Kawan, sebenarnya sudah sejak lama aku ingin menuliskan ini. Tapi aku selalu terkendala kesempatan. Namun, hari-hari belakangan ini aku merasakan dorongan yang semakin kuat untuk menulisnya. Maka, aku sempatkan diri menulis ini, kawan. Tulisan yang kurasa akan sangat bermanfaat bagi diriku sendiri tentu saja.
Kawan, kita dulu teman sebangku ketika kelas 1 SMA. Ketika itu aku merasa kau sosok pribadi biasa. Ya, seperti diriku juga. Tak ada yang istimewa pada diri kita. Namun, Aku merasa banyak kecocokan antara kita. Barangkali karena kita berasal dari SMP yang sama. Rumah kita juga berjarak tak terlalu jauh di Siteba sana. Dan yang paling membuat ku nyaman sebangku denganmu, karena, seperti halnya diriku, kau juga berasal dari keluarga yang sangat bersahaja. Memang ini keterbatasan ku, dari dulu memang cuma bisa berteman dengan orang-orang yang sederhana dan bersahaja. Seperti dirimu, kawan..
Masa-masa kita di kelas satu itu, tak banyak hal istimewa yang kita alami. Tiap hari kita hadir ke sekolah dan belajar. Terkadang, sering juga kita mengeluh soal tidak betah belajar mata pelajaran tertentu. Tapi dalam hal ini kita berbeda, kawan. Diriku tak betah belajar beberapa mata pelajaran tertentu memang karena keterbatasan intelejensi ku. Sedangkan kau, kawan, potensi kecerdasan terlihat jelas ada padamu. Kau cuma tidak fokus saja. Pernah pada beberapa kesempatan kau serius menyimak materi pelajaran yang diajarkan guru. Dan, hasilnya kau memang bisa dengan cepat dan sangat-sangat baik memahami pelajaran-pelajaran itu.
Di luar urusan pelajaran, sebagaimana kebanyakan remaja baru baligh, sesekali kita juga terlibat obrolan tentang teman-teman cewek sekelas kita yang memang cantik-cantik. Ya, sekedar obrolan memang, kawan. Tak ada keberanian pada diri kita untuk berbuat "lebih" pada mereka. Kita cowok tak "masuk hitungan" untuk urusan cewek memang. Jam istrirahat pelajaranpun sering kita isi dengan cuma ngobrol, karena selalu tak cukup uang saku kita untuk berkunjung atau nongkrong di kantin sekolah. Satu lagi kesamaan kita, sering lalai Sholat Ashar saat jam istirahat itu.
Demikianlah kawan, cuma setahun kita bersama. Meskipun naik kelas dan sama-sama (cuma) berhak duduk dijurusan sosial, tapi kita terpisah kelas. Sejak itu aku tak terlalu intens lagi bergaul denganmu. Di kelas kita masing-masing, kita mulai lagi kehidupan pertemanan dengan teman-taman baru.
Namun, aku masih sempat mencermati transformasi yang terjadi pada batinmu, kawan. Saat kelas satu, aku sangat-sangat hafal bahwa kau bukan termasuk orang yang religius, sekali lagi sama dengan diriku. Meskipun aku sering juga pergoki, kau tertegun ketika mendengar lafaz suara Azan atau kumandang ayat-ayat Al Quran yang berasal dari corong mesjid di sekitar sekolah kita. Tapi tak lebih dari itu. Ketika itu, Kau belum memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi seorang yang agamis. Nah, dikelas dualah aku mulai melihat transformasi itu.
Dimulai saat Kau jadi pemenang lomba azan antar kelas dalam rangka class meeting, ajang berbagai lomba mengisi masa pasca ujian dan menunggu saat pembagian rapor. Kemenangan mu itu sedikit membuatku heran. Sejak kapan kau bisa azan? Bukankah kau dan aku dulu tak terlalu peduli agama? Bukankah dulu kita sama-sama sering lalai Shalat Ashar? Sekarang, tiba-tiba kau telah menjadi juara lomba azan tingkat sekolah. Entahlah. Tapi ya demikianlah. Sejak saat itu, agaknya kau mulai sangat tertarik mendalami ilmu agama. Secara perlahan aku juga rasakan perubahan dalam sikap dan pembawaanmu. Kau terasa lebih santun dan tenang. Singkatnya, hanya sampai disitu aku sempat memperhatikanmu, kawan. Setelah itu, kita sibuk dengan kehidupan kita masing-masing hingga kita akhirnya lulus dari SMA itu.
Kawan, pertemuan kita selanjutnya selang 13 tahun selepas kita lulus SMA. Sangat lama memang. Tahun 2007 awal, kalau aku tidak salah mengingat. Dalam rentang waktu itu kita tak saling berkunjung memang. Juga tidak saling berbagi kabar berita, karena tidak ada sarana yang bisa kita manfaatkan untuk itu.
Aku hanya sempat mendengar kabar bahwa kau bekerja di Riau sebagai tenaga pengemudi mobil box (kampas). Sedangkan aku, juga diombang ambing oleh samudra nasib hingga bisa mengecap bangku perguruan tinggi, menjadi sarjana, dan akhirnya berkerja sebagai pegawai negeri.
Pada suatu siang awal 2007 itulah akhirnya kita bertemu. Di Bandara Tabing. Kau menyapa aku yang saat itu baru saja keluar dari ruang kedatangan dalam negeri. Kita berjabatan tangan. Kuamati dirimu. Kau tetap bersahaja, kawan. Hanya saja sekarang, sangat nyata kurasakan kesejukan dan keteduhan di wajahmu, di senyummu, di tutur katamu. Tanpa perlu bertanya, aku bisa simpulkan, kau sedang berdagang di bandara itu. Kau menawarkan perlengkapan muslim pada para pengunjung bandara secara asongan. Kuamati tas yang kau sandang, penuh dengan barang dagangan.
Kau terlihat senang bertemu lagi dengan ku. Erat dan hangat jabat tanganmu ku rasa. Jujur, sebenarnya aku sedikit kikuk untuk bersikap padamu saat itu. Barangkali karena rentang waktu yang terlalu lama tidak mempertemukan kita itu penyebabnya. Aku bingung mau bicara apa. Tapi kau tidak, kawan. Seolah tahu dengan kekakuanku itu, kau sangat cair dan akrab. Suara lirihmu yang bersahabat itu membuatku akhirnya juga bisa (kembali) cair.
Kita ngobrol tentang banyak hal. Masa lalu tak lupa kita ungkit sekedar pemancing derai tawa. Tapi tawamu selalu terjaga, kawan. Tak pernah berlebihan. Kemudian kita saling bertanya soal keluarga. Kau bertanya, sudah berapa orang anakku sekarang? Ku jawab, baru satu. Kau tersenyum, kemudian dengan nada riang kau timpali, “aku lebih kaya, anakku sudah dua”. Kawan, aku tahu, ucapanmu itu hanya bercanda. Aku juga tak cukup naif sehingga tidak paham bahwa candamu itu berasal dari hati yang putih bersih. Tapi itulah manusia, hati nya yang terdiri dari darah dan daging itu sangat mudah disusupi oleh hasutan setan. Begitu pula aku. Hampir saja setan berhasil memperdaya hatiku untuk berkata sombong padamu. Membalas ucapan bercanda mu tadi dengan sebuah kesombongan yang bukan bercanda.
Hampir saja aku menyakiti hatimu dengan cerita soal aku yang sarjana, yang telah menjadi pegawai negeri, yang saat ini baru saja pulang dari menyelesaikan studi S2 atas biaya pemerintah. Walau saat ini aku sadar bahwa saat itu kau tak akan mungkin merasa iri atau tersakiti oleh bentuk kesombongan apapun dari ku, tapi aku malu pernah hampir terperdaya oleh bisikan setan untuk melontarakan kesombongan seperti itu dihadapan mu, kawan. Kini aku sangat bersyukur, karena kesombongan murahan itu akhirnya memang tidak pernah terlontar dari mulutku.
Demikianlah, kawan. Setelah pertemuan agak tergesa-gesa di Bandara itu, kita kembali tak pernah bertemu. Hingga suatu hari, terjadilah momen yang membuat aku jadi begitu sering teringat padamu dan akhirnya mendorong aku bertutur melalui tulisan ini.
Kira-kira dua bulan yang lalu, saat aku mengantar anakku berobat ke puskesmas Siteba, aku bertemu dengan seorang teman kita, yang juga tetangga rumah orang tuamu. Aku bertanya pada dia tentangmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang mu, kawan. Dan cerita nya tentang dirimu memberi banyak sekali pelajaran pada batin ku yang selalu gundah ini.
Begini ceritanya pada ku, kawan.
Memang semenjak pertengahan masa SMA itu, kau seolah dapat hidayah dan mulai mendekatkan diri ke agama. Kau aktif di mesjid di daerah tempat tinggalmu. Itulah rupanya jawaban atas keherananku kenapa kau tiba-tiba jadi juara lomba azan di sekolah ketika itu.
Selepas SMA kau sempat bekerja macam-macam. Dan salah satunya, seperti yang pernah kudengar, kau bekerja sebagai pengemudi armada mobil kampas di Pekan Baru. Dalam masa bekerja ini kau mengalami sebuah kejadian yang sangat mengerikan. Aku sendiri jika mengalami pengalaman seperti itu, tak yakin lagi masih mampu menjalani sisa hidup secara normal.
Mobil kampas yang kau kemudikan dengan ditemani oleh seorang rekan, dicegat kawanan perampok bersenjata di sebuah daerah di Riau sana. Setelah menghentikan mobil, mereka berusaha merebut uang hasil transaksi kalian hari itu. Rekan mu berusaha mempertahankan uang itu. Malang nasib rekanmu itu, salah seorang perampok kalap, ia menembak rekanmu dari jarak dekat, tepat dikepala. Tak ayal, rekanmu meregang nyawa, dan akhirnya meninggal dalam pelukanmu yang juga shock dan ketakutan. Isi kepalanya berantakan di pangkuanmu. Kawan, sungguh pengalaman yang aku saja tak berani membayangkannya terjadi pada diriku..
Setelah kejadian itu, kau pulang ke Padang. Pengalaman traumatik itu tak membuatmu hancur. Pengalaman itu malah hanya makin mendekatkan dirimu pada Nya. Kau merasa, selamat dari kejadian itu merupakan anugrah dari Nya yang tujuannya tak lain memberimu kesempatan untuk lebih bertawakal pada Nya. Kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama Nya.
Di Padang, kau kembali bekerja apa saja untuk mencari nafkah di samudra rizkiNya yang maha luas. Hanya saja, kau tidak lagi merasa bahwa kehidupan dunia ini terlalu penting sehingga kegiatan mencari rizki itu bisa mengalahkan kewajibanmu untuk mengingat dan beribadah pada Rabb mu. Bahkan setelah menikah dan dikaruniai anak sekalipun cintamu pada Nya tak terkalahkan.
Pernah suatu ketika, saat itu kau bekerja sebagai pengemudi angkot. Sang majikan pemilik angkot berpesan padamu bahwa hanya kau yang boleh mengemudikan angkot itu. Jangan dipindahtangankan pada teman atau siapapun. Kau jalanilah pekerjaan sebagai supir angkot. Hari demi hari, setoranmu seringkali kurang. Sang majikan agak kecewa karenanya. Namun, ia tidak serta merta ingin memecatmu. Ia ingin menyelidiki dulu apa sebabnya setoranmu sering kurang. Suatu hari, istri sang majikan, yang kau sendiri tidak tahu kalau itu istri majikanmu, sengaja naik sebagai penumpang angkot yang kau kemudikan. Ia ingin tahu bagaimana sebenarnya kinerjamu sebagai seorang supir angkot.
Angkotmu sedang meluncur di jalan raya ketika azan Zuhur berkumandang. Ada 2 orang penumpang tersisa ketika itu, salah seorangnya istri sang majikan. Kau langsung meminggirkan angkotmu dan berhenti. Salah seorang penumpang bertanya, “kenapa berhenti? Tidak ada yang mau naik, dan kami juga tidak ada yang mau turun di sini. Dengan sopan kau jawab, “maaf Ibu-Ibu.. silahkan pindah saja ke angkot yang lain, tidak usah dibayar ongkosnya…saya mau Sholat dulu.
Malam harinya, ketika mengantar setoran, sang majikan menahan mu untuk tidak segera pulang, kemudian mengajakmu ngobrol. Sang majikan menceritakan pengalaman istrinya naik angkotmu siang tadi. “Pantas setoranmu sering kurang” waktu narikmu jauh lebih sedikit dibanding supir-supir lain. Istriku bilang, Sholat Zuhur tadi saja, hampir satu jam kau di mesjid. Belum lagi Shalat Ashar dan Magrib..” Majikanmu terlihat bimbang bersikap. Kemudian ia melanjutkan, “kalau kau akan lama di mesjid, kenapa kau tidak suruh aja temanmu menggantikan narik? Kan sayang angkot nganggur aja parkir di mesjid selama itu..” Kau menjawab, “Saya tidak berani melanggar pesan Bapak dulu. Bapak bilang angkot tidak boleh diserahkan ke orang lain, hanya saya yang boleh mengemudikannya..”
Majikanmu balik menjadi terharu. Sekarang menjadi dilematis baginya. Di satu sisi dia kagum, ternyata kau orang yang jujur dan amanah. Sulit sebenarnya menemukan pengemudi angkot yang jujur dan amanah. Tapi di sisi lain, dia juga ingin angkotnya memberikan penghasilan sebanyak mungkin. Akhirnya, karena kau teguh pada pendirianmu untuk tetap narik dengan cara seperti itu, menomor satukan panggilan sholat, majikanmupun tak punya pilihan lain, dan dengan berat hati terpaksa menggantimu dengan supir yang lain. Kaupun berlapang dada.. padahal kau baru saja kehilangan mata pencaharian, sumber nafkah anak istrimu, kawan.. tapi kau lebih cinta Rabb Mu..
Menunggu kedatangan dokter di puskesmas ternyata lumayan lama. Teman kita melanjutkan ceritanya.
Kawan, bagimu ladang untuk mencari nafkah yang halal sangatlah luas. Yang penting adalah keyakinan bahwa Rizki dariNya sangat berlimpah untuk menghidupi seluruh isi bumiNya ini. Karena itu, yang diperlukan hanyalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Kau buktikan itu kawan, berbagi profesi kau jalani dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas. Termasuk berdagang pernak-pernik muslim secara asongan, seperti yang aku lihat ketika kita bertemu di Bandara dulu..Aku salut sekaligus bangga padamu, kawan.
