Rabu, 21 Januari 2009

Menanam untuk Sempurnakan Hari (dikutip lengkap dari Kompas/21 Januari 2008


Oleh Ratih P Sudarsono

”Untuk menanam pohon itu, terutama yang diperlukan adalah niat orangnya. Di mana saja, sebenarnya kita dapat menanam. Perhatikan sekitar rumah atau lingkungan kita, pasti ada tempat untuk ditanami pohon,” kata Badri Ismaya.

Badri Ismaya adalah pelopor penghijauan di lereng- lereng bukit di kawasan Puncak yang rusak akibat penjarahan besar- besaran pada awal era reformasi tahun 1998. Warga Kampung Caringin, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ini nyaris setiap hari ke luar dari rumah. Ia berkelana dari satu lereng ke lereng lain untuk menanam pohon.

Bagi laki-laki berkulit gelap ini menanam adalah hal yang mudah. Ia hanya perlu berbekal ”senjata” kecil yang disebutnya coredan. Dengan coredan, Badri membuat lubang kecil di tanah dan merobek kantung plastik (polybag) berisi bibit. Bibit pohon itu lalu ditekannya hingga melesak masuk ke dalam lubang. Tangan sedikit kotor, tetapi itu juga bagian dari asyiknya menanam. ”Sehari saya menanam sepuluh pohon, lama-lama lahan terbuka itu ketutup juga,” katanya.

Demikianlah yang dipraktikkan Badri dalam keseharian hidupnya. Dia terus menanam pohon sejak 1975. Badri akan merasa pusing dan tak sempurna menjalani hari jika ia tidak menanam pohon. Bahkan, ketika dia benar-benar sakit, menanam pohon adalah obatnya.

Ke mana pun pergi, ketika diundang desa tetangga atau institusi lain sebagai pembicara, Badri sengaja membawa bibit pohon untuk ditanam di tempat itu. Ia bahkan memiliki peta kawasan penanaman pohon, hasil dari penjelajahannya di sekitar Puncak saat menghijaukan lahan rusak.

”Semoga Allah memberi saya panjang umur dengan badan sehat. Masih banyak lokasi di Cisarua ini yang ingin saya tanami. Anak bungsu saya kayaknya mengikuti jejak saya, dia suka menanam. Dia suka menemani saya menanam. Kadang dia pergi sendiri membawa bibit, entah menanam di mana,” katanya.

Ia merasa bersyukur, masalah penghijauan tidak asing lagi bagi masyarakat meski tingkat partisipasinya masih rendah. Menurut Badri, pada acara seremonial gerakan menanam akan lebih bermakna jika para tokoh panutan masyarakat benar-benar memperlihatkan cara menanam, mulai dari menggali lubang sampai menutup bibit pohon dengan tanah.

”Kalau sekarang kan lubang sudah disediakan, bahkan sekitar lubang diberi karpet agar sepatunya tidak kotor. Bukan begitu mencontohkan cara menanam,” katanya.

Namun, Badri tak mau menyalahkan. Ia justru berusaha memahami dengan berpikir mungkin proses kesadaran menanam saat ini baru sebatas seremonial. Ia yakin suatu saat nanti menanam akan menjadi kebiasaan masyarakat.

Ini sama seperti proses panjang yang Badri alami sampai dia dikenal sebagai penyelamat lingkungan hulu Sungai Ciliwung dan mendapat berbagai penghargaan atas usahanya melestarikan lingkungan.

Ditegur pohon

Badri bertutur, ia pernah jadi perusak hutan kawasan Puncak. Dulu, demi menghidupi keluarga, ia bersama beberapa teman suka masuk hutan dan menebangi pohon untuk dicuri kayunya. Semua itu dilakoninya tahun 1975-1979 sehingga ratusan pohon musnah di tangannya.

Dia berhenti merusak alam setelah mendapat teguran halus dari ”korbannya”, sebatang pohon yang ditebangnya pada Jumat, 6 Oktober 1979. Pada tengah hari bolong itu, Badri seharusnya melaksanakan shalat Jumat, tetapi ia justru sibuk menebang pohon.

”Setetes air jatuh di kepala saya. Hanya setetes, tetapi membuat badan saya segar. Keletihan saya menebang dan memikul kayu langsung hilang. Saya cari-cari dari mana asal tetes air itu, ternyata dari akar pohon yang saya tebang. Saya terkejut. Saya duduk terdiam, merenungkan tetes air itu,” tuturnya.

Sejak Jumat itu dia menjadi gundah. Selama satu tahun kemudian, Badri masuk-keluar hutan sekadar membuktikan bahwa pohon benar-benar menyimpan air. Ia korek bagian bawah pohon untuk menemukan akarnya. Dia potong sedikit akar itu untuk melihat air yang keluar dari ujung akar yang terpotong.

”Akar-akar itu memang mengeluarkan air. Ada yang sedikit, ada yang banyak. Saya tampung air yang keluar dari akar dengan kantung plastik. Sejak tahun itu pula saya berjanji tidak lagi menebang pohon dan akan terus menanam pohon sampai ajal menjemput,” kata laki-laki yang memiliki empat anak dan tiga cucu ini.

Keputusan Badri itu tentu saja mendatangkan masalah. Dahlia, sang istri, sempat marah karena penghasilan Badri menjadi tak efektif untuk membiayai rumah tangga. Bukan itu saja, Badri juga kerap dianiaya biong (spekulan) tanah dan para penjaga keamanan vila-vila di kawasan Cisarua. Sebab, dia akan menanam pohon apa saja di lahan kosong atau telantar yang ternyata ”milik” atau diincar biong tanah. Bahkan, Badri pernah disekap di pos keamanan sebuah vila.

Namun, Badri tak kapok. Lambat laun, setiap orang di sekitar dia, yang dulu memusuhi dan keberatan dengan pilihan hidupnya, belakangan ini justru menggebu-gebu dukungannya.

Ia sering mendapat kiriman buah yang ternyata hasil dari pohon yang bertahun-tahun lalu ditanamnya. Dari menanam jamur merang, ia mendapat kucuran rezeki. Kebahagiaan pada usia senjanya ini ditambah dengan lulusnya dua dari empat anaknya sebagai sarjana komputer dan sarjana kimia.

”Saya tidak pernah memaksa orang lain untuk menanam pohon. Saya hanya ingin menanam pohon sebab saya yakin pohon adalah sumber kehidupan. Saya ingin menyempurnakan hari-hari yang saya jalani ini dengan menanam pohon, sesuai janji kepada Tuhan,” katanya.

Sumur resapan

Selain menjadi pelopor penanam pohon di lahan kritis sekitar Cisarua, Badri juga yang memulai pembuatan dan penggunaan sumur resapan di kawasan itu. Sekitar 1985, saluran air yang berada di sisi jalan di atas kampung tersumbat. Airnya membanjiri rumah Badri.

Ia lalu berinisiatif membuat lubang di halaman rumah dan diisinya dengan bebatuan, ijuk, dan material lain. Air buangan selokan dia arahkan masuk ke sumur resapan tersebut. Setelah itu, banjir tak datang lagi.

”Sejak itu mulailah para tetangga ikut membuat (sumur resapan). Saya juga sering dipanggil ke daerah lain, seperti Jakarta sampai Palembang. Saya diundang untuk bicara di Malaysia dan Singapura tahun 2001, juga ke Filipina pada 2005,” kata Badri yang senang berbagi pengalaman dengan siapa pun yang menginginkannya. (NELI TRIANA/ J WASKITA UTAMA)

Tidak ada komentar: