Kamis, 02 Juli 2009

Profesi dan Hati Nurani

Barangkali banyak profesi yang dalam pelaksanaannya harus bertentangan dengan hati nurani si pemilik profesi. Contohnya, personil Satpol PP barangkali sebenaranya banyak yang mengalami pertentangan batin saat harus mengusir atau menggusur para pedagang kaki lima, sebab tak tega rasanya melihat orang-orang kecil itu tak bisa mengais rejeki sekedar untuk bertahan hidup. Tapi di sisi lain, tugas adalah tugas, tetap harus dilaksanakan. Contoh lain: Polisi Kehutanan yang terus menerus harus konflik dengan masyarakat yang masuk dan melakukan aktivitas ekonomi, seperti berladang, dalam kawasan hutan. Di satu sisi tuntutan tugas mengharuskan para jagawana itu untuk bertindak tegas. Tapi disisi lain, nurani mereka tak tega. Sebab, sama seperti kasus Satpol PP, masyarakat yang mengokupasi kawasan hutan negarapun juga cuma karena desakan ekonomi yang harus dipenuhi. Bahkan kadang hanya untuk sekedar dapat makan agar bisa bertahan hidup.

Nah, anda tahu konflik batin apa yang terjadi pada seseorang yang berprofesi sebagai kameramen?? Saya juga baru tahu. Kemaren, saya melaksanakan tugas lapangan bersama 2 orang teman. Bersama kami, juga ikut serta seorang kameramen salah satu stasiun TV. Kami hendak meliput pelaksanaan kegiatan penghijauan lingkungan di salah satu Kabupaten. Dalam perjalanan ke lokasi, sang kameramen bercerita, bahwa jadi kameramen itu sebenarnya butuh insting yang tajam. Juga butuh mental yang kuat dan tidak gampang panik. Selain itu, ini yang sulit katanya, butuh sedikit rasa tega atau pengabaian hati nurani.

Insting yang tajam dibutuhkan untuk memburu gambar-gambar yang bagus dan bernilai berita, bahkan kalau perlu sensasional. Mental yang kuat dan tak gampang panik diperlukan agar si kameramen selalu sigap mengaktifkan kameranya saat berhadapan atau mengalami momen-momen genting atau bahkan membahayakan diri mereka sendiri. Menurut sang kameramen, seorang kameramen pemula banyak yang belum memiliki ini. Misal, saat terjadi gempa dan mereka sedang berada di tengah pasar. Para kameramen pemula biasanya akan ikut panik dan lupa dengan kameranya. Mereka akan berteriak; Gempa!! Gempa!! terus berusaha menyelamatkan diri. Sedangkan kameramen berpengalaman, yang sudah kental mental kameramennya, dalam situasi itu akan langsung menyalakan kameranya untuk merekam gambar situasi kepanikan yang terjadi di pasar itu. Sebab, kejadian buruk adalah gambar yang bagus jika berhasil direkam oleh kamera.

Sedangkan rasa tega atau pengabaian hati nurani kadang terjadi saat si kameramen kebetulan menyaksikan situasi seperti bencana, kerusuhan, dan sejenisnya. Dalam suatu kejadian bencana banjir, misalnya. Ketika seorang kameramen melihat ada seorang korban bencana yang hanyut di arus deras banjir, maka sang kameramen akan segera merekam kejadian itu dengan kameranya, bukan menolong si korban.. Aduh, kesannya raja tega ya? Nah, disitulah sering terjadi konflik antara profesi dengan hati nurani seorang kameramen..

Terakhir, anda tau moto seorang kameramen dalam menjalankan tugas? Begini motonya: ANDA BOLEH MENINGGAL SAAT MELIPUT SUATU KEJADIAN, TAPI ANDA HARUS MENINGGALKAN GAMBAR YANG BAGUS.. Hmmm... pantas ada kameramen yang mati-matian menyelamatkan kamera mereka meskipun nyawa taruhannya..

Bagaimana dengan Anda?? Adakah konflik batin dalam pelaksanaan profesi Anda??

Tidak ada komentar: