Selasa, 23 Juni 2009

Perhatian Untuk Kaum Pria: Ini mungkin juga akan jadi masalah anda kelak

Hari Sabtu (20/6/09) lalu, saya bermaksud akan pangkas rambut di tempat tukang pangkas langganan. Sesampai di tempat pangkas, si tukang pangkas langganan saya rupanya sedang melayani seorang pelanggan. Jadi saya harus menunggu giliran.

Yang sedang dilayaninya itu, seorang pria manula. Menurut perkiraan saya, umurnya tak kurang 75 Tahun. Tapi meskipun sudah sangat tua, masih jelas terihat sisa-sisa kegagahan pada pria itu. Seperti Sean Conery kurang lebih, yang masih tampak sangat gagah di usia senjanya. Nah, pria itu juga demikian, terlihat masih sangat gagah dan tegap. Ketika mudanya pria itu pasti seorang laki-laki yang tampan.

Setelah rambutnya dipangkas rapi, pria itu juga minta rambutnya yang sudah memutih semua dan sudah tipis di sana-sini itu, untuk disemir agar menjadi hitam lagi. Agak geli juga saya melihatnya.. "Ah, sudah setua itu ngapain juga masih ingin rambut tampak hitam?", batin saya. Tapi, tukang Pangkas langganan saya tampak dengan sabar melayani orang tua itu.

Selesai sudah si pria tua. Setelah merapikan diri di depan cermin dan membayar jasa si tukang pangkas, ia pun pergi. Dia nyetir mobilnya sendiri. Tanpa kaca mata pula. Kelihatanya orang tua ini memang masih sangat prima kondisi kesehatannya.

Giliran saya sekarang. Saya duduk di kursi pangkas kemudian dipasangi kain penutup tubuh agar pakaian tidak terkena jatuhan rambut yang dipangkas. Si tukang pangkas langganan saya itu mulai bekerja merapikan rambut saya. Dan, seperti biasa, dia selalu duluan memulai obrolan. Dia memang selalu begitu, bekerja memangkas sambil ngobrol dengan para pelanggan yang sedang dia pangkas. Saya sendiri juga senang dipangkas sambil ngobrol dengan dia.

"Saya ketawa dalam hati aja sama orang tua tadi, Pak", ujarnya memulai obrolan. "Kenapa?" tanya saya. "Ya, lucu aja, sudah tua begitu tapi selalu saja tiap pangkas disini sekaligus minta rambutnya disemir". Emang umurnya berapa?", kembali saya bertanya. "Sudah hampir 80 tahun katanya". Hmm...perkiraan saya tadi tidak meleset jauh rupanya. Ternyata usia orang tua itu memang sudah melebihi 75 Tahun.

Dari keterangan si tukang pangkas saya dapat informasi. Orang tua tadi rupanya seorang akademisi. Dia seorang profesor. Di tahun 80-an dia juga pernah menjabat sebagai rektor sebuah Perguruan Tinggi. Sampai sekarang dia juga masih aktif mengajar di Pergurauan Tinggi itu. Hmm.. pantas, selain terlihat gagah, orang tua itu memang terlihat intelek.

"Kasihan juga dia Pak", lanjut si tukang pangkas. "Kenapa?" Sergah saya. "Dia sering mengeluh dan curhat sama saya tiap kali saya pangkas". Katanya dia masih punya libido yang lumayan tinggi. Sedangkan istrinya, yang jarak umurnya tidak terlalu jauh dengan dia, sudah sangat renta". Tubuh istrinya itu sudah ringkih dan bungkuk, sakit-sakitan pula". "Singkatnya, istrinya itu sudah tidak berfungsi lagi sebagai mitra seksual. Tidak bisa lagi melayani syahwatnya". Si tukang cukur berpanjang lebar bercerita. Dalam hati saya kembali bergumam, "ya, perempuan usia mendekati 80 dan kondisi fisik sudah renta, tentu sama sekali tak memiliki kehidupan sex lagi...

Dengan nada suara dipelankan, si tukang cukur melanjutkan. "Dia ngaku sama saya masih sering terpaksa onani loh, Pak".. Astaga, saya tertegun dan tersenyum kecut mendengarnya. "Kenapa tidak kau sarankan aja dia untuk nikah lagi?". "Sudah Pak, pernah saya bilang begitu. Katanya, dia sebenarnya sangat ingin karena memang merasa sangat butuh, tapi katanya dia kasihan dan tidak tega sama istrinya itu. "Hmmmm..begitu ya.. dilematis juga ya?? pungkas saya singkat.

Setelah itu, saya membatin sendiri. Kasihan juga orang tua itu. Jadi dilematis hidup ini buat dia. Tiap laki-laki pasti ingin tetap sehat sampai setua apapun umurnya. Tapi ternyata kesehatan itu justru menimbulkan masalah tersendiri. Karena masih sehat dan bugar, otomatis vitalitas juga masih berfungsi normal. Kebutuhan akan sex pun tentunya mutlak masih harus dipenuhi. Sementara, partner sex yang sah (istri) sudah tidak berfungsi lagi. Dilematis bukan??

Dan lebih kasihan lagi, orang setua itu, yang harusnya hari tuanya diisi dengan berbagai amal ibadah, terpaksa harus berbuat dosa dengan sering beronani (sebagian ulama menyatakan onani haram hukumnya), karena syahwatnya masih butuh disalurkan.

Nah, dari pengalaman itu saya jadi berfikir. Berarti kaum pria memang mengalami dilema yang pelik. Jika tetap sehat dan bugar hingga uzur, maka kebutuhan sex juga akan tetap ada, sementara istri sudah tidak bisa lagi meladeni. Sebaliknya, jika ingin hari tua tidak terganggu lagi dengan hasrat seksual, berarti seorang pria harus membiarkan tubuhnya tidak sehat dan tidak bugar sehingga hasrat sex otomatis padam. Ibarat makan buah simalakama.

Dalam kasus di atas, sebagian kita barangkali secara gampang akan menuduh bahwa pria tua itu aja yang "ganjen", tak mampu mengendalikan atau menahan dorongan syahwat. Barangkali sebagian kita, terutama perempuan (para istri), akan menunjuk contoh, banyak kok suami yang mampu menahan diri. Tapi perlu kita cermati, jangan-jangan yang mampu menahan diri itu memang para pria yang sudah "padam" hasratnya saja. Atau, kalaupun kita juga yakin mereka memang masih sehat dan bugar tapi tetap mampu menahan diri, apakah kita juga yakin mereka tidak pernah onani?

Kita tentu paham kodrat manusia, terutama laki-laki, bahwa kebutuhan sex adalah kebutuhan biologis. Sama halnya dengan kebutuhan makan dan minum. Ia harus dipenuhi agar keberlangsungan hidup sebagai manusia tetap terjaga. Bukankah orang lapar kadang terpaksa mau makan nasi sampah?

Saya jadi teringat dengan konsep poligami dalam Islam. Barangkali inilah salah satu bentuk kesempurnaan ajaran Islam. Islam tahu persis berbagai problematika persoalan hidup manusia, termasuk persoalan dalam konteks cerita di atas. Barangkali juga karena itulah makanya Islam mengatur adanya kesempatan bagi laki-laki untuk berpoligami. Salah satu tujuannya, agar para laki-laki tidak perlu berbuat dosa dengan sering beronani dihari tuanya karena istrinya tidak lagi bisa jadi mitra seksual..

Dan, sebenarnya ada alternatif solusi selain poligami. Sebab, seperti cerita di atas, memang banyak laki-laki yang tidak tega "menyakiti" istrinya dengan berpoligami. Alternatif itu adalah MUT'AH. Tapi alternatif ini tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Karena dalam pemahaman Ta'wil Islam Mainstream di Indonesia, MUT'AH dinyatakan haram... Wallaahualam....

Senin, 22 Juni 2009

Malam yang mencekam dan melelahkan di Rumah Sakit..

Seminggu yang lalu salah seorang dari putra kembar saya,Fadhlan, harus dirawat di Rumah Sakit. Tidak saya duga bocah itu akan dirawat. Karena dari penglihatan awam saya, dia cuma mengalami batuk biasa, dan itupun baru 4 hari. Tapi, ternyata anak saya itu harus dirawat, karena divonis mengidap pneumonia. Infeksi paru-paru bahasa gampangnya.

