia memang selalu begitu, bekerja memangkas sambil ngobrol dengan para pelanggan yang sedang dia pangkas. Saya sendiri juga senang dipangkas sambil ngobrol dengan dia.

"Saya ketawa dalam hati aja sama orang tua tadi, Pak", ujarnya memulai obrolan. "Kenapa?" tanya saya. "Ya, lucu aja, sudah tua begitu tapi selalu saja tiap pangkas disini sekaligus minta rambutnya disemir". Emang umurnya berapa?", kembali saya bertanya. "Sudah hampir 80 tahun katanya". Hmm...perkiraan saya tadi tidak meleset jauh rupanya. Ternyata usia orang tua itu memang sudah melebihi 75 Tahun.

Dari keterangan si tukang pangkas saya dapat informasi. Orang tua tadi rupanya seorang akademisi. Dia seorang profesor. Di tahun 80-an dia juga pernah menjabat sebagai rektor sebuah Perguruan Tinggi. Sampai sekarang dia juga masih aktif mengajar di Pergurauan Tinggi itu. Hmm.. pantas, selain terlihat gagah, orang tua itu memang terlihat intelek.

"Kasihan juga dia Pak", lanjut si tukang pangkas. "Kenapa?" Sergah saya. "Dia sering mengeluh dan curhat sama saya tiap kali saya pangkas". Katanya dia masih punya libido yang lumayan tinggi. Sedangkan istrinya, yang jarak umurnya tidak terlalu jauh dengan dia, sudah sangat renta". Tubuh istrinya itu sudah ringkih dan bungkuk, sakit-sakitan pula". "Singkatnya, istrinya itu sudah tidak berfungsi lagi sebagai mitra seksual. Tidak bisa lagi melayani syahwatnya". Si tukang cukur berpanjang lebar bercerita. Dalam hati saya kembali bergumam, "ya, perempuan usia mendekati 80 dan kondisi fisik sudah renta, tentu sama sekali tak memiliki kehidupan sex lagi...

Dengan nada suara dipelankan, si tukang cukur melanjutkan. "Dia ngaku sama saya masih sering terpaksa onani loh, Pak".. Astaga, saya tertegun dan tersenyum kecut mendengarnya. "Kenapa tidak kau sarankan aja dia untuk nikah lagi?". "Sudah Pak, pernah saya bilang begitu. Katanya, dia sebenarnya sangat ingin karena memang merasa sangat butuh, tapi katanya dia kasihan dan tidak tega sama istrinya itu. "Hmmmm..begitu ya.. dilematis juga ya?? pungkas saya singkat.

Setelah itu, saya membatin sendiri. Kasihan juga orang tua itu. Jadi dilematis hidup ini buat dia. Tiap laki-laki pasti ingin tetap sehat sampai setua apapun umurnya. Tapi ternyata kesehatan itu justru menimbulkan masalah tersendiri. Karena masih sehat dan bugar, otomatis vitalitas juga masih berfungsi normal. Kebutuhan akan sex pun tentunya mutlak masih harus dipenuhi. Sementara, partner sex yang sah (istri) sudah tidak berfungsi lagi. Dilematis bukan??

Dan lebih kasihan lagi, orang setua itu, yang harusnya hari tuanya diisi dengan berbagai amal ibadah, terpaksa harus berbuat dosa dengan sering beronani (sebagian ulama menyatakan onani haram hukumnya), karena syahwatnya masih butuh disalurkan.

Nah, dari pengalaman itu saya jadi berfikir. Berarti kaum pria memang mengalami dilema yang pelik. Jika tetap sehat dan bugar hingga uzur, maka kebutuhan sex juga akan tetap ada, sementara istri sudah tidak bisa lagi meladeni. Sebaliknya, jika ingin hari tua tidak terganggu lagi dengan hasrat seksual, berarti seorang pria harus membiarkan tubuhnya tidak sehat dan tidak bugar sehingga hasrat sex otomatis padam. Ibarat makan buah simalakama.

Dalam kasus di atas, sebagian kita barangkali secara gampang akan menuduh bahwa pria tua itu aja yang "ganjen", tak mampu mengendalikan atau menahan dorongan syahwat. Barangkali sebagian kita, terutama perempuan (para istri), akan menunjuk contoh, banyak kok suami yang mampu menahan diri. Tapi perlu kita cermati, jangan-jangan yang mampu menahan diri itu memang para pria yang sudah "padam" hasratnya saja. Atau, kalaupun kita juga yakin mereka memang masih sehat dan bugar tapi tetap mampu menahan diri, apakah kita juga yakin mereka tidak pernah onani?

Kita tentu paham kodrat manusia, terutama laki-laki, bahwa kebutuhan sex adalah kebutuhan biologis. Sama halnya dengan kebutuhan makan dan minum. Ia harus dipenuhi agar keberlangsungan hidup sebagai manusia tetap terjaga. Bukankah orang lapar kadang terpaksa mau makan nasi sampah?

Saya jadi teringat dengan konsep poligami dalam Islam. Barangkali inilah salah satu bentuk kesempurnaan ajaran Islam. Islam tahu persis berbagai problematika persoalan hidup manusia, termasuk persoalan dalam konteks cerita di atas. Barangkali juga karena itulah makanya Islam mengatur adanya kesempatan bagi laki-laki untuk berpoligami. Salah satu tujuannya, agar para laki-laki tidak perlu berbuat dosa dengan sering beronani dihari tuanya karena istrinya tidak lagi bisa jadi mitra seksual..

Dan, sebenarnya ada alternatif solusi selain poligami. Sebab, seperti cerita di atas, memang banyak laki-laki yang tidak tega "menyakiti" istrinya dengan berpoligami. Alternatif itu adalah MUT'AH. Tapi alternatif ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Karena dalam pemahaman Ta'wil Islam Mainstream di Indonesia, MUT'AH dinyatakan haram... Wallaahualam....

Senin, 22 Juni 2009

Malam yang mencekam dan melelahkan di Rumah Sakit..

Seminggu yang lalu salah seorang dari putra kembar saya,Fadhlan, harus dirawat di Rumah Sakit. Tidak saya duga bocah itu akan dirawat. Karena dari penglihatan awam saya, dia cuma mengalami batuk biasa, dan itupun baru 4 hari. Tapi, ternyata anak saya itu harus dirawat, karena divonis mengidap pneumonia. Infeksi paru-paru bahasa gampangnya.

Saya makin khawatir, karena ternyata Fadhlan harus dirawat di HCU (High Care Unit) bangsal anak, yaitu tempat perawatan pasien anak yang mengalami kondisi gawat dan kritis. Begitu masuk, Fadhlan segera dipasangi infus dan oksigen. Kata dokter, Fadhlan juga harus berpuasa makan dan minum. Untuk sementara asupan makanannya cukup melalui infus saja. Aduh, saya benar-benar shock dengan kondisi itu. Parah juga rupanya kondisi Fadhlan. Nafasnya memang terihat sesak saat itu.

Bocah itu harus dipasangi infus dan oksigen secara paksa. Tak gampang, meskipun kaki dan tangannya dipegangi para perawat, susah mencari titik pemasangan infus pada anak 10 bulan yang terus berontak sejadi-jadinya. Kasihan Fadhlan, pasti dia stress mendapat perlakuan seperti itu. Dan saya khawatir, dia tidak akan nyaman dengan slang-slang infus dan oksigen itu. Benar saja, setelah terpasang, berkali-kali slang infus dan oksigen direnggut sampai copot. Berkali-kali pula titik pemasangan infus dipindah-pindah. Dari tangan pindah ke kaki, pindah lagi ketangan. Ketika dia sudah mulai terbiasa dengan banyak slang menempel dibadannya, persoalan belum selesai. Karena terus bergerak, tak bisa diam, infus berkali-kali macet karena terjadi pembekuan darah di bagian jarum yang terhubung dengan pembuluh darah. Berkali-kali pula perawat harus memperbaikinya. Duh..repotnya bila si kecil sakit... Alhasil, saya dan istri harus terus-terusan mengawasi dan kalau perlu menggendong Fadhlan. Menjaga supaya dia tidak banyak bergerak dan tidak kembali mencabut infus. Benar-bernar situasi yang tidak mudah bagi saya saat itu.

Namun, itu belum seberapa. Pengalaman "mencekam" justru baru saja dimulai. Setelah beberapa jam diruangan HCU itu, Fadhlan mulai sedikit tenang. Di sebelah kiri ranjang tempat Fadhlan dirawat, sudah ada pasien. Anak umur 18 bulan. Mengalami sesak nafas juga. Tapi kondisinya lebih memprihatinkan, karena beberapa bulan sebelumnya mengalami operasi jantung. Selain itu, dia juga penderita down syndrome, dan baru saja seminggu yang lalu keluar dari RS yang sama karena terkena DBD. Bocah yang malang. Tapi orang tuanya terlihat tabah dan sabar menghadapi kondisi buah hati mereka itu.

Di sebelah kanan ranjang Fadhlan, juga ada pasien. Yang ini kondisinya jauh lebih menggenaskan lagi. Seorang bocah laki-laki berusia sekitar 11 tahun terbaring dalam kondisi koma. Dari info selintas yang saya dengar, katanya anak itu keracunan. Begitu banyak slang yang terpasang ditubuhnya. Selain slang infus dan oksigen, juga ada slang yang mengalir kesebuah tabung. Dan di dalam slang itu tampak mengalir cairan berwarna merah kehitam-hitaman. Saya tidak tahu cairan apa itu. Sepertinya cairan itu mengalir dari salah satu organ dalamnya.

Tak berapa lama kemudian pasien koma itu menampakkan kondisi yang tidak stabil. Beberapa orang dokter dan perawat mengambil tindakan prosedural. Beberapa peralatan medic, yang saya tidak tau namanya, dikeluarkan dan digunakan sebagai upaya optimal menyelamatkan si pasien. Termasuk alat listrik untuk memberi efek kejut ke jantung. Namun, akhirnya, bocah itu tak tertolong. Meninggal. Kami yang masih kerepotan mengatasi Fadhlan, ikut menjadi saksi berpulangnya pasien cilik itu. Tak berapa lama kemudian, mayatnya dibungkus dengan kain seadanya. Menunggu pihak keluarga menyelesaikan urusan agar jenazah bisa dibawa pulang. Berselang lebih kurang 2 jam, mayat itu dijemput oleh keluarganya. Ayahnya membopong jenazah yang sudah kaku itu menuju ambulan. Sang ayah terlihat cukup tabah ditinggal selamanya oleh sang anak. Dan, kami lega. Sebab tak enak rasanya perasaan selama dua jam melihat mayat terbujur tepat disebelah ranjang tempat anak kami dirawat.

Tapi, sekali lagi,cobaan tidak hanya sampai disitu. Malam itu, ruangan HCR bangsal anak rupanya sudah menjadi target utama malaikat maut yang ingin menjemput bocah-bocah yang malang didunia namun akan menjadi penghuni syurga. Sekitar pukul 8 malam, masuk lagi seorang pasien berumur lebih kurang 8 tahun. Kali ini perempuan. Juga dalam keadaan koma dan kritis sekali kelihatannya. Prosesi seperti pada pasien yang meninggal siang tadi kembali terjadi.. Persis sama, dokter dan perawat berupaya keras, dan berbagai peralatan medic kembali digelar. Bedanya, kali ini keluarga pasien terlihat banyak yang menunggui saat-saat genting itu. Tanpa sadar sebagian mereka masuk ke ruangan HCR yang harusnya steril itu masih menggunakan alas kaki. Ruangan yang memang sudah panas itu makin terasa gerah. Beberapa kerabat dekat pasien yang sedang sekarat itu terlihat histeris. Sambil terus menangis mereka memberi tekanan psikologis kepada tim medis yang sedang berupaya maksimal itu agar menyelamatkan nyawa anak mereka. Bahkan, ayah pasien itu sambil menangis, berkata pada tim medis: "saya ikhlas anak saya ini meninggal, asal bapak ibu sekalian sudah bekerja maksimal berupaya menyelamatkan nyawanya"..

Suasana terasa mencekam. Kami dan beberapa penunggu pasien lain ikut-ikutan stress karena suasana saat itu.. Sudah menjelang tengah malam. Tapi suasana di ruangan itu sangat gaduh.. Anak kami dan pasien-pasien cilik lainnya terlihat tidak nyaman dan tidak bisa tidur.. Sementara, Tim medis sudah terlihat mulai putus asa dengan kondisi pasien tadi. Sudah berbagai upaya dilakukan. Berbagai obat sudah disuntikkan. Juga tak henti secara bergantian paramedis itu mengorek-ngorek mulut pasien, menekan-nekan dadanya, dan berbagai upaya lainnya yang saya tak paham. Tapi, kembali, malam itu malaikat maut tak hendak pergi tanpa hasil agaknya. Pasien itu akhirnya juga tak tertolong. Meninggal dengan disaksikan bahkan dikerumuni oleh banyak sekali kerabatnya di ruangan itu.

Sontak, suasana jadi makin tak terkendali. Begitu pasien dinyatakan meninggal, kerabatnya makin histeris. Lolongan tangis makin menjadi-jadi. Ayah si pasien bahkan tak mampu mengendalikan dirinya. Ia shock berat. Meraung-raung sambil berguling-guling di lantai ruangan itu tanpa dapat ditenangkan oleh kerabatnya yang lain. Ia lupa dengan kata-katanya tadi yang katanya akan mengikhlaskan anaknya itu andai memang ajal menjelang. Bahkan istrinya sendiri yang juga tak kuasa menahan tangis juga tak mampu menenangkannya. Oh Tuhan... malam itu benar-benar malam yang berat bagi saya. Dalam keadaan anak yang masih belum jelas kondisinya, saya menjadi saksi meninggalnya 2 orang pasien tepat di depan mata.. Saya peluk erat Fadhlan.. Dua kejadian dalam beberapa jam itu membuat Saya jadi sangat khawatir akan kondisi Fadhlan.. Saya bergumam dalam doa.. Tuhan, beri yang terbaik untuk Fadhlan..

Akhirnya.. Menjelang jam 12 tengah malam..kondisi kembali normal.. Ruangan kembali tenang.. barulah para Pasien di ruangan HCR bangsal anak itu dan kami para penunggunya bisa mulai beristirahat.. Benar-benar malam yang mencekam dan melelahkan..

Jumat, 12 Juni 2009

Aduh... dituduh "tak berbudaya"

Sore itu, seperti biasa, saya pulang dari kantor sudah mendekati magrib. juga seperti biasa, jalanan Kota Padang ramai di jam-jam seperti itu. Saya mengendarai motor dengan kecepatan sedang, 40 Km/jam. Perjalanan pulang dari kantor menuju rumah memang selalu saya nikmati. Suasana dan udara sore yang teduh membuat penat selepas bekerja seharianpun sedikit terpulihkan karenanya.

Saya suka merubah-rubah rute perjalanan pulang. Tujuannya supaya tidak jenuh saja. Terkadang saya sengaja menempuh rute yang lebih jauh. Nah, ketika itu, saya pulang melewati rute yang melewati sebuah pertigaan yang biasanya selalu ramai dan tak jarang macet. Di pertigaan itu sebenarnya ada lampu lalu lintas. Tapi, entah kenapa, berbeda dengan lampu-lampu lalu-lintas di pertigaan atau perempatan lain, lampu lalu lintas di pertigaan itu jarang sekali dipatuhi oleh pengguna jalan, terutama oleh pengendara angkot dan sepeda motor. Sign merah, kuning, hijau, tak ada bedanya. Kendaraan selalu menerobos dan saling berebut masuk dan tidak mau mengalah.. Kadang terjadi crowded yang parah di sana karena perilaku tidak disiplin pengguna jalan.

Seperti kejadian saat itu. Ketika saya akan lewat di pertigaan itu, kondisi sangat semrawut. Pejalan kaki menyebrang jalan sembarangan. Angkot, berebut penumpang di sekitar pertigaan. Kadang saat menaikkan maupun menurunkan penumpang si supir angkot tanpa merasa bersalah berhenti seenaknya saat posisi angkotnya masih di tengah badan jalan . Ada juga pengendara motor yang berkendara berlawanan arah. Barangkali dengan alasan tanggung mau menyeberang, jadi mereka berkendara dilajur jalan sebelah kanan.. Sebuah mobil, dengan nomor polisi luar Sumatera Barat, tiba-tiba berhenti, karena saat itu lampu lalu lintas memang sedang merah. Agaknya mobil itu bermaksud mematuhi sign harus berhenti itu. Beberapa mobil yang berada di belakangnya kemudian terus-terusan menglakson. Namun, mobil itu tetap tak bergerak. Merasa terhalang untuk terus jalan, mobil-mobil itu terus membunyikan klakson dengan irama nada tidak sabar, meminta mobil yang berhenti itu untuk jalan.

Kesal dengan suara klakson yang memekakkan, pengendara mobil yang berhenti itu keluar dari mobilnya. Perawakannya memang ideal. Berumur sekitar 40-an. Ia membanting pintu mobilnya, kemudian berjalan ke arah mobil-mobil yang terus-terusan menglakson tadi. Saya berada disamping mobil-mobi itu. Sejenak setelah itu, dengan marah ia memuntahkan umpatan dalam Bahasa Indonesia, "kalian tidak lihat lampu lagi merah!?", "apa kalian tidak tahu tatakrama di jalan raya!?", "dasar tak berbudaya!? kemudian ia kitari para pengendara disekitar itu dengan tatapan mata kesal. Ia tunggu reaksi orang-orang itu. Tapi tidak ada yang bereaksi. Semua diam, termasuk saya. Sign hijau sudah nyala. Jalanan jadi macet. Karena tidak terlihat ada yang bereaksi, ia kembali masuk ke mobilnya, dan berlalu.

Entah apa yang ada di benak orang-orang (termasuk saya) yang dimaki-maki itu. Entah merasa lucu, karena menganggap aneh ada orang yang marah-marah karena persoalan sepele yang setiap saat memang terjadi dipertigaan itu? Atau kesal dalam hati karena sudah dimaki-maki tapi tidak berani "melawan", karena khawatir kalau-kalau yang memaki itu "urang bagak"? Atau memang sama sekali masa bodoh? Entahlah.. Yang pasti saya kesal juga termasuk yang dituding tidak berbudaya! Karena saya memang tak hendak ikut-ikutan mau menerobos lampu merah saat itu. Dan saya juga tidak ikut-ikutan menglakson.

