Rabu, 10 Desember 2008

Pengelolaan Hutan Rakyat (Belajar Dari Pengalaman Kabupaten Ciamis

Beberapa waktu yang lalu, Tim dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan (BPDAS AK), melaksanakan kegiatan studi banding ke Provinsi Jawa Barat. Tim beranggotakan 6 (enam) orang, terdiri atas 5 (lima) orang staff BPDAS Agam Kuantan dan 1 (satu) orang anggota LSM dari Kabupaten Pasaman Barat. Tujuan studi banding ini adalah untuk menggali informasi dan mempelajari pengalaman penerapan pola kemitraan antara kelompok tani hutan rakyat dengan mitra usaha di Provinsi Jawa Barat. Hasil studi banding tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan untuk melahirkan suatu model pola kemitraan yang implementatif dan responsif dengan kondisi di Sumatera Barat.

Selama pelaksanaan studi banding, tim BPDAS Agam Kuantan melaksanakan berbagai aktivitas di wilayah Kabupaten Ciamis dan sekitarnya, antara lain:

  • Kunjungan ke Desa Sidamulih Kecamatan Pamarican. Desa ini merupakan desa mandiri bidang kehutanan dan merupakan salah satu desa model pemberdayaan masyarakat bidang hutan rakyat di Kabupaten ciamis. Di desa ini benar-benar terlihat kondisi masyarakat yang perekonomiannya berbasis pada hutan rakyat. Tak terlihat ada lahan terlantar, semua ditanami masyarakat dengan konsep agroforestry.

Di sisi kelembagaan, masyarakat desa ini juga telah memiliki sistem pranata yang mapan dalam mengelola kekayaan hutan rakyat mereka, sehingga keberadaannya bisa berkesinambungan, yang dengan demikian tentunya akan berdampak positif secara ekologis dan mampu meningkatkan taraf hidup sosial-ekonomi masyarakat. Banyak Peraturan Desa telah dilahirkan yang bertujuan untuk melindungi, mengatur, sekaligus menjaga manfaat ekonomi hutan rakyat. Peraturan-peraturan desa tersebut berjalan efektif dan ditaati oleh masyarakat, walaupun sanksi-sanksi terhadap pelanggaran peraturan-peraturan tersebut hanya bersifat moral saja. Salah satu contoh. Ada peraturan yang mewajibkan masyarakat menanam 10 (sepuluh) batang pohon sebagai pengganti setiap 1 (satu) batang pohon yang ditebang. Ini sangat ditaati masyarakat, karena jika melanggar, si pelanggar akan meperoleh sangsi moral berupa pengucilan, setidaknya oleh sesama anggota kelompok tani mereka.

  • Kunjungan ke Balai Penelitian kehutanan Ciamis. Disini rombongan BPDAS Agam Kuantan disambut dalam sebuah acara diskusi dengan segenab stakeholder kehutanan di Kabupaten Ciamis. Acara ini dihadiri oleh unsur pemerintah pusat dan daerah, kelompok masyarakat, dan dunia usaha bidang kehutanan.

Dari hasil diskusi terungkap, bahwa keberhasilan pembangunan kehutanan di Ciamis bukanlah hasil kerja ”semalam”. Keberhasilan tersebut di rintis dari titik nol. Sebab, pada awalnya kondisi masyarakat Ciamis juga tak jauh beda dengan kondisi masyarakat diberbagai daerah lain, yaitu tidak memiliki kesadaran untuk menanam dan merehabilitasi hutan dan lahan. Masyarakat tahunya hanya menebang/mengeksploitasi hutan. Menyadari kondisi itu, kemudian semua pihak benar-benar berkomitmen untuk merubah keadaan. Sektor kehutanan harus dikelola dengan bijak, sebab hanya tersisa 14% saja hutan alam di daerah tersebut. Untuk itu, konsep hutan rakyat harus dikembangkan secara optimal, agar tekanan terhadap hutan alam bisa diminimalisir.