Ditengah kesederhaan mu itu, ditengah beratnya ikhtiar mu untuk mencukupi nafkah diri dan keluargamu, kau juga tidak pernah lupa berbakti pada orang tuamu. Kau selalu kunjungi mereka. Dan setiap mengunjungi mereka, kau selalu menyisihkan sebahagian penghasilan mu untuk menyantuni mereka. Meskipun sangat pasti, mereka tidak pernah meminta atau membebanimu untuk melakukan itu. Tapi itulah wujud cinta kasih dan pengabdianmu untuk membalas jasa-jasa mereka.
Ketika pecah perang Israel dengan Fraksi Hamas Palestina, hatimu pun terpanggil. Kau ingin berangkat ke medan jihad di salah satu kota suci umat Islam itu. Kau datangi berbagai ormas dan lembaga yang sekiranya bisa mengirimmu ke sana sebagai relawan. Tekadmu telah bulat, berangkat jihad. Niatmu untuk membela saudara sesama muslim begitu kental. Andaipun pemikiran maupun tenagamu tidak akan berguna di medan pertempuran sedahsyat itu, setidaknya kau merasa bisa berguna sebagai dorongan moral bagi pejuang muslim Palestina, karena setidaknya mereka merasa muslim sedunia peduli dengan mereka. Demikian kuatnya tekatmu.
Kemungkinan terburuk akan terbunuh di sana, justru kemungkinan terbaik bagimu, gugur sebagai syuhada dan berpulang menghadap kepadaNya dengan " muka tengadah".
Begitu yakinnya kau akan janji syurga bagi para syuhada. Tangis istri dan rengek kedua anakmu yang memohon kau untuk tidak jadi berangkatpun tak mampu sedikitpun mengurangi tekadmu untuk berangkat dan siap syahid di sana. Istrimu mungkin tidak se Kaffah dirimu. Dia masih ingin didampingi olehmu. Dia masih ingin anak-anakmu tumbuh dalam asuh dan bimbinganmu. Kaupun tak mampu meyakinkan istrimu, bahwa andai kau memang akan gugur disana, Sang Maha Besar tidak akan menyia-nyiakan janda dan anak yatim dari seorang syuhada. Sang maha Pelindung dan Maha Pemurah akan menjaga dan mencukupi keluarga yang kau tinggal. Begitu keyakinanmu. Namun, sisi manusiawi istrimu sebagai seorang perempuan dan seorang ibu tetap tidak bisa memaklumi itu. Namun, sekali lagi, kau memang lebih cinta pada Tuhanmu. Kau bersikukuh. Istrimu akhirnya putus asa dan mendatangi ibumu. Memohon sang Ibu untuk melunakkan hatimu agar tak jadi berangkat. Kawan, akhirnya hanya air mata ibumulah yang bisa mencairkan hatimu.. Itupun tak lebih karena kau tidak ingin mencemari ke-kaffah-an mu dalam beragama dengan membuat ibumu menangis dan kecewa.. Oh kawan…
Kawan, sampai di situ teman kita bercerita tentangmu. Aku harus segera pulang karena anakku telah selesai berobat. Dalam perjalanan pulang aku terdiam. Aku baru saja mendengar cerita tentangmu. Cerita yang sama sekali diluar apa yang terpikirkan olehku. Cerita yang mengaduk-aduk nuraniku.
Hari-hari berikutnya, cerita tentang dirimu itu selalu jadi bahan renunganku. Setiap malam ketika hendak tidur aku tidak pernah bisa mengelak dari pikiran tentangmu. Tentang pribadi dan kehidupanmu yang luar biasa..
Kini aku merasa begitu kerdil jika dibandingkan dengan dirimu. Kau mampu mentransformasi hidupmu untuk memperoleh ridhaNya. Dibalik tubuhmu yang terlihat ringkih, ada jiwa yang begitu mulia dan ikhlas. Jiwa yang menjalani kehidupan dunia tanpa mengeluh dan selalu ingat bahwa dunia bukan tujuan.
Sedangkan, lihatlah diriku kawan. Aku belum mampu untuk seujung kuku saja menjadi sepertimu. Aku masih terlalu mencintai kehidupan fana ini. Aku masih terlalu asik membangun kemegahanku di dunia ini. Sesuatu yang sebenarnya sering membuatku lalai dari mengingatNya. Aku masih saja suka bermain-main menyerempet laranganNya. Aku kadang tak mampu memastikan bahwa nafkah yang ku peroleh benar-benar diperoleh dengan cara-cara yang di ridhai-Nya. Dibalik kelapangan dan kemudahan yang diberikanNya kepada ku, sering aku masih merasa kurang. Jangankan untuk berjihad, aku bahkan terlalu sering berpikir panjang untuk sekedar menafkahkan rizki di jalanNya. Ketika akan menyisihkan sedikit penghasilanku untuk kedua orang tuaku, aku masih terlalu gampang digoda setan dengan bisikan bahwa anak istriku lebih membutuhkannya.. Kawan, cerita tentangmu telah “menampar” batinku.
Sekarang, aku tidak tahu kau dimana. Aku rindu padamu kawan. Aku ingin bertemu lagi denganmu. Merangkul hangat dirimu. Berharap kau tularkan aku kemuliaan itu..
Kawan, kita dulu teman sebangku ketika kelas 1 SMA. Ketika itu aku merasa kau sosok pribadi biasa. Ya, seperti diriku juga. Tak ada yang istimewa pada diri kita. Namun, Aku merasa banyak kecocokan antara kita. Barangkali karena kita berasal dari SMP yang sama. Rumah kita juga berjarak tak terlalu jauh di Siteba sana. Dan yang paling membuat ku nyaman sebangku denganmu, karena, seperti halnya diriku, kau juga berasal dari keluarga yang sangat bersahaja. Memang ini keterbatasan ku, dari dulu memang cuma bisa berteman dengan orang-orang yang sederhana dan bersahaja. Seperti dirimu, kawan..
Masa-masa kita di kelas satu itu, tak banyak hal istimewa yang kita alami. Tiap hari kita hadir ke sekolah dan belajar. Terkadang, sering juga kita mengeluh soal tidak betah belajar mata pelajaran tertentu. Tapi dalam hal ini kita berbeda, kawan. Diriku tak betah belajar beberapa mata pelajaran tertentu memang karena keterbatasan intelejensi ku. Sedangkan kau, kawan, potensi kecerdasan terlihat jelas ada padamu. Kau cuma tidak fokus saja. Pernah pada beberapa kesempatan kau serius menyimak materi pelajaran yang diajarkan guru. Dan, hasilnya kau memang bisa dengan cepat dan sangat-sangat baik memahami pelajaran-pelajaran itu.
Di luar urusan pelajaran, sebagaimana kebanyakan remaja baru baligh, sesekali kita juga terlibat obrolan tentang teman-teman cewek sekelas kita yang memang cantik-cantik. Ya, sekedar obrolan memang, kawan. Tak ada keberanian pada diri kita untuk berbuat "lebih" pada mereka. Kita cowok tak "masuk hitungan" untuk urusan cewek memang. Jam istrirahat pelajaranpun sering kita isi dengan cuma ngobrol, karena selalu tak cukup uang saku kita untuk berkunjung atau nongkrong di kantin sekolah. Satu lagi kesamaan kita, sering lalai Sholat Ashar saat jam istirahat itu.
Demikianlah kawan, cuma setahun kita bersama. Meskipun naik kelas dan sama-sama (cuma) berhak duduk dijurusan sosial, tapi kita terpisah kelas. Sejak itu aku tak terlalu intens lagi bergaul denganmu. Di kelas kita masing-masing, kita mulai lagi kehidupan pertemanan dengan teman-taman baru.
Namun, aku masih sempat mencermati transformasi yang terjadi pada batinmu, kawan. Saat kelas satu, aku sangat-sangat hafal bahwa kau bukan termasuk orang yang religius, sekali lagi sama dengan diriku. Meskipun aku sering juga pergoki, kau tertegun ketika mendengar lafaz suara Azan atau kumandang ayat-ayat Al Quran yang berasal dari corong mesjid di sekitar sekolah kita. Tapi tak lebih dari itu. Ketika itu, Kau belum memperlihatkan tanda-tanda akan menjadi seorang yang agamis. Nah, dikelas dualah aku mulai melihat transformasi itu.
Dimulai saat Kau jadi pemenang lomba azan antar kelas dalam rangka class meeting, ajang berbagai lomba mengisi masa pasca ujian dan menunggu saat pembagian rapor. Kemenangan mu itu sedikit membuatku heran. Sejak kapan kau bisa azan? Bukankah kau dan aku dulu tak terlalu peduli agama? Bukankah dulu kita sama-sama sering lalai Shalat Ashar? Sekarang, tiba-tiba kau telah menjadi juara lomba azan tingkat sekolah. Entahlah. Tapi ya demikianlah. Sejak saat itu, agaknya kau mulai sangat tertarik mendalami ilmu agama. Secara perlahan aku juga rasakan perubahan dalam sikap dan pembawaanmu. Kau terasa lebih santun dan tenang. Singkatnya, hanya sampai disitu aku sempat memperhatikanmu, kawan. Setelah itu, kita sibuk dengan kehidupan kita masing-masing hingga kita akhirnya lulus dari SMA itu.
Kawan, pertemuan kita selanjutnya selang 13 tahun selepas kita lulus SMA. Sangat lama memang. Tahun 2007 awal, kalau aku tidak salah mengingat. Dalam rentang waktu itu kita tak saling berkunjung memang. Juga tidak saling berbagi kabar berita, karena tidak ada sarana yang bisa kita manfaatkan untuk itu.
Aku hanya sempat mendengar kabar bahwa kau bekerja di Riau sebagai tenaga pengemudi mobil box (kampas). Sedangkan aku, juga diombang ambing oleh samudra nasib hingga bisa mengecap bangku perguruan tinggi, menjadi sarjana, dan akhirnya berkerja sebagai pegawai negeri.
