Kamis, 29 Januari 2009

Peresmian Ponpes Gontor Cabang Sumatera Barat

Siapa yang tidak kenal Pondok Pesantren Gontor? Pesantren modern itu namanya sudah sangat dikenal ditingkat nasional, bahkan boleh jadi di manca negara. Institusi Pendidikan Islam ini telah banyak melahirkan tokoh ulama yang berpengaruh dan menjadi panutan umat. Tidak saja melahirkan ulama, Gontor juga banyak melahirkan tokoh nasional yang bergerak diberbagai bidang. Salah seorang diantaranya, ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid. Nah, Pondok Pesantren Modern Gontor ini segera akan memiliki cabang di Provinsi Sumatera Barat. Tepatnya di Kecamatan Sulit Air Kabupaten Solok.

Selasa, 27 Januari 2009 lalu, Menteri Kehutanan MS. Kaban, didaulat untuk melakukan peletakan batu pertama pembangunan Pondok modern Gontor Cabang Sumatera Barat tersebut. Selain dihadiri oleh para ulama Gontor, turut hadir dalam acara tersebut ; Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fawzi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Budayawan Taufiq Ismail (yang merupakan putra asli Tanah Datar Sumatera Barat), Ustadz Yusuf Mansyur, serta para tamu undangan lainnya. Menurut rencana, Komplek Pondok Pesantren tersebut akan dibangun di atas lahan seluas 7 hektar.

Dengan hadirnya Cabang Pondok Pesantren Gontor di Sumatera Barat, diharapkan Sumatera Barat kelak kembali melahirkan ulama-ulama besar yang tidak saja menguasai ilmu agama, tetapi juga mumpuni dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana umumnya hasil didikan Gontor yang kita kenal selama ini. Animo masyarakat Sumatera Barat untuk mengirim putra-putri mereka menuntut ilmu ke Gontor memang cukup tinggi. Dengan keberadaan cabang ini, animo yang besar tersebut tentu akan lebih terakomodir.


Sebagaimana lazimnya tiap kegiatan yang dihadiri oleh Menteri Kehutanan, pada acara kali ini juga dilakukan kegiatan penanaman pohon. Para tokoh yang hadir, serta peserta acara lainnya, menanam berbagai jenis pohon di areal yang telah disediakan. Jenis bibit pohon yang ditanam antara lain; Andalas/Morus Macroura (yang merupakan salah satu jenis tanaman langka endemik Sumatera Barat), Mahoni dan Ketapang. Menhut berharap, kegiatan menanam benar-benar bisa membudaya ditengah-tengah masyarakat. Sebab, kegiatan menanam adalah ibadah yang mendatangkan pahala yang tidak putus-putus bagi yang melaksanakannya. Sebab dengan menanam, berarti kita telah berikhtiar memperbaiki kondisi lingkungan untuk menyelamatkan kehidupan. Dengan demikian, sebagai manusia kita telah melaksanakan misi ke-khalifah-an kita di muka bumi.

Rabu, 28 Januari 2009

Kagum

Tiap orang pasti memiliki perasaan kagum terhadap objek atau subjek tertentu. Biasanya orang akan sangat mengagumi objek/subjek yang berkaitan dengan minat/hoby mereka masing-masing. Seorang peminat seni rupa, tentu amat mengagumi para perupa yang telah menghasilkan berbagai adi karya yang mutunya diakui oleh dunia. Sementara, para penggemar olah raga pastinya sangat mengagumi atlet-atlet idola mereka yang telah menorehkan berbagai prestasi fenomenal. Yang hobynya musik, mengagumi para musisi yang mengusung aliran musik dari genre yang mereka sukai. Demikian seterusnya..

Siapa yang saya kagumi? Saya kagum pada kedua orang tua saya, dan semua orang yang mampu melakukan, membuat, dan menghasilkan hal-hal yang tidak mungkin mampu saya lakukan, buat, dan hasilkan.

Kenapa saya kagum pada kedua orang tua saya? Alasan utamanya adalah, karena beliau berdua menurut saya mampu menjalani hidup yang hampir-hampir tidak masuk akal jika dinilai dengan logika matematis. Beliau berdua, dengan berbagai kondisi keterbatasan, mampu mengarungi kerasnya kehidupan dan mengantar anak-anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Saya tahu betul bagaimana mereka strugling untuk itu. Beliau berdua punya slogan begini: "demi pendidikan kalian, tak masalah kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki". Sebuah ungkapan yang menggambarkan tekat mati-matian dari beliau berdua demi kelangsungan pendidikan kami, anak-anak mereka. Dan, Alhamdulillaah, berbekal pendidikan hasil kegigihan beliau berdua itu, kami sekarang bisa mengenyam kehidupan yang layak dan relatif tidak kekurangan.