Bentuk komitmen tersebut antara lain ditunjukkan oleh Dinas Kehutanan dan mitra kerjanya di DPRD. Pemerintah daerah dengan dukungan dari DPRD terus menerus memfasilitasi masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat. Birokrasi dan segala macam bentuk perijinan terhadap seluruh proses tata niaga hasil hutan yang berasal dari lahan masyarakat, terutama untuk hasil hutan kayu, dipermudah dan disederhanakan. Yang lebih hebat lagi, segala macam bentuk pungutan dan retribusi terhadap tata niaga kayu rakyat ini juga ditiadakan.

Alhasil, saat ini masyarakat ciamis telah menanam secara swadaya tak kurang dari 7 juta pohon /tahun di kebun-kebun mereka. Dari hutan rakyat ini, Ciamis bisa memproduksi 0.5 juta kubik kayu/tahun dengan jumlah perputaran uang mencapai 357 milyar Rupiah. Angka ini tentunya menjadi salah satu sektor yang memberi pengaruh terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meskipun tidak secara langsung menyumbang untuk PAD, namun memberi multiplyer effect dalam menggerakkan perekonomian kabupaten Ciamis secara keseluruhan. Sebab, petani hutan rakyat yang makmur, dengan pendapatan memadai, tentu akan memiliki kemampuan konsumsi barang dan jasa yang memadai pula. Para petani banyak yang mampu beli kendaraan, perabotan rumah tangga, menyekolahkan anak-anak mereka, mengakses jasa pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya. Kondisi ini tentunya mampu menggerakkan sektor riil secara signifikan.

Pada awalnya, kebijakan Dinas Kehutanan yang tidak memungut retribusi apa-apa dari sektor kehutanan tersebut, sempat dipertanyakan oleh DPRD. DPRD menilai sektor kehutanan tidak menyumbang hasil langsung terhadap Pendapatan Asli Daerah seperti dinas-dinas yang lain. Namun Dinas kehutanan mampu meyakinkan, bahwa efek berganda dari kebijakan tersebut justru jauh lebih bermanfaat bagi perekonomian Ciamis. Kepala Dinas Kehutanan memberi contoh, dengan memunguti para pedagang di pasar, Dinas Pasar hanya menghasilkan Rp 5 Milyar pertahun. Sementara, Dinas Kehutanan, dengan kebijakan-kebijakan yang meringankan beban para petani hutan rakyat dari segala macam pungutan, mampu menghasilkan perputaran uang sebesar Rp. 357 Milyar pertahun. Disamping itu, kondisi hutan dan lahan terpulihkan dan semakin berkualitas, sehingga memberi efek positif bagi lingkungan hidup di Kabupaten Ciamis secara keseluruhan. Potensi kerugian ekonomi karena bencana lingkunganpun dapat dihindari (loss avoided). ”Silahkan dibandingkan, mana yang lebih baik bagi rakyat”, demikian Kepala Dinas. Karena dianggap baik, kebijakan seperti ini akhirnya justru dirujuk dan ditiru oleh beberapa kabupaten tetangga.

Seiring dengan itu, sektor hilir, yaitu industri kayu, terus dibina. Sehingga tercipta pasar kayu yang bagus yang menjadi jaminan bagi pemasaran kayu rakyat. Atau secara singkat dapat dikatakan, bahwa di kabupaten Ciamis menanam kayu pasti laku dan menguntungkan.

Tak heran kalau saat ini kegiatan menanam pohon (kayu) sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat Ciamis. Sebahagian masyarakat malah merasa tidak perlu lagi fasilitasi dari pemerintah atau pihak-pihak lain. Juga ada masyarakat yang sudah tidak mau lagi bermitra dengan pengusaha dalam kegiatan tanam menanam pohon. Hitung-hitungan mereka sederhana, jika bermitra, mereka harus bagi hasil. Jadi lebih baik menanam sendiri secara swadaya dan hasilnya bisa 100% mereka nikmati sendiri.