Pada suatu siang awal 2007 itulah akhirnya kita bertemu. Di Bandara Tabing. Kau menyapa aku yang saat itu baru saja keluar dari ruang kedatangan dalam negeri. Kita berjabatan tangan. Kuamati dirimu. Kau tetap bersahaja, kawan. Hanya saja sekarang, sangat nyata kurasakan kesejukan dan keteduhan di wajahmu, di senyummu, di tutur katamu. Tanpa perlu bertanya, aku bisa simpulkan, kau sedang berdagang di bandara itu. Kau menawarkan perlengkapan muslim pada para pengunjung bandara secara asongan. Kuamati tas yang kau sandang, penuh dengan barang dagangan.
Kau terlihat senang bertemu lagi dengan ku. Erat dan hangat jabat tanganmu ku rasa. Jujur, sebenarnya aku sedikit kikuk untuk bersikap padamu saat itu. Barangkali karena rentang waktu yang terlalu lama tidak mempertemukan kita itu penyebabnya. Aku bingung mau bicara apa. Tapi kau tidak, kawan. Seolah tahu dengan kekakuanku itu, kau sangat cair dan akrab. Suara lirihmu yang bersahabat itu membuatku akhirnya juga bisa (kembali) cair.
Kita ngobrol tentang banyak hal. Masa lalu tak lupa kita ungkit sekedar pemancing derai tawa. Tapi tawamu selalu terjaga, kawan. Tak pernah berlebihan. Kemudian kita saling bertanya soal keluarga. Kau bertanya, sudah berapa orang anakku sekarang? Ku jawab, baru satu. Kau tersenyum, kemudian dengan nada riang kau timpali, “aku lebih kaya, anakku sudah dua”. Kawan, aku tahu, ucapanmu itu hanya bercanda. Aku juga tak cukup naif sehingga tidak paham bahwa candamu itu berasal dari hati yang putih bersih. Tapi itulah manusia, hati nya yang terdiri dari darah dan daging itu sangat mudah disusupi oleh hasutan setan. Begitu pula aku. Hampir saja setan berhasil memperdaya hatiku untuk berkata sombong padamu. Membalas ucapan bercanda mu tadi dengan sebuah kesombongan yang bukan bercanda.
Hampir saja aku menyakiti hatimu dengan cerita soal aku yang sarjana, yang telah menjadi pegawai negeri, yang saat ini baru saja pulang dari menyelesaikan studi S2 atas biaya pemerintah. Walau saat ini aku sadar bahwa saat itu kau tak akan mungkin merasa iri atau tersakiti oleh bentuk kesombongan apapun dari ku, tapi aku malu pernah hampir terperdaya oleh bisikan setan untuk melontarakan kesombongan seperti itu dihadapan mu, kawan. Kini aku sangat bersyukur, karena kesombongan murahan itu akhirnya memang tidak pernah terlontar dari mulutku.
Demikianlah, kawan. Setelah pertemuan agak tergesa-gesa di Bandara itu, kita kembali tak pernah bertemu. Hingga suatu hari, terjadilah momen yang membuat aku jadi begitu sering teringat padamu dan akhirnya mendorong aku bertutur melalui tulisan ini.
Kira-kira dua bulan yang lalu, saat aku mengantar anakku berobat ke puskesmas Siteba, aku bertemu dengan seorang teman kita, yang juga tetangga rumah orang tuamu. Aku bertanya pada dia tentangmu. Aku ingin tahu lebih banyak tentang mu, kawan. Dan cerita nya tentang dirimu memberi banyak sekali pelajaran pada batin ku yang selalu gundah ini.
Begini ceritanya pada ku, kawan.
Memang semenjak pertengahan masa SMA itu, kau seolah dapat hidayah dan mulai mendekatkan diri ke agama. Kau aktif di mesjid di daerah tempat tinggalmu. Itulah rupanya jawaban atas keherananku kenapa kau tiba-tiba jadi juara lomba azan di sekolah ketika itu.
Selepas SMA kau sempat bekerja macam-macam. Dan salah satunya, seperti yang pernah kudengar, kau bekerja sebagai pengemudi armada mobil kampas di Pekan Baru. Dalam masa bekerja ini kau mengalami sebuah kejadian yang sangat mengerikan. Aku sendiri jika mengalami pengalaman seperti itu, tak yakin lagi masih mampu menjalani sisa hidup secara normal.
Mobil kampas yang kau kemudikan dengan ditemani oleh seorang rekan, dicegat kawanan perampok bersenjata di sebuah daerah di Riau sana. Setelah menghentikan mobil, mereka berusaha merebut uang hasil transaksi kalian hari itu. Rekan mu berusaha mempertahankan uang itu. Malang nasib rekanmu itu, salah seorang perampok kalap, ia menembak rekanmu dari jarak dekat, tepat dikepala. Tak ayal, rekanmu meregang nyawa, dan akhirnya meninggal dalam pelukanmu yang juga shock dan ketakutan. Isi kepalanya berantakan di pangkuanmu. Kawan, sungguh pengalaman yang aku saja tak berani membayangkannya terjadi pada diriku..