Setelah kedua orang tua, saya kagum pada para musisi/pencipta lagu, para ilmuwan, para penemu diberbagai lapangan kehidupan, dan banyak lagi. Kenapa saya kagum pada mereka? Sebab, saya, walau dengan usaha dan upaya sekeras apapaun, tidak akan mampu bisa seperti mereka. Karena itu saya sangat kagum pada mereka.

Rabu, 21 Januari 2009

tidak akan diberi judul

entah manusia apa kita....
ketika tiada kita memohon...meminta...menghiba
seolah kita termalang didunia
seolah kita yang paling berhak duluan menerima dari Nya...

entah manusia apa kita....
setelah diberi kita lupa..
seolah tak pernah meminta
seolah semua hasil kerja keras semata...bukan dari Nya...

entah manusia apa kita...
ketika rejeki dari Nya tak pernah cukup dirasa...
seolah dunia akan selamanya..
seolah hidup tak mulia tanpa harta...

entah manusia apa kita..
demi harta berbuat apa saja
seolah tak ada larangan dari Nya...
seolah Dia buta tak melihat apa-apa...

entah manusia apa kita
ketika hasil plagiasi...manipulasi..korupsi..kita anggap pemberianNya...
seolah dia Maha Memaklumi....
seolah itu tidak akan dicatat dosa....

ENTAH MANUSIA APA KITA....

Menanam untuk Sempurnakan Hari (dikutip lengkap dari Kompas/21 Januari 2008


Oleh Ratih P Sudarsono

”Untuk menanam pohon itu, terutama yang diperlukan adalah niat orangnya. Di mana saja, sebenarnya kita dapat menanam. Perhatikan sekitar rumah atau lingkungan kita, pasti ada tempat untuk ditanami pohon,” kata Badri Ismaya.

Badri Ismaya adalah pelopor penghijauan di lereng- lereng bukit di kawasan Puncak yang rusak akibat penjarahan besar- besaran pada awal era reformasi tahun 1998. Warga Kampung Caringin, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini nyaris setiap hari ke luar dari rumah. Ia berkelana dari satu lereng ke lereng lain untuk menanam pohon.

Bagi laki-laki berkulit gelap ini menanam adalah hal yang mudah. Ia hanya perlu berbekal ”senjata” kecil yang disebutnya coredan. Dengan coredan, Badri membuat lubang kecil di tanah dan merobek kantung plastik (polybag) berisi bibit. Bibit pohon itu lalu ditekannya hingga melesak masuk ke dalam lubang. Tangan sedikit kotor, tetapi itu juga bagian dari asyiknya menanam. ”Sehari saya menanam sepuluh pohon, lama-lama lahan terbuka itu ketutup juga,” katanya.

Demikianlah yang dipraktikkan Badri dalam keseharian hidupnya. Dia terus menanam pohon sejak 1975. Badri akan merasa pusing dan tak sempurna menjalani hari jika ia tidak menanam pohon. Bahkan, ketika dia benar-benar sakit, menanam pohon adalah obatnya.

Ke mana pun pergi, ketika diundang desa tetangga atau institusi lain sebagai pembicara, Badri sengaja membawa bibit pohon untuk ditanam di tempat itu. Ia bahkan memiliki peta kawasan penanaman pohon, hasil dari penjelajahannya di sekitar Puncak saat menghijaukan lahan rusak.

”Semoga Allah memberi saya panjang umur dengan badan sehat. Masih banyak lokasi di Cisarua ini yang ingin saya tanami. Anak bungsu saya kayaknya mengikuti jejak saya, dia suka menanam. Dia suka menemani saya menanam. Kadang dia pergi sendiri membawa bibit, entah menanam di mana,” katanya.

Ia merasa bersyukur, masalah penghijauan tidak asing lagi bagi masyarakat meski tingkat partisipasinya masih rendah. Menurut Badri, pada acara seremonial gerakan menanam akan lebih bermakna jika para tokoh panutan masyarakat benar-benar memperlihatkan cara menanam, mulai dari menggali lubang sampai menutup bibit pohon dengan tanah.

