Senin, 23 Februari 2009

Revitalisasi Fungsi Petugas Lapangan Gerhan (PLG) Provinsi Sumatera Barat

Semenjak Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) dicanangkan tahun 2003 lalu, disadari bahwa salah satu persoalan krusial yang perlu diperhatikan adalah persoalan kelembagaan. Terutama kelembagaan masyarakat (kelompok tani) sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan di lapangan. Pemerintah sangat paham, bahwa tanpa adanya kelembagaan masyarakat yang kuat dan memiliki pranata yang kondusif dalam mendukung semangat rehabilitasi hutan dan lahan, maka tujuan dari kegiatan Gerhan ini akan sulit terwujud. Oleh karena itu, sejak awal, kegiatan pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok tani tidak terlepas dari mata rantai kegiatan Gerhan secara keseluruhan.

Berbagai kegiatan dengan tujuan penguatan kelembagaan kelompok tani selalu memperoleh porsi perhatian pada tiap tahun anggaran. Antara lain untuk kegiatan pelatihan bagi kelompok tani, kegiatan sosialisasi, dan yang terpenting adalah fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok tani. Hanya saja, kegiatan pendampingan kelompok tani ini, semenjak kegiatan Gerhan dimulai tahun 2003 sampai kegiatan tahun 2006, masih terkendala. Penyebabnya antara lain karena peran penyuluh kehutanan belum optimal dan belum dilibatkan secara langsung dikarenakan belum terfasilitasinya penyuluh dalam program Gerhan (sarana komunikasi, insentif, dan lain-lain) selaku petugas pendamping. Selain itu, karena pendampingan terhadap kelompok tani tidak kontinyu dan selalu terputus di akhir tahun anggaran dan memulai lagi pada kegiatan tahun berikutnya. Hal ini disebabkan sistem anggaran tidak mengikuti pola dan mekanisme penyuluhan yang memerlukan kontinyuitas waktu.

Nah, berbagai kekurangan yang dirasakan tersebut telah berupaya ditutupi secara optimal oleh Departemen Kehutanan. Mulai kegiatan Gerhan tahun 2007, kegiatan pendampingan terhadap kelompok tani pelaksana Gerhan telah dilaksanakan dengan konsep multiyears, yaitu dengan merekrut Petugas Lapangan Gerhan (PLG) dari tenaga sarjana teknis Kehutanan/Pertanian. PLG ini dikontrak dengan tahun jamak terhitung Oktober 2007 hingga Desember 2009, dengan tugas utamanya adalah sebagai pendamping kelompok tani pelaksana Gerhan, baik secara teknis maupun administrasi/kelembagaan.

Untuk menunjang optimalisasi pelaksanaan tugasnya tersebut, PLG diberi fasilitas sarana dan prasarana serta anggaran yang relatif memadai. Antara lain sarana transportasi berupa kendaraan roda dua, 1 (satu) unit untuk masing-masing PLG, biaya eksploitasi kendaraan, honorarium, uang pemondokan, uang perjalanan dinas, biaya pertemuan kelompok, biaya temu usaha, biaya ATK, dan lain-lain. Dengan semua fasilitas tersebut, PLG diharapkan bisa bekerja optimal dalam membina kelompok tani pelaksana Gerhan, sehingga berimplikasi pada keberhasilan kegiatan Gerhan secara keseluruhan.

Meskipun keberadaan PLG ini difasilitasi oleh Departemen Kehutanan melalui Unit Pelaksana Teknis di daerah (di Sumatera Barat melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan), namun secara penugasan PLG bekerja dan bertanggung jawab kepada Dinas yang menangani urusan kehutanan di Kabupaten/Kota. Dinas yang membidangi kehutananan di Kabupaten/Kota berwenang melakukan penetapan penempatan lokasi tugas PLG serta berwenang memberikan penugasan-penugasan lainnya kepada PLG sepanjang penugasan tersebut masih berkaitan dengan kegiatan Gerhan.

Namun, dari fakta yang berkembang di lapangan, kondisi yang terjadi masih belum optimal sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaan PLG tersebut. Penyebabnya antara lain, karena berbagai kondisi, semenjak tahun 2007 anggaran kegiatan hutan rakyat belum bisa dilaksanakan. Hal ini menyebabkan PLG tidak bisa melaksanakan tugas utamanya secara optimal, yaitu membina kelompok tani hutan rakyat. Masalah lainnya adalah persoalan kinerja PLG yang juga belum seluruhnya dan belum sepenuhnya optimal. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor internal dari diri PLG yang bersangkutan, seperti semangat dan motivasi kerja yang rendah, kompetensi yang kurang, dan faktor eksternal berupa kurang harmonisnya hubungan kerja yang terjalin antara PLG dengan dinas di Kabupaten/Kota.