Setelah kejadian itu, kau pulang ke Padang. Pengalaman traumatik itu tak membuatmu hancur. Pengalaman itu malah hanya makin mendekatkan dirimu pada Nya. Kau merasa, selamat dari kejadian itu merupakan anugrah dari Nya yang tujuannya tak lain memberimu kesempatan untuk lebih bertawakal pada Nya. Kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama Nya.
Di Padang, kau kembali bekerja apa saja untuk mencari nafkah di samudra rizkiNya yang maha luas. Hanya saja, kau tidak lagi merasa bahwa kehidupan dunia ini terlalu penting sehingga kegiatan mencari rizki itu bisa mengalahkan kewajibanmu untuk mengingat dan beribadah pada Rabb mu. Bahkan setelah menikah dan dikaruniai anak sekalipun cintamu pada Nya tak terkalahkan.
Pernah suatu ketika, saat itu kau bekerja sebagai pengemudi angkot. Sang majikan pemilik angkot berpesan padamu bahwa hanya kau yang boleh mengemudikan angkot itu. Jangan dipindahtangankan pada teman atau siapapun. Kau jalanilah pekerjaan sebagai supir angkot. Hari demi hari, setoranmu seringkali kurang. Sang majikan agak kecewa karenanya. Namun, ia tidak serta merta ingin memecatmu. Ia ingin menyelidiki dulu apa sebabnya setoranmu sering kurang. Suatu hari, istri sang majikan, yang kau sendiri tidak tahu kalau itu istri majikanmu, sengaja naik sebagai penumpang angkot yang kau kemudikan. Ia ingin tahu bagaimana sebenarnya kinerjamu sebagai seorang supir angkot.
Angkotmu sedang meluncur di jalan raya ketika azan Zuhur berkumandang. Ada 2 orang penumpang tersisa ketika itu, salah seorangnya istri sang majikan. Kau langsung meminggirkan angkotmu dan berhenti. Salah seorang penumpang bertanya, “kenapa berhenti? Tidak ada yang mau naik, dan kami juga tidak ada yang mau turun di sini. Dengan sopan kau jawab, “maaf Ibu-Ibu.. silahkan pindah saja ke angkot yang lain, tidak usah dibayar ongkosnya…saya mau Sholat dulu.
Malam harinya, ketika mengantar setoran, sang majikan menahan mu untuk tidak segera pulang, kemudian mengajakmu ngobrol. Sang majikan menceritakan pengalaman istrinya naik angkotmu siang tadi. “Pantas setoranmu sering kurang” waktu narikmu jauh lebih sedikit dibanding supir-supir lain. Istriku bilang, Sholat Zuhur tadi saja, hampir satu jam kau di mesjid. Belum lagi Shalat Ashar dan Magrib..” Majikanmu terlihat bimbang bersikap. Kemudian ia melanjutkan, “kalau kau akan lama di mesjid, kenapa kau tidak suruh aja temanmu menggantikan narik? Kan sayang angkot nganggur aja parkir di mesjid selama itu..” Kau menjawab, “Saya tidak berani melanggar pesan Bapak dulu. Bapak bilang angkot tidak boleh diserahkan ke orang lain, hanya saya yang boleh mengemudikannya..”
Majikanmu balik menjadi terharu. Sekarang menjadi dilematis baginya. Di satu sisi dia kagum, ternyata kau orang yang jujur dan amanah. Sulit sebenarnya menemukan pengemudi angkot yang jujur dan amanah. Tapi di sisi lain, dia juga ingin angkotnya memberikan penghasilan sebanyak mungkin. Akhirnya, karena kau teguh pada pendirianmu untuk tetap narik dengan cara seperti itu, menomor satukan panggilan sholat, majikanmupun tak punya pilihan lain, dan dengan berat hati terpaksa menggantimu dengan supir yang lain. Kaupun berlapang dada.. padahal kau baru saja kehilangan mata pencaharian, sumber nafkah anak istrimu, kawan.. tapi kau lebih cinta Rabb Mu..
Menunggu kedatangan dokter di puskesmas ternyata lumayan lama. Teman kita melanjutkan ceritanya.
Kawan, bagimu ladang untuk mencari nafkah yang halal sangatlah luas. Yang penting adalah keyakinan bahwa Rizki dariNya sangat berlimpah untuk menghidupi seluruh isi bumiNya ini. Karena itu, yang diperlukan hanyalah ikhtiar yang sungguh-sungguh. Kau buktikan itu kawan, berbagi profesi kau jalani dengan bersungguh-sungguh dan ikhlas. Termasuk berdagang pernak-pernik muslim secara asongan, seperti yang aku lihat ketika kita bertemu di Bandara dulu..Aku salut sekaligus bangga padamu, kawan.