”Kalau sekarang kan lubang sudah disediakan, bahkan sekitar lubang diberi karpet agar sepatunya tidak kotor. Bukan begitu mencontohkan cara menanam,” katanya.

Namun, Badri tak mau menyalahkan. Ia justru berusaha memahami dengan berpikir mungkin proses kesadaran menanam saat ini baru sebatas seremonial. Ia yakin suatu saat nanti menanam akan menjadi kebiasaan masyarakat.

Ini sama seperti proses panjang yang Badri alami sampai dia dikenal sebagai penyelamat lingkungan hulu Sungai Ciliwung dan mendapat berbagai penghargaan atas usahanya melestarikan lingkungan.

Ditegur pohon

Badri bertutur, ia pernah jadi perusak hutan kawasan Puncak. Dulu, demi menghidupi keluarga, ia bersama beberapa teman suka masuk hutan dan menebangi pohon untuk dicuri kayunya. Semua itu dilakoninya tahun 1975-1979 sehingga ratusan pohon musnah di tangannya.

Dia berhenti merusak alam setelah mendapat teguran halus dari ”korbannya”, sebatang pohon yang ditebangnya pada Jumat, 6 Oktober 1979. Pada tengah hari bolong itu, Badri seharusnya melaksanakan shalat Jumat, tetapi ia justru sibuk menebang pohon.

”Setetes air jatuh di kepala saya. Hanya setetes, tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang dan memikul kayu langsung hilang. Saya cari-cari dari mana asal tetes air itu, ternyata dari akar pohon yang saya tebang. Saya terkejut. Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu,” tuturnya.

Sejak Jumat itu dia menjadi gundah. Selama satu tahun kemudian, Badri masuk-keluar hutan sekadar membuktikan bahwa pohon benar-benar menyimpan air. Ia korek bagian bawah pohon untuk menemukan akarnya. Dia potong sedikit akar itu untuk melihat air yang keluar dari ujung akar yang terpotong.

”Akar-akar itu memang mengeluarkan air. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Saya tampung air yang keluar dari akar dengan kantung plastik. Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon dan akan terus menanam pohon sampai ajal menjemput,” kata laki-laki yang memiliki empat anak dan tiga cucu ini.

Keputusan Badri itu tentu saja mendatangkan masalah. Dahlia, sang istri, sempat marah karena penghasilan Badri menjadi tak efektif untuk membiayai rumah tangga. Bukan itu saja, Badri juga kerap dianiaya biong (spekulan) tanah dan para penjaga keamanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab, dia akan menanam pohon apa saja di lahan kosong atau telantar yang ternyata ”milik” atau diincar biong tanah. Bahkan, Badri pernah disekap di pos keamanan sebuah vila.

Namun, Badri tak kapok. Lambat laun, setiap orang di sekitar dia, yang dulu memusuhi dan keberatan dengan pilihan hidupnya, belakangan ini justru menggebu-gebu dukungannya.

Ia sering mendapat kiriman buah yang ternyata hasil dari pohon yang bertahun-tahun lalu ditanamnya. Dari menanam jamur merang, ia mendapat kucuran rezeki. Kebahagiaan pada usia senjanya ini ditambah dengan lulusnya dua dari empat anaknya sebagai sarjana komputer dan sarjana kimia.

”Saya tidak pernah memaksa orang lain untuk menanam pohon. Saya hanya ingin menanam pohon sebab saya yakin pohon adalah sumber kehidupan. Saya ingin menyempurnakan hari-hari yang saya jalani ini dengan menanam pohon, sesuai janji kepada Tuhan,” katanya.

Sumur resapan

Selain menjadi pelopor penanam pohon di lahan kritis sekitar Cisarua, Badri juga yang memulai pembuatan dan penggunaan sumur resapan di kawasan itu. Sekitar 1985, saluran air yang berada di sisi jalan di atas kampung tersumbat. Airnya membanjiri rumah Badri.

Ia lalu berinisiatif membuat lubang di halaman rumah dan diisinya dengan bebatuan, ijuk, dan material lain. Air buangan selokan dia arahkan masuk ke sumur resapan tersebut. Setelah itu, banjir tak datang lagi.