Terlepas dari itu, setelah kurang lebih 1.5 tahun melaksanakan tugasnya, ada beberapa permasalahan yang ditemukan oleh PLG di lapangan. Jika dirangkum, permasalahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:

Kelompok Tani yang ada saat ini sifatnya masih sementara, belum permanen, belum ada legalitas (SK penetapan), sehingga organisasi kelompok belum tertata dengan baik. Kondisi ini menyebabkan mekanisme dan dinamika dalam kelompok tidak berjalan. Juga ada sebagian kelompok masyarakat yang belum memahami bagaimana prosedur mendirikan kelompok tani dan bagaimana menata organisasinya.

Sikap mental sebahagian anggota kelompok tani yang belum positif. Seperti: tanggungjawab dan kesadaran merawat tanaman yang telah ditanam masih rendah, hanya mau bekerja jika telah ada upah, sulit dikoordinir/diatur, tidak bisa (tidak mau?) meluangkan waktu untuk kegiatan-kegiatan kelompok, dan lain-lain.

Sebahagian masyarakat belum menyadari nilai ekonomi dari kegiatan RHL yang sedang mereka laksanakan. Masyarakat hanya berfikir pragmatis, karena kegiatan RHL tidak bisa segera menghasilkan, maka masyarakat melaksanakan kegiatan hanya berorientasi untuk memperoleh upah dari keproyekan.

Selalu ada pertanyaan dari masyarakat, khususnya kelompok tani, mengenai kepastian kelanjuatan kegiatan. Kapan pekerjaan akan dilanjutkan, kapan anggaran akan cair, dan lain-lain.

Pada lokasi-lokasi kegiatan yang telah menyelesaikan kegiatan pemeliharaan, kelompok tani pelaksananya banyak yang kemudian menerlantarkan tanaman yang telah ditanam dan kembali lebih fokus menjalani profesi sebagai petani sawah, berdagang, dan lain-lain.

Untuk lokasi kegiatan reboisasi, masyarakat disekitar lokasi hutan yang akan direhabilitasi butuh kepastian apakah mereka akan dipekerjakan oleh pihak III pelaksana reboisasi. Sedangkan pihak III sendiri belum bisa memberi kepastian.

Hubungan kerja antara PLG dengan petugas lain di Dinas Kabupaten/Kota belum sinergis. Sebagian petugas dinas belum memahami fungsi dan manfaat keberadaan PLG, sehingga ada anggapan akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Selain itu, juga banyak penugasan kepada PLG yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan tanggung jawabnya sebagai Petugas Lapangan Gerhan.

Berkaitan dengan beberapa persoalan diatas, untuk perbaikan ke dapan diharapkan fungsi dan peran PLG bisa direvitalisasi sehingga sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaannya. Untuk itu, kepada masing-masing PLG diharapkan untuk terus-menerus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya, khususnya dibidang teknis kehutanan serta bidang pendampingan kelompok tani, baik secara teknis maupun kelembagaan. Sedangkan kepada pihak dinas di Kabupaten/Kota, diharapkan mampu mendayagunakan keberadaan PLG sesuai dengan fungsi dan tugasnya serta dengan mempertimbangkan porsi peran yang mungkin mereka emban, yang tentunya berkaitan dengan kegiatan Gerhan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Akhir kata, semoga PLG bisa memperlihatkan hasil karya yang lebih nyata sehingga eksistensi PLG diakui dan pantas diperjuangkan!!

Rabu, 18 Februari 2009

Kenapa Orang Tua Suka Melarang??

Saat kanak-kanak kita mungkin sering kesal pada orang tua kita. Kita kesal ketika sedang asik bermain bola kemudian disuruh pulang, disuruh mandi, dan diminta diam atau bermain dirumah saja. Lain waktu, kita mungkin kesal karena tidak dibolehkan bermain hujan-hujanan. Padahal rasanya alangkah menyenangkannya bermain dibawah guyuran hujan itu. Kita juga pernah kesal karena dimarahi ketika ketahuan habis mandi-mandi disungai dipinggir kampung bersama gank kanak-kanak kita. Kita juga berulang-ulang kesal karena tidak boleh bermain perang-perangan ketapel, tidak boleh memanjat pohon, tidak boleh main kesana, tidak boleh main kesini, tidak boleh main ini, tidak boleh main itu.

Singkatnya, dalam alam pikiran masa kanak-kanak kita ketika itu, kita tak habis fikir kenapa orang tua kita tidak mengerti kesenangan kita? Kenapa semua yang bisa membuat kita senang, selalu dilarang oleh orang tua kita? Kenapa terlalu banyak larangan untuk kita? Padahal yang dilarang itu hal-hal yang amat menyenangkan untuk kita?

Ketika itu, orang tua kita selalu memberi jawaban: "itu berbahaya nak", "nanti kamu sakit nak", "itu tidak baik nak". Tapi jawaban-jawaban itu, bagi kita ketika itu terasa "memuakkan". Kita kadang dengan putus asa sering mengeluh" papa tidak sayang aku", atau "mama jahat, pelit", ketika kita dilarang-larang oleh mereka.

Nah, ternyata kita bisa memahami dengan baik alasan sebuah perbuatan seseorang itu hanya jika kita berada pada posisi orang tersebut. Sekarang, setelah saya menjadi seorang ayah dengan tiga orang anak, saya bisa memahami semua alasan dari larangan-larangan yang sering kita terima dari orang tua kita di masa kanak-kanak dulu. Ternyata orang tua, memang selalu mengkhawatirkan kesehatan, keselamatan anak-anaknya. Terkadang berlebihan. Itulah yang menyebabkan para orang tua terlalu banyak memproduksi larangan untuk anak-anak mereka.

Rabu, 11 Februari 2009

"Urang Awak" Kehilangan Identitas

Pasti sangat banyak diantara kita, urang minang yang ada di kampung (di Sumatera Barat), punya sanak saudara di rantau. Ya, sebab angka statistik memang mencatat, bahwa penduduk Sumatera Barat cuma berjumlah lebih kurang 4 juta jiwa. Sedangkan Orang Minang di perantauan, yang tersebar diseluruh nusantara bahkan manca negara, jumlahnya konon mencapai angka 8 juta jiwa. Angka itu membuktikan bahwa Orang Minang memang perantau.

Namun, patut kita pertanyakan, Orang Minang diperantauan itu masihkah mereka memiliki identitas sebagai Orang Minang? Kenapa saya pertanyakan itu? Sebab, sangat banyak dunsanak kita dirantau itu yang sudah tidak tahu dimana kampung halamannya, tidak mengerti sako dan pusakonya. Bahkan yang lebih memprihatinkan, banyak yang sama sekali tidak bisa berbahasa Minang. Bayangkan, bahkan sekedar bahasa ibu pun sudah tidak dimiliki oleh banyak Orang Minang diperantauan. Jika sekedar bahasa saja terlupakan, lebih-lebih lagi budaya dan adat istiadat.

Persoalan Bahasa ini saya anggap sangat penting kita soroti. Sebab, di dunia ini, bahasa daerah/bahasa ibu adalah pembeda utama antara satu sub-etnis dengan sub-etnis yang lain. Sebab, secara biologis, antar sub-etnis tidaklah sumir untuk bisa dibedakan. Kita tentu tidak tahu apakah seseorang itu orang Jawa, orang Batak, orang Minang, atau orang Sunda, hanya dari mengamati mereka secara fisik biologis. Tetapi, jika kita dengar mereka berbicara, setidaknya kita akan bisa menebak dari etnis/sub-etnis manakah mereka. Bahkan saat mereka berbahasa Indonesia sekalipun, kita masih bisa menebak asal mereka dari dialek bahasa daerah mereka saat berbicara. Artinya, bahasa daerah itulah yang menjadi identitas utama suatu sub-etnis. Nah, saat ini, Orang Minang di perantauan banyak yang sudah kehilangan identitas tersebut.

Tak usah jauh-jauh, keluarga besar saya dan istri adalah contohnya. Para sepupu kami yang banyak menetap di Jakarta, rata-rata tidak bisa berbicara bahasa Minang. Jika mendengar mereka berbicara, sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka sebagai orang Minang. Ketika berbicara, mereka lebih mencirikan diri sebagai orang Jakarta, orang Betawi, orang Sunda, atau orang Jawa.

Wajar memang demikian. Sebab dialek mereka itu terbentuk oleh sosialisasi dilingkungan sosial mereka. Mereka semenjak lahir bersosialisasi dilingkungan masyarakat heterogen Jakarta, maka jadilah dialek berbahasa mereka seperti layaknya orang-orang Jakarta berbahasa. Nah, yang salah adalah orang tua mereka. Orang tua mereka tidak mengajarkan Bahasa Minang di lingkungan rumah. Menurut hemat saya, seharusnya para orang tua yang notabene Orang Minang tulen itu, mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Di lingkungan rumah tangga, seharusnya Bahasa Minang dijadikan sebagai alat utama komunikasi verbal.