Begitulah. Keesokan harinya, saya menceritakan pengalaman itu kepada teman-teman dikantor. Salah seorang teman menimpali, " betul itu, seumur-umur saya mengemudi, baru disinilah saya sering ngedumel saat nyetir karena perilaku pengendara-pengendara lain di jalan raya yang bikin kesal". Busyet.... Apa betul sudah terlalu "barbar" jalan raya di Kota kita ini??

Jumat, 29 Mei 2009

"PELAJARAN" Dari Seorang Kawan Masa SMA

Kawan, sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menuliskan ini. Tapi aku selalu terkendala kesempatan. Namun, hari-hari belakangan ini aku merasakan dorongan yang semakin kuat untuk menulisnya. Maka, aku sempatkan diri menulis ini, kawan. Tulisan yang kurasa akan sangat bermanfaat bagi diriku sendiri tentu saja.

Kawan, kita dulu teman sebangku ketika kelas 1 SMA. Ketika itu aku merasa kau sosok pribadi biasa. Ya, seperti diriku juga. Tak ada yang istimewa pada diri kita. Namun, Aku merasa banyak kecocokan antara kita. Barangkali karena kita berasal dari SMP yang sama. Rumah kita juga berjarak tak terlalu jauh di Siteba sana. Dan yang paling membuat ku nyaman sebangku denganmu, karena, seperti halnya diriku, kau juga berasal dari keluarga yang sangat bersahaja. Memang ini keterbatasan ku, dari dulu memang cuma bisa berteman dengan orang-orang yang sederhana dan bersahaja. Seperti dirimu, kawan..

Masa-masa kita di kelas satu itu, tak banyak hal istimewa yang kita alami. Tiap hari kita hadir ke sekolah dan belajar. Terkadang, sering juga kita mengeluh soal tidak betah belajar mata pelajaran tertentu. Tapi dalam hal ini kita berbeda, kawan. Diriku tak betah belajar beberapa mata pelajaran tertentu memang karena keterbatasan intelejensi ku. Sedangkan kau, kawan, potensi kecerdasan terlihat jelas ada padamu. Kau cuma tidak fokus saja. Pernah pada beberapa kesempatan kau serius menyimak materi pelajaran yang diajarkan guru. Dan, hasilnya kau memang bisa dengan cepat dan sangat-sangat baik memahami pelajaran-pelajaran itu.

Di luar urusan pelajaran, sebagaimana kebanyakan remaja baru baligh, sesekali kita juga terlibat obrolan tentang teman-teman cewek sekelas kita yang memang cantik-cantik. Ya, sekedar obrolan memang, kawan. Tak ada keberanian pada diri kita untuk berbuat "lebih" pada mereka. Kita cowok tak "masuk hitungan" untuk urusan cewek memang. Jam istrirahat pelajaranpun sering kita isi dengan cuma ngobrol, karena selalu tak cukup uang saku kita untuk berkunjung atau nongkrong di kantin sekolah. Satu lagi kesamaan kita, sering lalai Sholat Ashar saat jam istirahat itu.

Demikianlah kawan, cuma setahun kita bersama. Meskipun naik kelas dan sama-sama (cuma) berhak duduk dijurusan sosial, tapi kita terpisah kelas. Sejak itu aku tak terlalu intens lagi bergaul denganmu. Di kelas kita masing-masing, kita mulai lagi kehidupan pertemanan dengan teman-taman baru.

Namun, aku masih sempat mencermati transformasi yang terjadi pada batinmu, kawan. Saat kelas satu, aku sangat-sangat hafal bahwa kau bukan termasuk orang yang religius, sekali lagi sama dengan diriku. Meskipun aku sering juga pergoki, kau tertegun ketika mendengar lafaz suara Azan atau kumandang ayat-ayat Al Quran yang berasal dari corong mesjid di sekitar sekolah kita. Tapi tak lebih dari itu. Ketika itu, Kau belum memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi seorang yang agamis. Nah, dikelas dualah aku mulai melihat transformasi itu.

Dimulai saat Kau jadi pemenang lomba azan antar kelas dalam rangka class meeting, ajang berbagai lomba mengisi masa pasca ujian dan menunggu saat pembagian rapor. Kemenangan mu itu sedikit membuatku heran. Sejak kapan kau bisa azan? Bukankah kau dan aku dulu tak terlalu peduli agama? Bukankah dulu kita sama-sama sering lalai Shalat Ashar? Sekarang, tiba-tiba kau telah menjadi juara lomba azan tingkat sekolah. Entahlah. Tapi ya demikianlah. Sejak saat itu, agaknya kau mulai sangat tertarik mendalami ilmu agama. Secara perlahan aku juga rasakan perubahan dalam sikap dan pembawaanmu. Kau terasa lebih santun dan tenang. Singkatnya, hanya sampai disitu aku sempat memperhatikanmu, kawan. Setelah itu, kita sibuk dengan kehidupan kita masing-masing hingga kita akhirnya lulus dari SMA itu.

Kawan, pertemuan kita selanjutnya selang 13 tahun selepas kita lulus SMA. Sangat lama memang. Tahun 2007 awal, kalau aku tidak salah mengingat. Dalam rentang waktu itu kita tak saling berkunjung memang. Juga tidak saling berbagi kabar berita, karena tidak ada sarana yang bisa kita manfaatkan untuk itu.

Aku hanya sempat mendengar kabar bahwa kau bekerja di Riau sebagai tenaga pengemudi mobil box (kampas). Sedangkan aku, juga diombang ambing oleh samudra nasib hingga bisa mengecap bangku perguruan tinggi, menjadi sarjana, dan akhirnya berkerja sebagai pegawai negeri.

Pada suatu siang awal 2007 itulah akhirnya kita bertemu. Di Bandara Tabing. Kau menyapa aku yang saat itu baru saja keluar dari ruang kedatangan dalam negeri. Kita berjabatan tangan. Kuamati dirimu. Kau tetap bersahaja, kawan. Hanya saja sekarang, sangat nyata kurasakan kesejukan dan keteduhan di wajahmu, di senyummu, di tutur katamu. Tanpa perlu bertanya, aku bisa simpulkan, kau sedang berdagang di bandara itu. Kau menawarkan perlengkapan muslim pada para pengunjung bandara secara asongan. Kuamati tas yang kau sandang, penuh dengan barang dagangan.

Kau terlihat senang bertemu lagi dengan ku. Erat dan hangat jabat tanganmu ku rasa. Jujur, sebenarnya aku sedikit kikuk untuk bersikap padamu saat itu. Barangkali karena rentang waktu yang terlalu lama tidak mempertemukan kita itu penyebabnya. Aku bingung mau bicara apa. Tapi kau tidak, kawan. Seolah tahu dengan kekakuanku itu, kau sangat cair dan akrab. Suara lirihmu yang bersahabat itu membuatku akhirnya juga bisa (kembali) cair.

Kita ngobrol tentang banyak hal. Masa lalu tak lupa kita ungkit sekedar pemancing derai tawa. Tapi tawamu selalu terjaga, kawan. Tak pernah berlebihan. Kemudian kita saling bertanya soal keluarga. Kau bertanya, sudah berapa orang anakku sekarang? Ku jawab, baru satu. Kau tersenyum, kemudian dengan nada riang kau timpali, “aku lebih kaya, anakku sudah dua”. Kawan, aku tahu, ucapanmu itu hanya bercanda. Aku juga tak cukup naif sehingga tidak paham bahwa candamu itu berasal dari hati yang putih bersih. Tapi itulah manusia, hati nya yang terdiri dari darah dan daging itu sangat mudah disusupi oleh hasutan setan. Begitu pula aku. Hampir saja setan berhasil memperdaya hatiku untuk berkata sombong padamu. Membalas ucapan bercanda mu tadi dengan sebuah kesombongan yang bukan bercanda.

Hampir saja aku menyakiti hatimu dengan cerita soal aku yang sarjana, yang telah menjadi pegawai negeri, yang saat ini baru saja pulang dari menyelesaikan studi S2 atas biaya pemerintah. Walau saat ini aku sadar bahwa saat itu kau tak akan mungkin merasa iri atau tersakiti oleh bentuk kesombongan apapun dari ku, tapi aku malu pernah hampir terperdaya oleh bisikan setan untuk melontarakan kesombongan seperti itu dihadapan mu, kawan. Kini aku sangat bersyukur, karena kesombongan murahan itu akhirnya memang tidak pernah terlontar dari mulutku.

Demikianlah, kawan. Setelah pertemuan agak tergesa-gesa di Bandara itu, kita kembali tak pernah bertemu. Hingga suatu hari, terjadilah momen yang membuat aku jadi begitu sering teringat padamu dan akhirnya mendorong aku bertutur melalui tulisan ini.

Kira-kira dua bulan yang lalu, saat aku mengantar anakku berobat ke puskesmas Siteba, aku bertemu dengan seorang teman kita, yang juga tetangga rumah orang tuamu. Aku bertanya pada dia tentangmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang mu, kawan. Dan cerita nya tentang dirimu memberi banyak sekali pelajaran pada batin ku yang selalu gundah ini.

Begini ceritanya pada ku, kawan.

Memang semenjak pertengahan masa SMA itu, kau seolah dapat hidayah dan mulai mendekatkan diri ke agama. Kau aktif di mesjid di daerah tempat tinggalmu. Itulah rupanya jawaban atas keherananku kenapa kau tiba-tiba jadi juara lomba azan di sekolah ketika itu.

Selepas SMA kau sempat bekerja macam-macam. Dan salah satunya, seperti yang pernah kudengar, kau bekerja sebagai pengemudi armada mobil kampas di Pekan Baru. Dalam masa bekerja ini kau mengalami sebuah kejadian yang sangat mengerikan. Aku sendiri jika mengalami pengalaman seperti itu, tak yakin lagi masih mampu menjalani sisa hidup secara normal.

Mobil kampas yang kau kemudikan dengan ditemani oleh seorang rekan, dicegat kawanan perampok bersenjata di sebuah daerah di Riau sana. Setelah menghentikan mobil, mereka berusaha merebut uang hasil transaksi kalian hari itu. Rekan mu berusaha mempertahankan uang itu. Malang nasib rekanmu itu, salah seorang perampok kalap, ia menembak rekanmu dari jarak dekat, tepat dikepala. Tak ayal, rekanmu meregang nyawa, dan akhirnya meninggal dalam pelukanmu yang juga shock dan ketakutan. Isi kepalanya berantakan di pangkuanmu. Kawan, sungguh pengalaman yang aku saja tak berani membayangkannya terjadi pada diriku..

Setelah kejadian itu, kau pulang ke Padang. Pengalaman traumatik itu tak membuatmu hancur. Pengalaman itu malah hanya makin mendekatkan dirimu pada Nya. Kau merasa, selamat dari kejadian itu merupakan anugrah dari Nya yang tujuannya tak lain memberimu kesempatan untuk lebih bertawakal pada Nya. Kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama Nya.

Di Padang, kau kembali bekerja apa saja untuk mencari nafkah di samudra rizkiNya yang maha luas. Hanya saja, kau tidak lagi merasa bahwa kehidupan dunia ini terlalu penting sehingga kegiatan mencari rizki itu bisa mengalahkan kewajibanmu untuk mengingat dan beribadah pada Rabb mu. Bahkan setelah menikah dan dikaruniai anak sekalipun cintamu pada Nya tak terkalahkan.

Pernah suatu ketika, saat itu kau bekerja sebagai pengemudi angkot. Sang majikan pemilik angkot berpesan padamu bahwa hanya kau yang boleh mengemudikan angkot itu. Jangan dipindahtangankan pada teman atau siapapun. Kau jalanilah pekerjaan sebagai supir angkot. Hari demi hari, setoranmu seringkali kurang. Sang majikan agak kecewa karenanya. Namun, ia tidak serta merta ingin memecatmu. Ia ingin menyelidiki dulu apa sebabnya setoranmu sering kurang. Suatu hari, istri sang majikan, yang kau sendiri tidak tahu kalau itu istri majikanmu, sengaja naik sebagai penumpang angkot yang kau kemudikan. Ia ingin tahu bagaimana sebenarnya kinerjamu sebagai seorang supir angkot.

Angkotmu sedang meluncur di jalan raya ketika azan Zuhur berkumandang. Ada 2 orang penumpang tersisa ketika itu, salah seorangnya istri sang majikan. Kau langsung meminggirkan angkotmu dan berhenti. Salah seorang penumpang bertanya, “kenapa berhenti? Tidak ada yang mau naik, dan kami juga tidak ada yang mau turun di sini. Dengan sopan kau jawab, “maaf Ibu-Ibu.. silahkan pindah saja ke angkot yang lain, tidak usah dibayar ongkosnya…saya mau Sholat dulu.

Malam harinya, ketika mengantar setoran, sang majikan menahan mu untuk tidak segera pulang, kemudian mengajakmu ngobrol. Sang majikan menceritakan pengalaman istrinya naik angkotmu siang tadi. “Pantas setoranmu sering kurang” waktu narikmu jauh lebih sedikit dibanding supir-supir lain. Istriku bilang, Sholat Zuhur tadi saja, hampir satu jam kau di mesjid. Belum lagi Shalat Ashar dan Magrib..” Majikanmu terlihat bimbang bersikap. Kemudian ia melanjutkan, “kalau kau akan lama di mesjid, kenapa kau tidak suruh aja temanmu menggantikan narik? Kan sayang angkot nganggur aja parkir di mesjid selama itu..” Kau menjawab, “Saya tidak berani melanggar pesan Bapak dulu. Bapak bilang angkot tidak boleh diserahkan ke orang lain, hanya saya yang boleh mengemudikannya..”

Majikanmu balik menjadi terharu. Sekarang menjadi dilematis baginya. Di satu sisi dia kagum, ternyata kau orang yang jujur dan amanah. Sulit sebenarnya menemukan pengemudi angkot yang jujur dan amanah. Tapi di sisi lain, dia juga ingin angkotnya memberikan penghasilan sebanyak mungkin. Akhirnya, karena kau teguh pada pendirianmu untuk tetap narik dengan cara seperti itu, menomor satukan panggilan sholat, majikanmupun tak punya pilihan lain, dan dengan berat hati terpaksa menggantimu dengan supir yang lain. Kaupun berlapang dada.. padahal kau baru saja kehilangan mata pencaharian, sumber nafkah anak istrimu, kawan.. tapi kau lebih cinta Rabb Mu..

Menunggu kedatangan dokter di puskesmas ternyata lumayan lama. Teman kita melanjutkan ceritanya.

Kawan, bagimu ladang untuk mencari nafkah yang halal sangatlah luas. Yang penting adalah keyakinan bahwa Rizki dariNya sangat berlimpah untuk menghidupi seluruh isi bumiNya ini. Karena itu, yang diperlukan hanyalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Kau buktikan itu kawan, berbagi profesi kau jalani dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas. Termasuk berdagang pernak-pernik muslim secara asongan, seperti yang aku lihat ketika kita bertemu di Bandara dulu..Aku salut sekaligus bangga padamu, kawan.

Ditengah kesederhaan mu itu, ditengah beratnya ikhtiar mu untuk mencukupi nafkah diri dan keluargamu, kau juga tidak pernah lupa berbakti pada orang tuamu. Kau selalu kunjungi mereka. Dan setiap mengunjungi mereka, kau selalu menyisihkan sebahagian penghasilan mu untuk menyantuni mereka. Meskipun sangat pasti, mereka tidak pernah meminta atau membebanimu untuk melakukan itu. Tapi itulah wujud cinta kasih dan pengabdianmu untuk membalas jasa-jasa mereka.

Ketika pecah perang Israel dengan Fraksi Hamas Palestina, hatimu pun terpanggil. Kau ingin berangkat ke medan jihad di salah satu kota suci umat Islam itu. Kau datangi berbagai ormas dan lembaga yang sekiranya bisa mengirimmu ke sana sebagai relawan. Tekadmu telah bulat, berangkat jihad. Niatmu untuk membela saudara sesama muslim begitu kental. Andaipun pemikiran maupun tenagamu tidak akan berguna di medan pertempuran sedahsyat itu, setidaknya kau merasa bisa berguna sebagai dorongan moral bagi pejuang muslim Palestina, karena setidaknya mereka merasa muslim sedunia peduli dengan mereka. Demikian kuatnya tekatmu.

Kemungkinan terburuk akan terbunuh di sana, justru kemungkinan terbaik bagimu, gugur sebagai syuhada dan berpulang menghadap kepadaNya dengan " muka tengadah".

Begitu yakinnya kau akan janji syurga bagi para syuhada. Tangis istri dan rengek kedua anakmu yang memohon kau untuk tidak jadi berangkatpun tak mampu sedikitpun mengurangi tekadmu untuk berangkat dan siap syahid di sana. Istrimu mungkin tidak se Kaffah dirimu. Dia masih ingin didampingi olehmu. Dia masih ingin anak-anakmu tumbuh dalam asuh dan bimbinganmu. Kaupun tak mampu meyakinkan istrimu, bahwa andai kau memang akan gugur disana, Sang Maha Besar tidak akan menyia-nyiakan janda dan anak yatim dari seorang syuhada. Sang maha Pelindung dan Maha Pemurah akan menjaga dan mencukupi keluarga yang kau tinggal. Begitu keyakinanmu. Namun, sisi manusiawi istrimu sebagai seorang perempuan dan seorang ibu tetap tidak bisa memaklumi itu. Namun, sekali lagi, kau memang lebih cinta pada Tuhanmu. Kau bersikukuh. Istrimu akhirnya putus asa dan mendatangi ibumu. Memohon sang Ibu untuk melunakkan hatimu agar tak jadi berangkat. Kawan, akhirnya hanya air mata ibumulah yang bisa mencairkan hatimu.. Itupun tak lebih karena kau tidak ingin mencemari ke-kaffah-an mu dalam beragama dengan membuat ibumu menangis dan kecewa.. Oh kawan…

Kawan, sampai di situ teman kita bercerita tentangmu. Aku harus segera pulang karena anakku telah selesai berobat. Dalam perjalanan pulang aku terdiam. Aku baru saja mendengar cerita tentangmu. Cerita yang sama sekali diluar apa yang terpikirkan olehku. Cerita yang mengaduk-aduk nuraniku.