”Sejak itu mulailah para tetangga ikut membuat (sumur resapan). Saya juga sering dipanggil ke daerah lain, seperti Jakarta sampai Palembang. Saya diundang untuk bicara di Malaysia dan Singapura tahun 2001, juga ke Filipina pada 2005,” kata Badri yang senang berbagi pengalaman dengan siapa pun yang menginginkannya. (NELI TRIANA/ J WASKITA UTAMA)

Kamis, 15 Januari 2009

Freddy Kanoute



Anda Muslim? Banggakah anda dengan identitas ke-Islam-an anda? Jika tidak, anda harus kagum dan malu pada Freddy Kanoute! Siapa Freddy Kanoute? Bagi para bola mania, Kanoute tentu bukan nama yang asing. Dia adalah tombak tajam Sevilla, salah satu club anggota La Liga (Kompetisi Sepak Bola Divisi Utama Spanyol). Kanoute seorang Muallaf. Dia memiliki kewarganegaraan ganda, yaitu Prancis dan Mali.

Baru-baru ini, ada aksi Kanoute yang membuat saya kagum padanya. Seperti tampak pada foto diatas. Kanoute merayakan gol-nya ke gawang Deportivo La Coruna dalam sebuah pertandingan La Liga, dimana akhirnya Sevilla menang 2-1. Usai mencetak gol, dan sedikit selebrasi dengan rekan-rekan se-tim-nya, Kanoute menyibakkan kostumnya untuk memperlihatkan kaos dalam yang ia kenakan, yang bertuliskan Palestina dalam huruf Latin dan Arab. Menurut Kanoute, aksinya itu adalah bentuk ekspresi dukungannya kepada Rakyat Palestina yang sedang mengalami ketidakadilan atas tindakan biadab Israel. Gara-gara aksinya itu, Kanoute diganjar sanksi denda oleh Federasi Sepakbola Spanyol. Namun, Kanoute menyatakan tidak menyesali tindakannya itu. Dengan tegas Kanoute berkomentar, sebagaimana yang dikutip dari cyber sabili; “Itu adalah sesuatu yang saya rasa harus saya lakukan. Setiap orang mesti menunjukkan rasa ikut bertanggungjawab manakala berlaku ketidakadilan besar seperti itu. Seratus persen saya bertanggungjawab pada apa yang telah saya lakukan dan saya tidak peduli dengan sanksi (denda)”.

Tentu kita patut kagum dan malu pada Kanoute. Sebagian kita kadang tidak bangga atau bahkan malu mengungkapkan identitas ke-Islam-an kita. Sementara, Kanoute yang Muallaf, dengan istiqomah berani memperlihatkan identitasnya sebagai seorang muslim dan dengan lantang berani membela saudara-saudara seimannya di Palestina yang sedang dijadikan target pembantaian oleh yahudi. Dan catat! Kanoute melakukannya ditengah-tengah komunitas non-muslim. Di dalam sebuah stadion di sebuah negara barat sekuler , Spanyol. Aksinya dilihat oleh seluruh dunia, karena publikasi oleh berbagai media di seluruh dunia.

Sikap berani dan istiqoamah Kanoute ini patut kita kagumi. Jika kita berani mengekspose ke-Islam-an kita di sini, di negara yang mayoritas muslim, tentu hal yang wajar dan sudah seharusnya. Kanoute melakukannya di barat sana. Sungguh luar biasa. Kita tentu tahu, betapa barat mengalami Islam Phobia akut. Pernah di salah satu bandara di Amerika, seorang penumpang dicekal hanya karena memakai jaket bertuliskan kata-kata dengan huruf arab.


Aksi membela kaum muslim ini, bukan pertama kalinya dilakukan Kanoute. Sebelumya, sebagaimana juga pernah diberitakan Harian Republika, Kanoute pernah membeli tanah dan bangunan di Kota Sevilla senilai lebih kurang Rp. 7 Milyar dengan uang pribadinya. Tanah dan bangunan itu sebelumnya disewa oleh komunitas muslim di Kota Sevilla dan difungsikan sebagai Mesjid. Tapi kemudian pemiliknya tidak bersedia lagi memperpanjang sewa, yang antara lain karena keberatan bangunan miliknya itu digunakan sebagai Mesjid. Muslim Sevilla pun kehilangan Mesjid tempat beribadah dan menjalin ukhuwah. Untuk penggantinya, tentunya tidak mudah mendapatkan bangunan yang bisa disewa dan difungsikan sebagai Mesjid di Sevilla, sebagaimna juga di kota-kota lain di negara-negara barat sana. Kanoute akhirnya membeli tanah dan bangunan itu, kemudian mehibahkannya kepada komunitas Muslim Sevilla untuk kembali difungsikan sebagai Mesjid.

Demikianlah Freddy Kanoute.. Seorang Muallaf dermawan, pemberani, dan istiqomah.. Pejuang Islam sejati di zaman modern ini.. You're the real Muslim Bro...!!

Senin, 05 Januari 2009

BASKET HIDUP SAYA ... (2)

Kelas dua... Bagi yang baru saja naik ke kelas dua, tahun ajaran baru dimulai dengan membangun kesadaran baru dalam diri mereka masing-masing. Siswa yang naik kelas dan ditempatkan pada jurusan A1 (Fisika), bak menjadi warga sekolah dengan "kasta tertinggi". Mereka seolah berada pada menara gading kumpulan siswa-siswa paling cerdas. Mereka sekarang menikmati suatu kesadaran diri baru sebagai murid-murid potensial dari sisi akademis. Apalagi jika siswa jurusan fisika itu seorang cewek yang masuk kategori cantik... lengkap sudah hidup ini buat mereka. Puja-puji bertubi-tubi untuk mereka. Dari para guru, dari para senior, dan tentunya dari teman-teman seangkatan. Mereka juga dikagumi dan dijadikan role model oleh para junior/murid-murid baru. Dijamin, para "pungguk merindukan bulan" akan tiap malam memimpikan bisa dekat dengan mereka. Mereka adalah selebritis sekolah.

Siswa yang naik kelas dan ditempatkan dijurusan A2 (biologi), sebagiannya cukup berpuas diri karena masih berada pada "kasta" menengah. Sebagian ada yang tidak puas, karena merasa sebenarnya layak untuk ditempatkan di jurusan fisika. Tapi penempatan jurusan adalah perogratif guru, jadi mau tidak mau mereka harus menerima kondisi ini. Meskipun sudah jadi rahasia umum juga dikalangan siswa, bahwa untuk masuk ke jurusan tertentu itu sebenarnya bisa "diurus". Sekarang, mereka harus memiliki kesadaran baru sebagai warga sekolah dengan "kasta menengah".

Sedangkan saya dan kurang lebih 200-an siswa lainnya, manjadi warga sekolah dengan "kasta terendah" . Kami naik ke kelas 2 dan jadi penghuni jurusan A3 (sosial). Banyak diantara kami sebenarnya yang tidak bisa menerima kenyataan ini. Berada di jurusan sosial bagaikan aib bagi sebahagian kami dan keluarga masing-masing. Memang jurusan sosial identik dengan stigma negatif sebagai; jurusan pembuangan, jurusan tempat siswa-siswa berintelejensi rendah, jurusan tempat sisiwa-siswa "nakal'' dan bermasalah, jurusan yang tidak prospektif untuk jembatan menuju perguruan tinggi dengan jurusan-jurusan favorit, dan label-label negatif lainnya. Ketika masa sekolah dan kegiatan belajar mengajar dimulai, kami juga menyikapinya dengan beragam. Ada yang frustasi dengan nasib mereka di jurusan sosial sehingga kehilangan gairah dan ogah-ogahan bersekolah, ada yang cool-cool aja dan masa bodoh, ada yang serius menjalaninya karena merasa cocok dengan ilmu-ilmu sosial.

Sedangkan saya? Saya memang merasa lebih nyetel belajar ilmu-ilmu sosial. Tapi masa bodoh dengan semua itu. Bagi saya, yang terpenting tetap satu hal, BASKET!! Naik ke kelas dua bagi saya menjadi penting hanya karena mampu merubah status saya menjadi senior pada ekstrakurikuler bola basket. Selain itu, dengan telah naik ke kelas dua, saya makin berpeluang besar menjadi anggota tim basket SMA 3 Padang dan dilatih oleh sang guru olahraga yang memang pelatih basket jempolan itu. Ini menjadi istimewa bagi saya, karena selama kelas satu, kami hanya dilatih oleh para senior di ekskul saja. Sekarang, di kelas dua, saya akan berkesempatan digembleng oleh pelatih basket legendaris Sumatera Barat itu.