Bandingkan dengan orang Jawa. Dimanapun orang Jawa berada, mereka akan berbahasa Jawa sesama mereka. Anak-anak orang Jawa, kemanapun orang tua mereka merantau, dipastikan tetap bisa berbahasa Jawa. Sebab, dilingkungan rumah tangga, mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka itu. Buktinya, kita tentu tahu, bahkan orang-orang Jawa yang ada di Suriname saat ini, yang sudah merupakan keturunan kesekian dari nenek moyang mereka yang berimigrasi di zaman penjajahan Belanda dahulu, masih mampu berbahasa Jawa dengan sangat-sangat fasih.

Pertanyaannya, kenapa orang Minang dirantau cendrung tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka? Saya mensinyalir, itu karena orang minang itu sendiri sudah mengalami krisis identitas. Krisis identitas itu antara lain berbentuk tidak adanya rasa bangga terlahir sebagai Orang Minang. Banyak penyebabnya. Antara lain, karena adanya berbagai stereotype dan stigma negatif tentang Orang Minang yang terlanjur berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan sebagian Orang Minang dirantau "malu" sebagai Orang Minang. Mereka akhirnya berusaha menghilangkan Identitas ke-Minang-annya . Antara lain dengan tidak mau berbahasa Minang dan tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Lebih ektrim lagi, ada yang berusaha keras agar mampu berbahasa atau setidaknya berdialek bahasa sub-etnis lain, supaya mereka tidak disangka sebagai Orang Minang.

Implikasi dari persoalan ini ternyata sangat luas. Orang Minang merasa tidak percaya diri menggunakan Bahasa Minang saat ngobrol antar sesama mereka ketika mereka berada dilingkungan bukan orang Minang. Padahal, kembali kita ambil contoh orang Jawa, teman-teman sekantor saya yang orang Jawa sangat percaya diri dan cuek saja ngobrol menggunakan bahasa Jawa dilingkungan kantor, ditengah-tengah karyawan lainnya yang mayoritas Orang Minang.

Orang Minang juga banyak yang tidak percaya diri (kalau tidak bisa dibilang malu) dengan kemampuan berbahasa Indonesianya karena masih kental dengan dialek Minang. Dan celakanya, sebahagain orang Minang malah justru malu/risih mendengar orang Minang lain berbahasa Indonesia kalau masih kental dialek Minangnya. Orang Minang merasa kampungan kalau berbahasa Indonesia dengan dialek kampung mereka. Padahal, orang Batak tidak pernah malu berbahasa Indonesia dengan dialek batak yang keras, orang Sunda tetap percaya diri berbahasa Indonesia ala Sunda yang mendayu-dayu, orang Jawa juga tidak merasa perlu menghilangkan dialek medok mereka saat berbahasa Indonesia.

Orang Minang malu berbahasa Indonesia dengan dialek Minang ini, menurut hemat saya juga terjadi karena rekonstruksi budaya yang dibangun oleh budaya populer melalui media massa, terutama media audio visual televisi. Media televisi yang dari awalnya memang berkembang di Pulau Jawa (baca Jakarta) , dan dikelola secara teknis dan materi program mayoritas juga oleh orang-orang dari etnis yang ada di pulau Jawa, menyebabkan berbagai tayangan program acara di televisi kental dengan dialek masyarakat Pulau Jawa kebanyakan. Para presenter program-program TV dengan nuansa populer haruslah mereka-mereka yang mampu berdialek gaul ala Jakarta. Sinetron, film, juga penuh dengan dialog-dialog berdialek masyarakat Pulau Jawa. Talkshow, wawancara, mayoritas juga menghadirkan artis, tokoh, maupun pejabat yang bersasal dari Jawa. Nah, masyarakat yang terus-menerus disuguhi oleh tayangan-tayangan tersebut, akhirnya merasa bahwa dialek bahasa Indonesia yang "tepat' itu adalah sebagaimana yang sering ditayangkan dalam berbagai program televisi itu. Yaitu dialeknya orang Jakarta/Betawi, dialek Sunda, dan dialek Jawa tentu saja. Sehingga ketika mendengar dialek-dialek lain, masyarakat merasa itu ganjil. Akhirnya, masyarakat dengan dialek lain, termasuk dialek Minang, merasa "malu" dengan dialek mereka sendiri ketika berbahasa.
Rata Penuh
Aneh memang, Bahasa Indonesia yang sejatinya berakar dari bahasa Melayu, oleh masyarakat justru dipersepsikan lebih cocok digunakan dengan dialek masyarakat di Pulau Jawa. Dialek lain dianggap aneh, termasuki dialek Minang. Dianggap aneh jika berbahasa Indonesia dengan dialek Minang. Padahal Bahasa Minang banyak kemiripan dengan Bahasa Indonesia, dan merupakan salah satu sumber pembentuk Bahasa Indonesia. Alhasil, Orang Minang semakin malu dengan bahasa daerahnya. Dan, Orang Minangpun makin kehilangan identitasnya..