Hari-hari berikutnya, cerita tentang dirimu itu selalu jadi bahan renunganku. Setiap malam ketika hendak tidur aku tidak pernah bisa mengelak dari pikiran tentangmu. Tentang pribadi dan kehidupanmu yang luar biasa..

Kini aku merasa begitu kerdil jika dibandingkan dengan dirimu. Kau mampu mentransformasi hidupmu untuk memperoleh ridhaNya. Dibalik tubuhmu yang terlihat ringkih, ada jiwa yang begitu mulia dan ikhlas. Jiwa yang menjalani kehidupan dunia tanpa mengeluh dan selalu ingat bahwa dunia bukan tujuan.

Sedangkan, lihatlah diriku kawan. Aku belum mampu untuk seujung kuku saja menjadi sepertimu. Aku masih terlalu mencintai kehidupan fana ini. Aku masih terlalu asik membangun kemegahanku di dunia ini. Sesuatu yang sebenarnya sering membuatku lalai dari mengingatNya. Aku masih saja suka bermain-main menyerempet laranganNya. Aku kadang tak mampu memastikan bahwa nafkah yang ku peroleh benar-benar diperoleh dengan cara-cara yang di ridhai-Nya. Dibalik kelapangan dan kemudahan yang diberikanNya kepada ku, sering aku masih merasa kurang. Jangankan untuk berjihad, aku bahkan terlalu sering berpikir panjang untuk sekedar menafkahkan rizki di jalanNya. Ketika akan menyisihkan sedikit penghasilanku untuk kedua orang tuaku, aku masih terlalu gampang digoda setan dengan bisikan bahwa anak istriku lebih membutuhkannya.. Kawan, cerita tentangmu telah “menampar” batinku.

Sekarang, aku tidak tahu kau dimana. Aku rindu padamu kawan. Aku ingin bertemu lagi denganmu. Merangkul hangat dirimu. Berharap kau tularkan aku kemuliaan itu..

Selasa, 28 April 2009

SETELAH ROKOK, (Mungkinkah) MASAKAN PADANG JUGA AKAN DIFATWA HARAM?

Judul di atas barangkali terasa berlebihan. Tapi, tidak juga. Saya khawatir, suatu saat apa yang dimaksud oleh judul di atas, benar-benar jadi kenyataan. Begini, beberapa waktu yang lalu saya menerima email dari seorang teman. Email itu di forward secara berantai dari email ke email, dari groups ke groups, dari milis ke milis. Isi email itu sebuah tulisan yang berjudul: KISAH SEORANG ISTRI YANG SUAMINYA TERKENA SERANGAN JANTUNG.

Tulisan tersebut berisi tentang seorang istri yang mengisahkan sebuah cerita dramatis ketika suaminya mengalami serangan jantung koroner. Ia sangat shock, karena walaupun ada gejala aneh pada kesehatan suaminya beberapa hari sebelum terkena serangan itu, ia tidak tahu kalau itu tanda-tanda awal akan datangnya serangan jantung yang hebat. Singkatnya, setelah menghadapi kondisi kritis selama beberapa minggu, dan setelah melalui perjuangan berat dengan biaya yang tidak sedikit, sang suami akhirnya bisa tertolong.

Di akhir cerita, si istri menyatakan: HARGA RECOVERI SEBUAH JANTUNG SAKIT ITU SAMA DENGAN HARGA SEBUAH RUMAH ATAU MOBIL MEWAH…KARENA ITU: SAYANGILAH JANTUNG ANDA!!

Kemudian, dibagian berikutnya dari tulisan itu, si istri memberi beberapa saran bagi siapa saja yang masih menyayangi jantungnya dan tak ingin mengalami kejadian seperti yang dialami suaminya. Tebak, apa saran utama dari si istri itu? Saran utama dan yang diurutan pertama ia sebutkan adalah:

“HINDARI MAKANAN PADANG”: 75% Pasien jantung rata
rata penggemar masakan Padang (Karena banyak mengandung kolesterol JAHAT!!!).

Tulisan itu diakhiri dengan rangkaian kalimat sebagai berikut:

PAKAR SAKIT JANTUNG berkata, jika semua orang yang mendapat e-mail ini menghantar kepada 10 orang yang lain, beliau yakin akan dapat menyelamatkan satu nyawa. Bacalah artikel ini, ia juga mungkin dapat menyelamatkan nyawa anda. Jadilah teman yang setia dan teruskan menghantar artikel ini kepada teman-teman yang anda sayangi.

“Fal yandzhuril insaanu ilaa tho'aamih”: " maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” [ Qs. 'Abasa: 24 ].


Nah, setelah membaca kiriman email dari teman itu, muncullah kegundahan di benak saya sebagaimana judul di atas. Suatu saat Masakan Padang akan di Fatwa Haram!! Kenapa? Cukup beralasankah kegundahan saya itu? Saya pikir sangat beralasan.

Sebagaimana halnya rokok yang difatwa haram oleh MUI karena dinilai lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, maka berdasarkan isi email yang saya terima itu, masakan Padang juga menyandang status yang sama, lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Dan kalau benar bahwa Masakan Padang menjadi penyebab utama orang terkena penyakit jantung (setidaknya 75%), maka layaklah Masakan Padang di Fatwa Haram. Karena ia menjadi faktor penyebab utama orang terkena penyakit yang paling banyak membunuh manusia di Indonesia ini selain kanker.

Posisi Masakan Padang agaknya harus “lebih haram” dari pada rokok. Kenapa demikian? Karena, kalau rokok, orang susah berhenti atau meninggalkannya karena tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan fungsi rokok. Misal, bagi yang sudah kecanduan rokok, rokok bisa menjadi segala-galanya bagi mereka, tanpa rokok mereka susah berfikir, bahkan kadang linglung. Sedangkan masakan Padang, harusnya bisa ditinggalkan karena berbahaya (malah bisa membunuh) dan masih banyak alternatif penggantinya yang fungsinya sama, yaitu untuk memenuhi kebutuhan biologis akan asupan makanan. Benar tidak? Jadi benar bukan bahwa masakan padang itu lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya? Manfaatnya cuma untuk memberi kenikmatan sampai batas lidah (cita rasa), sedangkan mudharatnya? Bisa jadi pemicu penyakit jantung, stroke, gula darah, dll..Bisa membunuh!! Jadi beralasan bukan, kalau suatu saat nanti akan keluar Fatwa MUI: Masakan Padang Haram!! Apalagi ada ayat Alquran pula rupanya yang bisa jadi sandaran Fatwa Haram itu, seperti yang di sitir dalam cerita di atas:

“Fal yandzhuril insaanu ilaa tho'aamih”: " maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya” [ Qs. 'Abasa: 24 ].

Bisa dimaknai, bahwa dengan mengkonsumsi masakan Padang, berarti manusia telah tidak memedomani ayat ini, yaitu tidak memperhatikan makanannya sehingga bisa merugikan kesehatannya bahkan mengancam nyawanya..

Saya makin galau dengan kecamuk pemikiran, ketika menyadari bahwa masakan Padang (Minang) juga adalah salah satu maskot utama bagi kita Urang Minang. Ia bagian penting dalam tradisi dan adat istiadat. Juga, lihatlah urang awak di perantauan, selain berdagang, membuka rumah makan khas masakan Padang (Minang) adalah andalan mereka untuk bertahan hidup bahkan berjaya di negeri orang. Idustri “lambuang” ini menggerakkan sektor riil di Sumatera Barat. Kemudian, banyak urang awak jadi “urang kayo gadang” karena bisnis restoran Padang yang mereka kelola sangat sukses. Bahkan sudah ada yang menjual franchise. Disisi lain, ada hal yang lebih penting, menyelamatkan nyawa, setidaknya kesehatan, banyak orang.

Dan, sebuah dilema yang tak mudah bagi saya setelah menerima email tersebut. Apakah himbauan agar meneruskan email itu ke teman-teman (minimal 10 orang) akan saya laksanakan atau tidak? Jika saya laksanakan, berarti saya ikut mengkampanyekan orang tidak lagi mengkonsumsi masakan Padang. Berarti saya ikut “membunuh” adat dan tradisi Minangkabau, saya ikut “membunuh” sektor riil di Sumatera Barat, ikut “membunuh” “pancarian” banyak sekali urang awak di seluruh penjuru Indonesia. Namun, jika tidak saya laksanakan, berarti saya tidak peduli dengan kemanusiaan!! Oh God…

Melalui tulisan ini, saya berharap ada jawaban atas kerisauan saya ini (yang barangkali mengada-ada atau berlebihan). Saya ingin tahu adakah opini lain tentang masakan Padang? Saya dulu pernah (lupa apakah membaca atau menonton di TV) mendengar pendapat seorang ahli kesehatan (orang Minang memang) yang membantah bahwasanya masakan Padang itu ‘sumber penyakit”. Katanya, hasil penelitian membuktikan bahwa racikan bumbu-bumbu pada masakan Minang yang sedemikian rupa telah menetralisir potensi penyebab penyakit dalam masakan tersebut. Namun faktanya, Rumah Sakit stroke memang ada di Bukittinggi karena banyaknya penderita Stroke di Sumbar, angka Pengidap penyakit Jantung di Sumbar juga sangat tinggi. Bagaimana ini? Kalau ada yang bisa memberi penjelasan tolong komentar di Posting ini..

Terakhir, Andaikan suatu saat masakan Padang benar-benar di Fatwa Haram oleh MUI, terlepas dari rasa kemanusiaan, saya tidak terlalu khawatir akan eksistensi masakan Padang. Kenapa? Karena, seperti rokok, tidak akan banyak umat yang akan mematuhi Fatwa itu…

Kamis, 23 April 2009

Bagaimana Etika Terhadap Kawan Lama di Facebook?

Demam facebook sepertinya belum akan (segera) mereda, bahkan sepertinya cenderung menjadi-jadi. Namun, selain banyak manfaat, face book juga bisa jadi sumber permasalahan. Sudah banyak kita tahu, beberapa instansi/perusahaan memblokir face book supaya para pegawai/karyawan mereka tidak fesbuk-an selama jam kerja. Alasannya, FB mengganggu konsentrasi bekerja, menjadikan malas, dan ujung-ujungnya menurunkan produktifitas karyawan/pegawai, yang tentunya bermuara pada menurun pula kinerja lembaga secara keseluruhan.

Selain itu, sebagai situs jejaring sosial, FB rupanya juga bisa menjadi sumber sebuah permasalahn sosial tersendiri. Ada pengalaman sesama anggota FB yang bertengkar di FB karena ngotot-ngototan mempertahankan pendapat masing-masing dalam sebuah forum diskusi di FB. Masalah lain adalah, masalah disharmoni interaksi antar anggota FB karena miskomunikasi.

Saya dan beberapa teman, pernah mengalami masalah disharmoni interaksi di FB ini. Biasanya, kita sangat senang ketika menemukan teman lama di FB, yang memang sudah sangat lama tidak berjumpa dan barangkali selama ini kita cari-cari dan ingin ketahui kabar beritanya. Namun, setelah terjadi proses permintaan jadi teman dan kemudian dikonfirmasi, sering timbul masalah dalam komunikasi selanjutnya.

Bertanya dan berbasa basi dengan teman yang sudah lama tidak berjumpa melalui media FB ini ternyata tidak mudah juga. Suatu ketika, melalui pesan antar dinding seorang teman bertanya pada teman lamanya yang baru ditemukan di FB tentang apa pekerjaannya saat ini. Temannya itu ternyata tidak menjawab. Dan sejak saat itu komunikasi mereka yang baru saja terjalain kembali terputus. Lain kesempatan, juga terjadi komunikasi antar dua teman lama yang juga baru saja saling bertemu di FB. Salah seorangnya bertanya pada yang lain tentang apakah dia sudah dikaruniai anak? Sudah berapa orang anaknya? Yang ditanya ternyata juga tidak merespon, diam, dan setelah itu harapan akan kembali tejalinnya komunikasi akrab dengan sang teman lamapun pupus seketika. Sejak saat itu si teman seolah enggan merespon setiap komunikasi di FB.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut, yang menjadi pertanyaan penting adalah, bagaimana harusnya kita berbasa basi dengan teman lama di FB? Topik apa yang harusnya kita tanyakan dan perbincangkan dengan para teman lama kita itu? Kalau dalam komunikasi verbal ketika kita bertemu face to face dengan seorang teman lama, biasanya pertanyaan-pertanyaan basa basi seperti tentang pekerjaan dan keluarga itu sering kita lontarkan. Kenapa dalam dua contoh kasus di atas, pertanyaan serupa itu justru kontra produktif? Apakah di masyarakat kita status pekerjaan, sudah punya anak atau belum, memang sesuatu yang sensitif untuk ditanyakan? Atau barangkali pertanyaan-pertanyaan seperti itu dianggap tendensius? Mohon komentar dan masukan dari teman-teman, supaya FB yang kita cintai ini bisa tetap menjadi penyambung silaturahmi, bukan justru jadi sumber masalah baru yang malah bisa memutus silaturahmi.

Senin, 23 Februari 2009

Revitalisasi Fungsi Petugas Lapangan Gerhan (PLG) Provinsi Sumatera Barat

Semenjak Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) dicanangkan tahun 2003 lalu, disadari bahwa salah satu persoalan krusial yang perlu diperhatikan adalah persoalan kelembagaan. Terutama kelembagaan masyarakat (kelompok tani) sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan di lapangan. Pemerintah sangat paham, bahwa tanpa adanya kelembagaan masyarakat yang kuat dan memiliki pranata yang kondusif dalam mendukung semangat rehabilitasi hutan dan lahan, maka tujuan dari kegiatan Gerhan ini akan sulit terwujud. Oleh karena itu, sejak awal, kegiatan pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok tani tidak terlepas dari mata rantai kegiatan Gerhan secara keseluruhan.

Berbagai kegiatan dengan tujuan penguatan kelembagaan kelompok tani selalu memperoleh porsi perhatian pada tiap tahun anggaran. Antara lain untuk kegiatan pelatihan bagi kelompok tani, kegiatan sosialisasi, dan yang terpenting adalah fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok tani. Hanya saja, kegiatan pendampingan kelompok tani ini, semenjak kegiatan Gerhan dimulai tahun 2003 sampai kegiatan tahun 2006, masih terkendala. Penyebabnya antara lain karena peran penyuluh kehutanan belum optimal dan belum dilibatkan secara langsung dikarenakan belum terfasilitasinya penyuluh dalam program Gerhan (sarana komunikasi, insentif, dan lain-lain) selaku petugas pendamping. Selain itu, karena pendampingan terhadap kelompok tani tidak kontinyu dan selalu terputus di akhir tahun anggaran dan memulai lagi pada kegiatan tahun berikutnya. Hal ini disebabkan sistem anggaran tidak mengikuti pola dan mekanisme penyuluhan yang memerlukan kontinyuitas waktu.

Nah, berbagai kekurangan yang dirasakan tersebut telah berupaya ditutupi secara optimal oleh Departemen Kehutanan. Mulai kegiatan Gerhan tahun 2007, kegiatan pendampingan terhadap kelompok tani pelaksana Gerhan telah dilaksanakan dengan konsep multiyears, yaitu dengan merekrut Petugas Lapangan Gerhan (PLG) dari tenaga sarjana teknis Kehutanan/Pertanian. PLG ini dikontrak dengan tahun jamak terhitung Oktober 2007 hingga Desember 2009, dengan tugas utamanya adalah sebagai pendamping kelompok tani pelaksana Gerhan, baik secara teknis maupun administrasi/kelembagaan.

Untuk menunjang optimalisasi pelaksanaan tugasnya tersebut, PLG diberi fasilitas sarana dan prasarana serta anggaran yang relatif memadai. Antara lain sarana transportasi berupa kendaraan roda dua, 1 (satu) unit untuk masing-masing PLG, biaya eksploitasi kendaraan, honorarium, uang pemondokan, uang perjalanan dinas, biaya pertemuan kelompok, biaya temu usaha, biaya ATK, dan lain-lain. Dengan semua fasilitas tersebut, PLG diharapkan bisa bekerja optimal dalam membina kelompok tani pelaksana Gerhan, sehingga berimplikasi pada keberhasilan kegiatan Gerhan secara keseluruhan.

Meskipun keberadaan PLG ini difasilitasi oleh Departemen Kehutanan melalui Unit Pelaksana Teknis di daerah (di Sumatera Barat melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan), namun secara penugasan PLG bekerja dan bertanggung jawab kepada Dinas yang menangani urusan kehutanan di Kabupaten/Kota. Dinas yang membidangi kehutananan di Kabupaten/Kota berwenang melakukan penetapan penempatan lokasi tugas PLG serta berwenang memberikan penugasan-penugasan lainnya kepada PLG sepanjang penugasan tersebut masih berkaitan dengan kegiatan Gerhan.

Namun, dari fakta yang berkembang di lapangan, kondisi yang terjadi masih belum optimal sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaan PLG tersebut. Penyebabnya antara lain, karena berbagai kondisi, semenjak tahun 2007 anggaran kegiatan hutan rakyat belum bisa dilaksanakan. Hal ini menyebabkan PLG tidak bisa melaksanakan tugas utamanya secara optimal, yaitu membina kelompok tani hutan rakyat. Masalah lainnya adalah persoalan kinerja PLG yang juga belum seluruhnya dan belum sepenuhnya optimal. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor internal dari diri PLG yang bersangkutan, seperti semangat dan motivasi kerja yang rendah, kompetensi yang kurang, dan faktor eksternal berupa kurang harmonisnya hubungan kerja yang terjalin antara PLG dengan dinas di Kabupaten/Kota.

Terlepas dari itu, setelah kurang lebih 1.5 tahun melaksanakan tugasnya, ada beberapa permasalahan yang ditemukan oleh PLG di lapangan. Jika dirangkum, permasalahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

Kelompok Tani yang ada saat ini sifatnya masih sementara, belum permanen, belum ada legalitas (SK penetapan), sehingga organisasi kelompok belum tertata dengan baik. Kondisi ini menyebabkan mekanisme dan dinamika dalam kelompok tidak berjalan. Juga ada sebagian kelompok masyarakat yang belum memahami bagaimana prosedur mendirikan kelompok tani dan bagaimana menata organisasinya.