Beliau terkenal sebagai pelatih bertangan dingin yang mampu melahirkan banyak pemain basket bagus sekaligus memiliki mentalitas jempolan, baik sebagai atlet maupun sebagai manusia seutuhnya. Beliau tak hanya membentuk fisik kami sebagai atlet basket. Tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada kami mengenai taktik, strategi, dan organisasi permainan basket. Lebih penting dari itu, beliau secara mendalam mampu mengupas filosofi permainan basket dan menjadikannya sebagai menu untuk pembinaan mental kami. Beliau menempa kami menjadi manusia-manusia yang memiliki sikap mental positif melalui wejangan-wejangan yang tak henti-hentinya beliau berikan pada kami. Biasanya setiap menjelang kami menututup sesi latihan, kami lesehan santai di lapangan sambil mendengar beliau bertutur kepada kami tentang banyak hal. Dan, bak anak-anak mendengar dongeng pengantar tidur, kami selalu terpukau dengan kata-kata beliau yang mengalir tenang namun syarat makna. Beliau mengajarkan kami tentang sikap mental seorang atlet yang harus disiplin, bekerja keras, pantang menyerah, menghargai kawan maupun lawan, menjunjung tinggi nilai kebersamaan dalam tim, tidak egois, sportif dan lapang dada, dan banyak lagi. Tak lupa, beliau selalu mengaitkan semua filosofi itu dengan kehidupan keseharian kita, baik sebagai anak, sebagai teman, sebagai pelajar, dan sebagai apapun. Beliau juga banyak membuka cakrawala pikir kami mengenai visi ke depan. Bagaimana memandang dan mempersiapkan masa depan yang penuh tantangan tanpa perlu takut atau pesimis. Pokoknya, beliau yang terbaik dimata saya.". Seorang pendidik yang arif dan bijak, pelatih yang mumpuni, motivator ulung,.... segalanya. Tak heran, banyak jebolan tim basket SMU 3 Padang, yang nota bene hasil gemblengan beliau, menjadi orang-orang "hebat" dikemudian hari.

Kembali ke soal sekolah. Pendek kata, naik ke kelas dua, meski hanya berhak berada dijurusan sosial, benar-benar memberikan gairah baru bagi saya. Karena, dari sisi akademis, saya akan terbebas dari beberapa mata pelajaran eksak yang memang tidak pernah menarik buat saya. Dari sisi basketnya, saya akan makin fokus berusaha masuk tim basket SMA 3, yang otomatis nantinya akan berkesempatan mengikuti even-even basket antar SMA se Sumatera Barat. Dengan demikian, saya akan banyak kesempatan untuk bolos belajar secara legal dan sering jalan-jalan gratis jika tim basket sekolah kami diundang ikut even basket di luar kota. Ini excited sekali buat saya.


Proses metamorvosis kepribadian saya terus berlanjut karena basket. Basket mampu membuat saya lebih berani dalam hal-hal tertentu. Misalnya keberanian berbicara di depan orang banyak. Saya, dalam pergaulan sehari-hari saja terkesan pendiam dan sangat sulit untuk berkomunikasi, apalagi berkomunikasi didepan orang banyak. Lebih parah lagi jika berbicara dengan yang namanya cewek. Saya sama sekali tidak punya keberanian. Kalaupun sesekali terpaksa harus berbicara dengan cewek, dipastikan saya akan melakukannya dengan kikuk dan kesulitan dalam memilih dan memilah kata-kata. Nah, di ekskul basket semua itu perlahan terkikis. Sebagai salah seorang senior di ekskul basket, mau tidak mau saya harus sering tampil berbicara di depan para junior, dan sebahagian dari mereka cewek. Anehnya, saya merasa cukup mampu menjadi komunikator di depan mereka. Bahkan saya mampu berperan cukup baik sebagai pelatih para junior tersebut.

Inilah satu lagi kontribusi basket dalam membangun jiwa saya. Basket menempa saya menjadi seorang yang berani dan lebih percaya diri berbicara di depan audience. Kelak dikemudian hari, pengalaman selama berkiprah di ekskul basket ini, banyak saya petik manfaatnya. Setelah lulus kuliah, sebelum diterima sebagai PNS di Dephut, saya terbebas dari status sebagai pengangguran absolut, berkat kemampuan saya melatih basket. Saya bekerja melatih basket di beberapa sekolah di Kota Padang. Tentunya, lagi-lagi ini adalah "jasa" basket dalam hidup saya. Kesempatan jadi pelatih ini saya peroleh berkat bantuan seorang teman sesama eks anggota tim basket sekolah dulu. Sambari melatih, saya terus berusaha mencari pekerjaan yang lebih mapan. Penghasilan dari melatih basket, lumayan. Bisa memenuhi kebutuhan pribadi saya sehari-hari. Yang penting saya tidak menjadi beban tanggungan orang tua lagi.