Diakui Kepala Dinas Kehutanan, bahwa masyarakat Ciamis memang sudah sangat sadar dan aktif untuk menanam. Sehingga saat ini hampir tidak ditemukan lagi lahan terlantar. Semua lahan sudah ditanami masyarakat, sehingga sangat sulit untuk mencari lahan untuk lokasi kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan maupun kegiatan yang bersuber dari Dana Alokasi Khusus. Saat ini Dinas Kehutanan tidak lagi memperoleh dana alokasi khusus dari APBD. ”Andai Dinas Kehutanan dibubarkanpun, masyarakat akan tetap menanam pohon”. Demikian pernyataan Kepala Dinas Kehutanan kabupaten Ciamis optimis.

  • Mengunjungi pabrik pengolahan kayu PT. Bina Kayu Lestari di Tasik Malaya. Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan pengolahan kayu terbesar di Jawa Barat. Sumber bahan baku kayu perusahaan ini semuanya berasal dari hutan rakyat di wilayah Kabupaten Ciamis dan sekitarnya. Perusahaan ini memiliki anak perusahaan yang khusus menangani kemitraan dengan masyarakat, baik untuk kegiatan penanaman kayu untuk menjamin ketersediaan bahan baku kayu, kegiatan penggergajian, sampai pada kegiatan ekspor. Semua itu dibungkus dengan suatu aturan main kemitraan yang berkeadilan. Ketentuan bagi hasil dengan komposisi masyarakat 80% dan perusahaan 20% dirasa cukup menguntungkan bagi masyarakat. Selain itu, masyarakat juga berkesempatan menjadi pemilik saham perusahaan. Perusahaan juga secara konsisten melaksanakan konsep Corporate social responsibility. Sehingga keberadaan perusahaan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pelaksanaan studi banding ini adalah, bahwa keberhasilan pembangunan kehutanan di Kabupaten Ciamis, khususnya hutan rakyat, adalah karena beberapa faktor:

  • Adanya peran serta semua pihak secara terus menerus untuk membangun sektor kehutanan. Adanya kesadaran dan kemauan dari masyarakat, fasilitasi dan regulasi yang tepat oleh pemerintah, dan kesediaan sektor swasta menanamkan modalnya untuk mengembangkan industri berbasis kehutanan.
  • Pembangunan kehutanan dilaksanakan dengan mengutamakan pendekatan ekonomi. Masyarakat terus menerus dimotivasi bahwa kegiatan menanam pohon akan menguntungkan secara ekonomi. Pendekatan ekologi akan otomatis mengikuti kemudian.
  • Sektor hulu dan hilir dibina sejalan. Dengan demikian ketika tanaman hutan rakyat menghasilkan, pasarnya berupa industri kayu telah tersedia dan mampu menampung berapapun kapasitas produksi kayu rakyat.
  • Adanya konsep kemitraan yang berkeadilan antara masyarakat dan pihak swasta, sehingga masyarakat tersejahterakan. Kondisi ini mendorong masyarakat menjadikan kegiatan penanaman pohon sebagai pilar ketahanan ekonomi mereka.

Pertanyaan kita selanjutnya, kapan kondisi seperti di Ciamis bisa terjadi di Sumatera Barat? Kayu semakin langka, sedangkan kebutuhan terus meningkat. Di sisi lain, hutan alam Sumatera Barat mayoritas berfungsi lindung dan tidak mungkin dieksploitasi untuk meningkatkan kapasitas produksi kayu. Saatnya kita kembangkan hutan rakyat kemitraan di Sumatera Barat. Tak ada salahnya kita belajar dari pengalaman Ciamis. Caliak contoh ka nan sudah, ambiak tuah ka nan manang.

Sabtu, 29 November 2008

100 Tahun Kebangkitan Nasional, Indonesia Tanam 100 Juta Pohon


Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi meresmikan kegiatan Aksi Penanaman Serentak 100 Juta Pohon di Komando Armada Republik Indonesia Kawasan Barat Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut di Teluk Bayur Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Jumat 28 November 2008. Kegiatan ini merupakan awal dari rangkaian kegiatan HARI MENANAM POHON INDONESIA DAN BULAN MENANAM NASIONAL. Tema yang diangkat tahun ini adalah: “Penanaman Serentak 100 Juta Pohon dalam Rangka Peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional”, dan Sub Tema “Wujudkan Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera, Indonesia Bisa”.