Sikap mental sebahagian anggota kelompok tani yang belum positif. Seperti: tanggungjawab dan kesadaran merawat tanaman yang telah ditanam masih rendah, hanya mau bekerja jika telah ada upah, sulit dikoordinir/diatur, tidak bisa (tidak mau?) meluangkan waktu untuk kegiatan-kegiatan kelompok, dan lain-lain.

Sebahagian masyarakat belum menyadari nilai ekonomi dari kegiatan RHL yang sedang mereka laksanakan. Masyarakat hanya berfikir pragmatis, karena kegiatan RHL tidak bisa segera menghasilkan, maka masyarakat melaksanakan kegiatan hanya berorientasi untuk memperoleh upah dari keproyekan.

Selalu ada pertanyaan dari masyarakat, khususnya kelompok tani, mengenai kepastian kelanjuatan kegiatan. Kapan pekerjaan akan dilanjutkan, kapan anggaran akan cair, dan lain-lain.

Pada lokasi-lokasi kegiatan yang telah menyelesaikan kegiatan pemeliharaan, kelompok tani pelaksananya banyak yang kemudian menerlantarkan tanaman yang telah ditanam dan kembali lebih fokus menjalani profesi sebagai petani sawah, berdagang, dan lain-lain.

Untuk lokasi kegiatan reboisasi, masyarakat disekitar lokasi hutan yang akan direhabilitasi butuh kepastian apakah mereka akan dipekerjakan oleh pihak III pelaksana reboisasi. Sedangkan pihak III sendiri belum bisa memberi kepastian.

Hubungan kerja antara PLG dengan petugas lain di Dinas Kabupaten/Kota belum sinergis. Sebagian petugas dinas belum memahami fungsi dan manfaat keberadaan PLG, sehingga ada anggapan akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Selain itu, juga banyak penugasan kepada PLG yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan tanggung jawabnya sebagai Petugas Lapangan Gerhan.

Berkaitan dengan beberapa persoalan diatas, untuk perbaikan ke dapan diharapkan fungsi dan peran PLG bisa direvitalisasi sehingga sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaannya. Untuk itu, kepada masing-masing PLG diharapkan untuk terus-menerus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya, khususnya dibidang teknis kehutanan serta bidang pendampingan kelompok tani, baik secara teknis maupun kelembagaan. Sedangkan kepada pihak dinas di Kabupaten/Kota, diharapkan mampu mendayagunakan keberadaan PLG sesuai dengan fungsi dan tugasnya serta dengan mempertimbangkan porsi peran yang mungkin mereka emban, yang tentunya berkaitan dengan kegiatan Gerhan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Akhir kata, semoga PLG bisa memperlihatkan hasil karya yang lebih nyata sehingga eksistensi PLG diakui dan pantas diperjuangkan!!

Rabu, 18 Februari 2009

Kenapa Orang Tua Suka Melarang??

Saat kanak-kanak kita mungkin sering kesal pada orang tua kita. Kita kesal ketika sedang asik bermain bola kemudian disuruh pulang, disuruh mandi, dan diminta diam atau bermain dirumah saja. Lain waktu, kita mungkin kesal karena tidak dibolehkan bermain hujan-hujanan. Padahal rasanya alangkah menyenangkannya bermain dibawah guyuran hujan itu. Kita juga pernah kesal karena dimarahi ketika ketahuan habis mandi-mandi disungai dipinggir kampung bersama gank kanak-kanak kita. Kita juga berulang-ulang kesal karena tidak boleh bermain perang-perangan ketapel, tidak boleh memanjat pohon, tidak boleh main kesana, tidak boleh main kesini, tidak boleh main ini, tidak boleh main itu.

Singkatnya, dalam alam pikiran masa kanak-kanak kita ketika itu, kita tak habis fikir kenapa orang tua kita tidak mengerti kesenangan kita? Kenapa semua yang bisa membuat kita senang, selalu dilarang oleh orang tua kita? Kenapa terlalu banyak larangan untuk kita? Padahal yang dilarang itu hal-hal yang amat menyenangkan untuk kita?

Ketika itu, orang tua kita selalu memberi jawaban: "itu berbahaya nak", "nanti kamu sakit nak", "itu tidak baik nak". Tapi jawaban-jawaban itu, bagi kita ketika itu terasa "memuakkan". Kita kadang dengan putus asa sering mengeluh" papa tidak sayang aku", atau "mama jahat, pelit", ketika kita dilarang-larang oleh mereka.

Nah, ternyata kita bisa memahami dengan baik alasan sebuah perbuatan seseorang itu hanya jika kita berada pada posisi orang tersebut. Sekarang, setelah saya menjadi seorang ayah dengan tiga orang anak, saya bisa memahami semua alasan dari larangan-larangan yang sering kita terima dari orang tua kita di masa kanak-kanak dulu. Ternyata orang tua, memang selalu mengkhawatirkan kesehatan, keselamatan anak-anaknya. Terkadang berlebihan. Itulah yang menyebabkan para orang tua terlalu banyak memproduksi larangan untuk anak-anak mereka.

Rabu, 11 Februari 2009

"Urang Awak" Kehilangan Identitas

Pasti sangat banyak diantara kita, urang minang yang ada di kampung (di Sumatera Barat), punya sanak saudara di rantau. Ya, sebab angka statistik memang mencatat, bahwa penduduk Sumatera Barat cuma berjumlah lebih kurang 4 juta jiwa. Sedangkan Orang Minang di perantauan, yang tersebar diseluruh nusantara bahkan manca negara, jumlahnya konon mencapai angka 8 juta jiwa. Angka itu membuktikan bahwa Orang Minang memang perantau.

Namun, patut kita pertanyakan, Orang Minang diperantauan itu masihkah mereka memiliki identitas sebagai Orang Minang? Kenapa saya pertanyakan itu? Sebab, sangat banyak dunsanak kita dirantau itu yang sudah tidak tahu dimana kampung halamannya, tidak mengerti sako dan pusakonya. Bahkan yang lebih memprihatinkan, banyak yang sama sekali tidak bisa berbahasa Minang. Bayangkan, bahkan sekedar bahasa ibu pun sudah tidak dimiliki oleh banyak Orang Minang diperantauan. Jika sekedar bahasa saja terlupakan, lebih-lebih lagi budaya dan adat istiadat.

Persoalan Bahasa ini saya anggap sangat penting kita soroti. Sebab, di dunia ini, bahasa daerah/bahasa ibu adalah pembeda utama antara satu sub-etnis dengan sub-etnis yang lain. Sebab, secara biologis, antar sub-etnis tidaklah sumir untuk bisa dibedakan. Kita tentu tidak tahu apakah seseorang itu orang Jawa, orang Batak, orang Minang, atau orang Sunda, hanya dari mengamati mereka secara fisik biologis. Tetapi, jika kita dengar mereka berbicara, setidaknya kita akan bisa menebak dari etnis/sub-etnis manakah mereka. Bahkan saat mereka berbahasa Indonesia sekalipun, kita masih bisa menebak asal mereka dari dialek bahasa daerah mereka saat berbicara. Artinya, bahasa daerah itulah yang menjadi identitas utama suatu sub-etnis. Nah, saat ini, Orang Minang di perantauan banyak yang sudah kehilangan identitas tersebut.

Tak usah jauh-jauh, keluarga besar saya dan istri adalah contohnya. Para sepupu kami yang banyak menetap di Jakarta, rata-rata tidak bisa berbicara bahasa Minang. Jika mendengar mereka berbicara, sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka sebagai orang Minang. Ketika berbicara, mereka lebih mencirikan diri sebagai orang Jakarta, orang Betawi, orang Sunda, atau orang Jawa.

Wajar memang demikian. Sebab dialek mereka itu terbentuk oleh sosialisasi dilingkungan sosial mereka. Mereka semenjak lahir bersosialisasi dilingkungan masyarakat heterogen Jakarta, maka jadilah dialek berbahasa mereka seperti layaknya orang-orang Jakarta berbahasa. Nah, yang salah adalah orang tua mereka. Orang tua mereka tidak mengajarkan Bahasa Minang di lingkungan rumah. Menurut hemat saya, seharusnya para orang tua yang notabene Orang Minang tulen itu, mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Di lingkungan rumah tangga, seharusnya Bahasa Minang dijadikan sebagai alat utama komunikasi verbal.

Bandingkan dengan orang Jawa. Dimanapun orang Jawa berada, mereka akan berbahasa Jawa sesama mereka. Anak-anak orang Jawa, kemanapun orang tua mereka merantau, dipastikan tetap bisa berbahasa Jawa. Sebab, dilingkungan rumah tangga, mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka itu. Buktinya, kita tentu tahu, bahkan orang-orang Jawa yang ada di Suriname saat ini, yang sudah merupakan keturunan kesekian dari nenek moyang mereka yang berimigrasi di zaman penjajahan Belanda dahulu, masih mampu berbahasa Jawa dengan sangat-sangat fasih.