Selain itu, keberanian saya berbicara didepan umum yang tertempa selama berkiprah di ekskul basket juga banyak saya rasakan manfaatnya. Antara lain saat harus presentasi tugas dan ujian skripsi semasa kuliah dulu, saat menghadapi wawancara tes pekerjaan. Dan yang paling penting adalah, saat saya telah bekerja di Departemen Kehutanan RI hingga saat ini, dimana saya tidak bisa mengelak untuk harus berbicara di depan umum. Seperti saat rapat, seminar, lokakarya, presentasi, dan bahkan mengajar di berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh kantor tempat saya bekerja. Saya telah membuktikan kebenaran kata-kata pelatih kami: "jika menjalaninya dengan sungguh-sungguh, kelak akan banyak manfaat yang bisa kalian petik dari mengikuti ekskul ini".

Demikianlah. Saya menjalani dua tahun masa SMA, kelas 2 dan kelas 3, itu dengan penuh semangat karena basket. Saya akhirnya berhasil jadi salah seorang pemain inti tim basket sekolah. Saya bergaul akrab dengan teman-teman sesama anggota tim. Latihan demi latihan, pertandingan demi pertandingan, kami lewati dengan segala suka dukanya. Lebih banyak suka, tentunya. Karena latihan basket sangat menyenangkan buat kami, dan dalam perjalanannya kami lebih banyak menang daripada kalah saat bertanding. Duka karena kalah bertandingpun biasanya tidak terlalu membuat kami down, karena selalu banyak pengalaman menarik yang kami alami pada tiap turnamen yang kami ikuti. Dan pengalaman terbaik, apalagi kalau bukan memperluas pergaulan kami. Kami berkenalan dengan banyak orang diberbagai kota dari berbagai kalangan di dunia basket Sumatera Barat, yang banyak kami rasakan manfaatnya dikemudian hari.

Satu bonus juga saya peroleh selama kelas 2 dan kelas 3, yaitu, prestasi akademis. Ini sulit dipercaya, bahkan oleh diri saya sendiri. Aneh rasanya, saya bisa selalu berada di lima besar peringkat akademis di kelas. Bahkan, saat kelas dua, pada semester satu, saya sempat juara 3. Tidak akan ada analisis yang bisa menjelaskan fenomena aneh ini. Saya bersekolah hanya untuk basket, saya banyak bolos karena basket, saya sama sekali tidak optimal belajar, tapi prestasi akademik saya tidak pernah mengecewakan. Aneh bukan? Namun saya tidak berbangga diri akan hal itu. Itu hanya nasib baik saja barangkali. Saya sama sekali bukan termasuk orang yang bisa dikategorikan pintar sehingga bisa berprestasi secara akademis disekolah walau tanpa belajar dengan tekun. Sama sekali tidak. Buktinya, untuk mata pelajaran matematika, satu-satunya pelajaran eksakta yang mau tidak mau masih dipelajari di jurusan sosial, nilai saya tetap jeblok.

Masa SMA saya berakhir dengan ending yang menyenangkan. Tahun 1994, Tiga bulan sebelum Ebtanas, seperti tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami kembali menyelenggarakan Kejuaraan Bola Basket Antar SMA Se-Provinsi Sumatera Barat. Ajang itu benar-benar menjadi klimaks dari segala kerja keras kami. Even berlangsung dengan sukses. Dan semuanya menjadi terasa lebih indah dan sempurna karena kami keluar sebagai juara, baik putra maupun putri. Lebih hebat lagi, final putra berlangsung antara tim SMA 3 A melawan tim SMA 3 B. Kami benar-benar bersuka cita atas kesuksesan itu. Pelatih kami terharu dan senang tak terkira melihat hasil didikannya. Saya bangga, karena saya termasuk bagian penting dari semua kesuksesan itu. Ternyata saya bisa menjadi seseorang...

(bersambung)Rata Penuh