Kegiatan ini merupakan aksi nyata sebagai tindak lanjut atas telah diterbitkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2008 tentang Penetapan tanggal 28 November sebagai Hari Menanam Pohon Indonesia dan bulan Desember sebagai Bulan Menanam Nasional. Dengan terbitnya Keppres ini, diharapkan kegiatan menanam bisa menjadi kegiatan yang berkesinambungan di seluruh Indonesia.

Acara pencanangan untuk tingkat Provinsi Sumatera Barat ini diikuti oleh berbagai elemen masyarakat, baik unsur Muspida, DPRD, swasta, pelajar, LSM, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Pada acara tersebut, Gamawan Fauzi membacakan sambutan Menteri Kehutanan RI. Dalam sambutannya Menteri Kehutanan antara lain menyampaikan:

Bahwa makna yang terkandung dalam terbitnya Keppres Nomor 24 Tahun 2008 adalah, untuk pertama kali kita memiliki hari/waktu dimana seluruh rakyat Indonesia dimanapun berada menanam pohon secara serentak. Terbitnya Keppres tersebut juga merupakan suatu momentum dimana Pimpinan Nasional mengajak seluruh rakyat Indonesia dimanapun berada untuk secara sadar mau melaksanakan kegiatan menanam dan memelihara pohon, yang diharapkan dengan kegiatan tersebut memberi sumbangan terhadap pemulihan kerusakan sumberdaya hutan, sekaligus juga membangun budaya sadar menanam sebagai sikap hidup Bangsa Indonesia.

Hal ini menjadi sangat penting mengingat kondisi hutan dan lahan kita saat ini. Disekitar tempat kita berada masih banyak hutan yang kritis, bukit-bukit yang gundul, lahan kosong yang tidak terurus dan tidak jelas pemiliknya, lahan tegal dan pekarangan terbuka, jalan yang gersang, perkantoran, tempat publik dan tempat ibadah yang belum memiliki ruang hijau yang memadai. Dengan didorong semangat Kebangkitan Nasional Menhut mengajak kita semua segera memperbaiki keadaan tersebut dengan sungguh-sungguh. Apabila upaya rehabilitasi terhadap lokasi-lokasi tersebut tidak segera dilakukan, maka yang terjadi kita akan menuai bencana dikemudian hari. Berbagai bencana karena kerusakan hutan dan lahan sebenarnya telah kita rasakan dibeberapa wilayah Indonesia, seperti terjadinya banjir dan tanah longsor dibeberapa daerah yang menyebabkan kerugian harta benda dan bahkan korban jiwa. Selain itu kita juga menghadapi ancaman bencana kekeringan di musim kemarau.

Tidak ada cara lain untuk mencegah bencana alam tersebut, kecuali dengan sungguh-sungguh kita melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada lahan kritis secara berkesinambungan, baik melalui proyek pemerintah maupun oleh partisipasi seluruh masyarakat. Apabila kita tidak melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan dengan berhasil, maka kita akan dituding sebagai perusak sumber daya alam hutan oleh generasi berikutnya. Demikian Menhut.

Menhut juga mengingatkan kembali beberapa hal yang perlu dilakukan oleh semua pihak dalam pelaksanaan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional, sebagai berikut:

Pertama: Kepada para pemimpin daerah mulai dari Lurah, Camat, Bupati/Walikota, Gubernur beserta jajarannya diminta agar kegiatan menanam pohon benar-benar dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan terus dimonitor keberhasilannya dan melaporkan kepada Departemen Kehutanan.

Kedua: Kepada seluruh BUMN/BUMS untuk berpartisipasi dalam kegiatan menanam pohon baik di lingkungan masing-masing dan dapat memfasilitasi masyarakat untuk menanam pohon.

Ketiga: Kepada seluruh pihak yang telah melaksanakan penanaman di seluruh tanah air, diminta untuk dipelihara, dijaga, dan dipantau dari gangguan, baik hama tanaman, ternak, kebakaran, dan lain sebagainya, agar usaha kita dalam memulihkan kerusakan lingkungan dapat berhasil.