Pertanyaannya, kenapa orang Minang dirantau cendrung tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka? Saya mensinyalir, itu karena orang minang itu sendiri sudah mengalami krisis identitas. Krisis identitas itu antara lain berbentuk tidak adanya rasa bangga terlahir sebagai Orang Minang. Banyak penyebabnya. Antara lain, karena adanya berbagai stereotype dan stigma negatif tentang Orang Minang yang terlanjur berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan sebagian Orang Minang dirantau "malu" sebagai Orang Minang. Mereka akhirnya berusaha menghilangkan Identitas ke-Minang-annya . Antara lain dengan tidak mau berbahasa Minang dan tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Lebih ektrim lagi, ada yang berusaha keras agar mampu berbahasa atau setidaknya berdialek bahasa sub-etnis lain, supaya mereka tidak disangka sebagai Orang Minang.

Implikasi dari persoalan ini ternyata sangat luas. Orang Minang merasa tidak percaya diri menggunakan Bahasa Minang saat ngobrol antar sesama mereka ketika mereka berada dilingkungan bukan orang Minang. Padahal, kembali kita ambil contoh orang Jawa, teman-teman sekantor saya yang orang Jawa sangat percaya diri dan cuek saja ngobrol menggunakan bahasa Jawa dilingkungan kantor, ditengah-tengah karyawan lainnya yang mayoritas Orang Minang.

Orang Minang juga banyak yang tidak percaya diri (kalau tidak bisa dibilang malu) dengan kemampuan berbahasa Indonesianya karena masih kental dengan dialek Minang. Dan celakanya, sebahagain orang Minang malah justru malu/risih mendengar orang Minang lain berbahasa Indonesia kalau masih kental dialek Minangnya. Orang Minang merasa kampungan kalau berbahasa Indonesia dengan dialek kampung mereka. Padahal, orang Batak tidak pernah malu berbahasa Indonesia dengan dialek batak yang keras, orang Sunda tetap percaya diri berbahasa Indonesia ala Sunda yang mendayu-dayu, orang Jawa juga tidak merasa perlu menghilangkan dialek medok mereka saat berbahasa Indonesia.

Orang Minang malu berbahasa Indonesia dengan dialek Minang ini, menurut hemat saya juga terjadi karena rekonstruksi budaya yang dibangun oleh budaya populer melalui media massa, terutama media audio visual televisi. Media televisi yang dari awalnya memang berkembang di Pulau Jawa (baca Jakarta) , dan dikelola secara teknis dan materi program mayoritas juga oleh orang-orang dari etnis yang ada di pulau Jawa, menyebabkan berbagai tayangan program acara di televisi kental dengan dialek masyarakat Pulau Jawa kebanyakan. Para presenter program-program TV dengan nuansa populer haruslah mereka-mereka yang mampu berdialek gaul ala Jakarta. Sinetron, film, juga penuh dengan dialog-dialog berdialek masyarakat Pulau Jawa. Talkshow, wawancara, mayoritas juga menghadirkan artis, tokoh, maupun pejabat yang bersasal dari Jawa. Nah, masyarakat yang terus-menerus disuguhi oleh tayangan-tayangan tersebut, akhirnya merasa bahwa dialek bahasa Indonesia yang "tepat' itu adalah sebagaimana yang sering ditayangkan dalam berbagai program televisi itu. Yaitu dialeknya orang Jakarta/Betawi, dialek Sunda, dan dialek Jawa tentu saja. Sehingga ketika mendengar dialek-dialek lain, masyarakat merasa itu ganjil. Akhirnya, masyarakat dengan dialek lain, termasuk dialek Minang, merasa "malu" dengan dialek mereka sendiri ketika berbahasa.
Rata Penuh
Aneh memang, Bahasa Indonesia yang sejatinya berakar dari bahasa Melayu, oleh masyarakat justru dipersepsikan lebih cocok digunakan dengan dialek masyarakat di Pulau Jawa. Dialek lain dianggap aneh, termasuki dialek Minang. Dianggap aneh jika berbahasa Indonesia dengan dialek Minang. Padahal Bahasa Minang banyak kemiripan dengan Bahasa Indonesia, dan merupakan salah satu sumber pembentuk Bahasa Indonesia. Alhasil, Orang Minang semakin malu dengan bahasa daerahnya. Dan, Orang Minangpun makin kehilangan identitasnya..






Kamis, 29 Januari 2009

Peresmian Ponpes Gontor Cabang Sumatera Barat

Siapa yang tidak kenal Pondok Pesantren Gontor? Pesantren modern itu namanya sudah sangat dikenal ditingkat nasional, bahkan boleh jadi di manca negara. Institusi Pendidikan Islam ini telah banyak melahirkan tokoh ulama yang berpengaruh dan menjadi panutan umat. Tidak saja melahirkan ulama, Gontor juga banyak melahirkan tokoh nasional yang bergerak diberbagai bidang. Salah seorang diantaranya, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid. Nah, Pondok Pesantren Modern Gontor ini segera akan memiliki cabang di Provinsi Sumatera Barat. Tepatnya di Kecamatan Sulit Air Kabupaten Solok.

Selasa, 27 Januari 2009 lalu, Menteri Kehutanan MS. Kaban, didaulat untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pondok modern Gontor Cabang Sumatera Barat tersebut. Selain dihadiri oleh para ulama Gontor, turut hadir dalam acara tersebut ; Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fawzi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Budayawan Taufiq Ismail (yang merupakan putra asli Tanah Datar Sumatera Barat), Ustadz Yusuf Mansyur, serta para tamu undangan lainnya. Menurut rencana, Komplek Pondok Pesantren tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 7 hektar.

Dengan hadirnya Cabang Pondok Pesantren Gontor di Sumatera Barat, diharapkan Sumatera Barat kelak kembali melahirkan ulama-ulama besar yang tidak saja menguasai ilmu agama, tetapi juga mumpuni dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana umumnya hasil didikan Gontor yang kita kenal selama ini. Animo masyarakat Sumatera Barat untuk mengirim putra-putri mereka menuntut ilmu ke Gontor memang cukup tinggi. Dengan keberadaan cabang ini, animo yang besar tersebut tentu akan lebih terakomodir.


Sebagaimana lazimnya tiap kegiatan yang dihadiri oleh Menteri Kehutanan, pada acara kali ini juga dilakukan kegiatan penanaman pohon. Para tokoh yang hadir, serta peserta acara lainnya, menanam berbagai jenis pohon di areal yang telah disediakan. Jenis bibit pohon yang ditanam antara lain; Andalas/Morus Macroura (yang merupakan salah satu jenis tanaman langka endemik Sumatera Barat), Mahoni dan Ketapang. Menhut berharap, kegiatan menanam benar-benar bisa membudaya ditengah-tengah masyarakat. Sebab, kegiatan menanam adalah ibadah yang mendatangkan pahala yang tidak putus-putus bagi yang melaksanakannya. Sebab dengan menanam, berarti kita telah berikhtiar memperbaiki kondisi lingkungan untuk menyelamatkan kehidupan. Dengan demikian, sebagai manusia kita telah melaksanakan misi ke-khalifah-an kita di muka bumi.

Rabu, 28 Januari 2009

Kagum

Tiap orang pasti memiliki perasaan kagum terhadap objek atau subjek tertentu. Biasanya orang akan sangat mengagumi objek/subjek yang berkaitan dengan minat/hoby mereka masing-masing. Seorang peminat seni rupa, tentu amat mengagumi para perupa yang telah menghasilkan berbagai adi karya yang mutunya diakui oleh dunia. Sementara, para penggemar olah raga pastinya sangat mengagumi atlet-atlet idola mereka yang telah menorehkan berbagai prestasi fenomenal. Yang hobynya musik, mengagumi para musisi yang mengusung aliran musik dari genre yang mereka sukai. Demikian seterusnya..

Siapa yang saya kagumi? Saya kagum pada kedua orang tua saya, dan semua orang yang mampu melakukan, membuat, dan menghasilkan hal-hal yang tidak mungkin mampu saya lakukan, buat, dan hasilkan.

Kenapa saya kagum pada kedua orang tua saya? Alasan utamanya adalah, karena beliau berdua menurut saya mampu menjalani hidup yang hampir-hampir tidak masuk akal jika dinilai dengan logika matematis. Beliau berdua, dengan berbagai kondisi keterbatasan, mampu mengarungi kerasnya kehidupan dan mengantar anak-anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Saya tahu betul bagaimana mereka strugling untuk itu. Beliau berdua punya slogan begini: "demi pendidikan kalian, tak masalah kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki". Sebuah ungkapan yang menggambarkan tekat mati-matian dari beliau berdua demi kelangsungan pendidikan kami, anak-anak mereka. Dan, Alhamdulillaah, berbekal pendidikan hasil kegigihan beliau berdua itu, kami sekarang bisa mengenyam kehidupan yang layak dan relatif tidak kekurangan.


Setelah kedua orang tua, saya kagum pada para musisi/pencipta lagu, para ilmuwan, para penemu diberbagai lapangan kehidupan, dan banyak lagi. Kenapa saya kagum pada mereka? Sebab, saya, walau dengan usaha dan upaya sekeras apapaun, tidak akan mampu bisa seperti mereka. Karena itu saya sangat kagum pada mereka.