Ditengah kesederhaan mu itu, ditengah beratnya ikhtiar mu untuk mencukupi nafkah diri dan keluargamu, kau juga tidak pernah lupa berbakti pada orang tuamu. Kau selalu kunjungi mereka. Dan setiap mengunjungi mereka, kau selalu menyisihkan sebahagian penghasilan mu untuk menyantuni mereka. Meskipun sangat pasti, mereka tidak pernah meminta atau membebanimu untuk melakukan itu. Tapi itulah wujud cinta kasih dan pengabdianmu untuk membalas jasa-jasa mereka.
Ketika pecah perang Israel dengan Fraksi Hamas Palestina, hatimu pun terpanggil. Kau ingin berangkat ke medan jihad di salah satu kota suci umat Islam itu. Kau datangi berbagai ormas dan lembaga yang sekiranya bisa mengirimmu ke sana sebagai relawan. Tekadmu telah bulat, berangkat jihad. Niatmu untuk membela saudara sesama muslim begitu kental. Andaipun pemikiran maupun tenagamu tidak akan berguna di medan pertempuran sedahsyat itu, setidaknya kau merasa bisa berguna sebagai dorongan moral bagi pejuang muslim Palestina, karena setidaknya mereka merasa muslim sedunia peduli dengan mereka. Demikian kuatnya tekatmu.
Kemungkinan terburuk akan terbunuh di sana, justru kemungkinan terbaik bagimu, gugur sebagai syuhada dan berpulang menghadap kepadaNya dengan " muka tengadah".
Begitu yakinnya kau akan janji syurga bagi para syuhada. Tangis istri dan rengek kedua anakmu yang memohon kau untuk tidak jadi berangkatpun tak mampu sedikitpun mengurangi tekadmu untuk berangkat dan siap syahid di sana. Istrimu mungkin tidak se Kaffah dirimu. Dia masih ingin didampingi olehmu. Dia masih ingin anak-anakmu tumbuh dalam asuh dan bimbinganmu. Kaupun tak mampu meyakinkan istrimu, bahwa andai kau memang akan gugur disana, Sang Maha Besar tidak akan menyia-nyiakan janda dan anak yatim dari seorang syuhada. Sang maha Pelindung dan Maha Pemurah akan menjaga dan mencukupi keluarga yang kau tinggal. Begitu keyakinanmu. Namun, sisi manusiawi istrimu sebagai seorang perempuan dan seorang ibu tetap tidak bisa memaklumi itu. Namun, sekali lagi, kau memang lebih cinta pada Tuhanmu. Kau bersikukuh. Istrimu akhirnya putus asa dan mendatangi ibumu. Memohon sang Ibu untuk melunakkan hatimu agar tak jadi berangkat. Kawan, akhirnya hanya air mata ibumulah yang bisa mencairkan hatimu.. Itupun tak lebih karena kau tidak ingin mencemari ke-kaffah-an mu dalam beragama dengan membuat ibumu menangis dan kecewa.. Oh kawan…
Kawan, sampai di situ teman kita bercerita tentangmu. Aku harus segera pulang karena anakku telah selesai berobat. Dalam perjalanan pulang aku terdiam. Aku baru saja mendengar cerita tentangmu. Cerita yang sama sekali diluar apa yang terpikirkan olehku. Cerita yang mengaduk-aduk nuraniku.
Hari-hari berikutnya, cerita tentang dirimu itu selalu jadi bahan renunganku. Setiap malam ketika hendak tidur aku tidak pernah bisa mengelak dari pikiran tentangmu. Tentang pribadi dan kehidupanmu yang luar biasa..
Kini aku merasa begitu kerdil jika dibandingkan dengan dirimu. Kau mampu mentransformasi hidupmu untuk memperoleh ridhaNya. Dibalik tubuhmu yang terlihat ringkih, ada jiwa yang begitu mulia dan ikhlas. Jiwa yang menjalani kehidupan dunia tanpa mengeluh dan selalu ingat bahwa dunia bukan tujuan.
Sedangkan, lihatlah diriku kawan. Aku belum mampu untuk seujung kuku saja menjadi sepertimu. Aku masih terlalu mencintai kehidupan fana ini. Aku masih terlalu asik membangun kemegahanku di dunia ini. Sesuatu yang sebenarnya sering membuatku lalai dari mengingatNya. Aku masih saja suka bermain-main menyerempet laranganNya. Aku kadang tak mampu memastikan bahwa nafkah yang ku peroleh benar-benar diperoleh dengan cara-cara yang di ridhai-Nya. Dibalik kelapangan dan kemudahan yang diberikanNya kepada ku, sering aku masih merasa kurang. Jangankan untuk berjihad, aku bahkan terlalu sering berpikir panjang untuk sekedar menafkahkan rizki di jalanNya. Ketika akan menyisihkan sedikit penghasilanku untuk kedua orang tuaku, aku masih terlalu gampang digoda setan dengan bisikan bahwa anak istriku lebih membutuhkannya.. Kawan, cerita tentangmu telah “menampar” batinku.
Sekarang, aku tidak tahu kau dimana. Aku rindu padamu kawan. Aku ingin bertemu lagi denganmu. Merangkul hangat dirimu. Berharap kau tularkan aku kemuliaan itu..