Saya makin khawatir, karena ternyata Fadhlan harus dirawat di HCU (High Care Unit) bangsal anak, yaitu tempat perawatan pasien anak yang mengalami kondisi gawat dan kritis. Begitu masuk, Fadhlan segera dipasangi infus dan oksigen. Kata dokter, Fadhlan juga harus berpuasa makan dan minum. Untuk sementara asupan makanannya cukup melalui infus saja. Aduh, saya benar-benar shock dengan kondisi itu. Parah juga rupanya kondisi Fadhlan. Nafasnya memang terihat sesak saat itu.

Bocah itu harus dipasangi infus dan oksigen secara paksa. Tak gampang, meskipun kaki dan tangannya dipegangi para perawat, susah mencari titik pemasangan infus pada anak 10 bulan yang terus berontak sejadi-jadinya. Kasihan Fadhlan, pasti dia stress mendapat perlakuan seperti itu. Dan saya khawatir, dia tidak akan nyaman dengan slang-slang infus dan oksigen itu. Benar saja, setelah terpasang, berkali-kali slang infus dan oksigen direnggut sampai copot. Berkali-kali pula titik pemasangan infus dipindah-pindah. Dari tangan pindah ke kaki, pindah lagi ketangan. Ketika dia sudah mulai terbiasa dengan banyak slang menempel dibadannya, persoalan belum selesai. Karena terus bergerak, tak bisa diam, infus berkali-kali macet karena terjadi pembekuan darah di bagian jarum yang terhubung dengan pembuluh darah. Berkali-kali pula perawat harus memperbaikinya. Duh..repotnya bila si kecil sakit... Alhasil, saya dan istri harus terus-terusan mengawasi dan kalau perlu menggendong Fadhlan. Menjaga supaya dia tidak banyak bergerak dan tidak kembali mencabut infus. Benar-bernar situasi yang tidak mudah bagi saya saat itu.

Namun, itu belum seberapa. Pengalaman "mencekam" justru baru saja dimulai. Setelah beberapa jam diruangan HCU itu, Fadhlan mulai sedikit tenang. Di sebelah kiri ranjang tempat Fadhlan dirawat, sudah ada pasien. Anak umur 18 bulan. Mengalami sesak nafas juga. Tapi kondisinya lebih memprihatinkan, karena beberapa bulan sebelumnya mengalami operasi jantung. Selain itu, dia juga penderita down syndrome, dan baru saja seminggu yang lalu keluar dari RS yang sama karena terkena DBD. Bocah yang malang. Tapi orang tuanya terlihat tabah dan sabar menghadapi kondisi buah hati mereka itu.

Di sebelah kanan ranjang Fadhlan, juga ada pasien. Yang ini kondisinya jauh lebih menggenaskan lagi. Seorang bocah laki-laki berusia sekitar 11 tahun terbaring dalam kondisi koma. Dari info selintas yang saya dengar, katanya anak itu keracunan. Begitu banyak slang yang terpasang ditubuhnya. Selain slang infus dan oksigen, juga ada slang yang mengalir kesebuah tabung. Dan di dalam slang itu tampak mengalir cairan berwarna merah kehitam-hitaman. Saya tidak tahu cairan apa itu. Sepertinya cairan itu mengalir dari salah satu organ dalamnya.

Tak berapa lama kemudian pasien koma itu menampakkan kondisi yang tidak stabil. Beberapa orang dokter dan perawat mengambil tindakan prosedural. Beberapa peralatan medic, yang saya tidak tau namanya, dikeluarkan dan digunakan sebagai upaya optimal menyelamatkan si pasien. Termasuk alat listrik untuk memberi efek kejut ke jantung. Namun, akhirnya, bocah itu tak tertolong. Meninggal. Kami yang masih kerepotan mengatasi Fadhlan, ikut menjadi saksi berpulangnya pasien cilik itu. Tak berapa lama kemudian, mayatnya dibungkus dengan kain seadanya. Menunggu pihak keluarga menyelesaikan urusan agar jenazah bisa dibawa pulang. Berselang lebih kurang 2 jam, mayat itu dijemput oleh keluarganya. Ayahnya membopong jenazah yang sudah kaku itu menuju ambulan. Sang ayah terlihat cukup tabah ditinggal selamanya oleh sang anak. Dan, kami lega. Sebab tak enak rasanya perasaan selama dua jam melihat mayat terbujur tepat disebelah ranjang tempat anak kami dirawat.

Tapi, sekali lagi,cobaan tidak hanya sampai disitu. Malam itu, ruangan HCR bangsal anak rupanya sudah menjadi target utama malaikat maut yang ingin menjemput bocah-bocah yang malang didunia namun akan menjadi penghuni syurga. Sekitar pukul 8 malam, masuk lagi seorang pasien berumur lebih kurang 8 tahun. Kali ini perempuan. Juga dalam keadaan koma dan kritis sekali kelihatannya. Prosesi seperti pada pasien yang meninggal siang tadi kembali terjadi.. Persis sama, dokter dan perawat berupaya keras, dan berbagai peralatan medic kembali digelar. Bedanya, kali ini keluarga pasien terlihat banyak yang menunggui saat-saat genting itu. Tanpa sadar sebagian mereka masuk ke ruangan HCR yang harusnya steril itu masih menggunakan alas kaki. Ruangan yang memang sudah panas itu makin terasa gerah. Beberapa kerabat dekat pasien yang sedang sekarat itu terlihat histeris. Sambil terus menangis mereka memberi tekanan psikologis kepada tim medis yang sedang berupaya maksimal itu agar menyelamatkan nyawa anak mereka. Bahkan, ayah pasien itu sambil menangis, berkata pada tim medis: "saya ikhlas anak saya ini meninggal, asal bapak ibu sekalian sudah bekerja maksimal berupaya menyelamatkan nyawanya"..

Suasana terasa mencekam. Kami dan beberapa penunggu pasien lain ikut-ikutan stress karena suasana saat itu.. Sudah menjelang tengah malam. Tapi suasana di ruangan itu sangat gaduh.. Anak kami dan pasien-pasien cilik lainnya terlihat tidak nyaman dan tidak bisa tidur.. Sementara, Tim medis sudah terlihat mulai putus asa dengan kondisi pasien tadi. Sudah berbagai upaya dilakukan. Berbagai obat sudah disuntikkan. Juga tak henti secara bergantian paramedis itu mengorek-ngorek mulut pasien, menekan-nekan dadanya, dan berbagai upaya lainnya yang saya tak paham. Tapi, kembali, malam itu malaikat maut tak hendak pergi tanpa hasil agaknya. Pasien itu akhirnya juga tak tertolong. Meninggal dengan disaksikan bahkan dikerumuni oleh banyak sekali kerabatnya di ruangan itu.

Sontak, suasana jadi makin tak terkendali. Begitu pasien dinyatakan meninggal, kerabatnya makin histeris. Lolongan tangis makin menjadi-jadi. Ayah si pasien bahkan tak mampu mengendalikan dirinya. Ia shock berat. Meraung-raung sambil berguling-guling di lantai ruangan itu tanpa dapat ditenangkan oleh kerabatnya yang lain. Ia lupa dengan kata-katanya tadi yang katanya akan mengikhlaskan anaknya itu andai memang ajal menjelang. Bahkan istrinya sendiri yang juga tak kuasa menahan tangis juga tak mampu menenangkannya. Oh Tuhan... malam itu benar-benar malam yang berat bagi saya. Dalam keadaan anak yang masih belum jelas kondisinya, saya menjadi saksi meninggalnya 2 orang pasien tepat di depan mata.. Saya peluk erat Fadhlan.. Dua kejadian dalam beberapa jam itu membuat Saya jadi sangat khawatir akan kondisi Fadhlan.. Saya bergumam dalam doa.. Tuhan, beri yang terbaik untuk Fadhlan..

Akhirnya.. Menjelang jam 12 tengah malam..kondisi kembali normal.. Ruangan kembali tenang.. barulah para Pasien di ruangan HCR bangsal anak itu dan kami para penunggunya bisa mulai beristirahat.. Benar-benar malam yang mencekam dan melelahkan..

Jumat, 12 Juni 2009

Aduh... dituduh "tak berbudaya"

Sore itu, seperti biasa, saya pulang dari kantor sudah mendekati magrib. juga seperti biasa, jalanan Kota Padang ramai di jam-jam seperti itu. Saya mengendarai motor dengan kecepatan sedang, 40 Km/jam. Perjalanan pulang dari kantor menuju rumah memang selalu saya nikmati. Suasana dan udara sore yang teduh membuat penat selepas bekerja seharianpun sedikit terpulihkan karenanya.

Saya suka merubah-rubah rute perjalanan pulang. Tujuannya supaya tidak jenuh saja. Terkadang saya sengaja menempuh rute yang lebih jauh. Nah, ketika itu, saya pulang melewati rute yang melewati sebuah pertigaan yang biasanya selalu ramai dan tak jarang macet. Di pertigaan itu sebenarnya ada lampu lalu lintas. Tapi, entah kenapa, berbeda dengan lampu-lampu lalu-lintas di pertigaan atau perempatan lain, lampu lalu lintas di pertigaan itu jarang sekali dipatuhi oleh pengguna jalan, terutama oleh pengendara angkot dan sepeda motor. Sign merah, kuning, hijau, tak ada bedanya. Kendaraan selalu menerobos dan saling berebut masuk dan tidak mau mengalah.. Kadang terjadi crowded yang parah di sana karena perilaku tidak disiplin pengguna jalan.

Seperti kejadian saat itu. Ketika saya akan lewat di pertigaan itu, kondisi sangat semrawut. Pejalan kaki menyebrang jalan sembarangan. Angkot, berebut penumpang di sekitar pertigaan. Kadang saat menaikkan maupun menurunkan penumpang si supir angkot tanpa merasa bersalah berhenti seenaknya saat posisi angkotnya masih di tengah badan jalan . Ada juga pengendara motor yang berkendara berlawanan arah. Barangkali dengan alasan tanggung mau menyeberang, jadi mereka berkendara dilajur jalan sebelah kanan.. Sebuah mobil, dengan nomor polisi luar Sumatera Barat, tiba-tiba berhenti, karena saat itu lampu lalu lintas memang sedang merah. Agaknya mobil itu bermaksud mematuhi sign harus berhenti itu. Beberapa mobil yang berada di belakangnya kemudian terus-terusan menglakson. Namun, mobil itu tetap tak bergerak. Merasa terhalang untuk terus jalan, mobil-mobil itu terus membunyikan klakson dengan irama nada tidak sabar, meminta mobil yang berhenti itu untuk jalan.

Kesal dengan suara klakson yang memekakkan, pengendara mobil yang berhenti itu keluar dari mobilnya. Perawakannya memang ideal. Berumur sekitar 40-an. Ia membanting pintu mobilnya, kemudian berjalan ke arah mobil-mobil yang terus-terusan menglakson tadi. Saya berada disamping mobil-mobi itu. Sejenak setelah itu, dengan marah ia memuntahkan umpatan dalam Bahasa Indonesia, "kalian tidak lihat lampu lagi merah!?", "apa kalian tidak tahu tatakrama di jalan raya!?", "dasar tak berbudaya!? kemudian ia kitari para pengendara disekitar itu dengan tatapan mata kesal. Ia tunggu reaksi orang-orang itu. Tapi tidak ada yang bereaksi. Semua diam, termasuk saya. Sign hijau sudah nyala. Jalanan jadi macet. Karena tidak terlihat ada yang bereaksi, ia kembali masuk ke mobilnya, dan berlalu.

Entah apa yang ada di benak orang-orang (termasuk saya) yang dimaki-maki itu. Entah merasa lucu, karena menganggap aneh ada orang yang marah-marah karena persoalan sepele yang setiap saat memang terjadi dipertigaan itu? Atau kesal dalam hati karena sudah dimaki-maki tapi tidak berani "melawan", karena khawatir kalau-kalau yang memaki itu "urang bagak"? Atau memang sama sekali masa bodoh? Entahlah.. Yang pasti saya kesal juga termasuk yang dituding tidak berbudaya! Karena saya memang tak hendak ikut-ikutan mau menerobos lampu merah saat itu. Dan saya juga tidak ikut-ikutan menglakson.

Begitulah. Keesokan harinya, saya menceritakan pengalaman itu kepada teman-teman dikantor. Salah seorang teman menimpali, " betul itu, seumur-umur saya mengemudi, baru disinilah saya sering ngedumel saat nyetir karena perilaku pengendara-pengendara lain di jalan raya yang bikin kesal". Busyet.... Apa betul sudah terlalu "barbar" jalan raya di Kota kita ini??