Keempat: Kegiatan menanam pohon tidak berhenti hanya pada acara tanggal 28 November, namun dilanjutkan pada bulan berikutnya, terutama bulan Desember sebagai Bulan Menanam Nasional, serta bulan-bulan berikutnya sesuai dengan kesesuaian musim hujan.

Diakhir acara, Gubernur dan Istri melakukan penanaman pohon secara simbolis, diikuti oleh pimpinan berbagai lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang ada di Kota Padang, antara lain Ketua DPRD Sumbar, Wali Kota Padang, Komandan Lantamal, kemudian dilanjutkan oleh massa peserta upacara lainnya menanam berbagai jenis pohon.

Pada hari yang sama, kegiatan pencanangan juga berlangsung di seluruh Indonesia. Di Sumatera Barat, sebanyak 15 Kabupaten/Kota melaksanakan pencanangan pada hari yang sama dipimpin oleh Bupati/Walikota atau unsur pimpinan daerah masing-masing. Sedangkan tiga daerah, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kota Payakumbuh direncanakan melaksanakan pencanangan pada hari Senin 1 Desember 2008. Tentunya kegiatan menanam ini bukan hanya kegiatan pencanangan dan seremonial belaka. Pada hari-hari berikutnya, terutama pada Bulan Desember yang merupakan Bulan Menanam Nasional, berbagai elemen masyarakat secara swadaya akan melaksanakan penanaman masal dilokasi-lokasi yang telah ditetapkan sendiri oleh masyarakat secara partisipatif.

Kegiatan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional wilayah Sumatera Barat, untuk tahun 2008 ini, ditandai dengan antusiasme yang tinggi dari berbagai elemen masyarakat. Konsep penanaman secara swadaya yang dicanangkan pemerintah mendapat respon yang besar dari masyarakat Sumatera Barat. Ini terbukti dari permintaan bibit tanaman dari berbagai elemen masyarakat di kabupaten/kota se Sumatera Barat ke Departemen Kehutanan yang mencapai jumlah 4 Juta batang bibit. Padahal kemampuan Departemen Kehutanan untuk memenuhi kebutuhan bibit untuk Sumatera Barat pada kegiatan tahun 2008 ini hanya sejumlah kurang lebih 1,8 juta batang bibit.

“Ini suatu gejala yang menggembirakan”, ujar Ir. Djonli, MF, Kepala Balai Pengeloaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan (BPDAS AK). BPDAS AK adalah Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan yang bertanggung jawab dalam penyediaan bibit tanaman untuk kegiatan penanaman serentak ini. Lebih lanjut menurut Djonli, “jumlah pemintaan bibit dari masyarakat yang jauh melebihi kemampuan Dephut menyediakan bibit ini, menunjukkan bahwa masyarakat Sumatera Barat telah sadar dan mau menanam”. “Mudah-mudahan kesadaran menanam ini terus berlanjut, dan tentunya kita berharap agar kesadaran menanam tersebut juga diikuti dengan kesadaran untuk memelihara tanaman yang telah ditanam”.

Masih menurut Djonli, “Kunci keberhasilan kegiatan penghijauan lingkungan maupun kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan lainnya, sehingga berimplikasi positif pada upaya perbaikan lingkungan, memang terletak pada kesadaran masayarakat”. Sebab kegiatan tersebut memang seharusnya menjadi tanggungjawab bersama seluruh unsur masyarakat”. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh semua pihak. “Peran pemerintah harusnya hanya sebagai fasilitator dan regulator saja”, ujarnya. “Mudah-mudahan untuk tahun-tahun berikutnya, selain sadar untuk melakukan kegiatan penanaman swadaya, diharapkan masyarakat juga mau berswadaya dalam penyediaan bibit tanamann yang akan ditanam”. “ Dengan demikian jumlah bibit yang akan ditanam jumlahnya bisa jauh lebih besar ketimbang hanya mengharapkan bibit yang disediakan Departemen Kehutanan”, demikian pungkas Djonli.

Selasa, 18 November 2008

BASKET HIDUP SAYA ... (1)

BASKET HIDUP SAYA!! Kalimat ini adalah jargon yang diusung sebuah produk rokok saat gencar-gencarnya mensponsori Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama) di era pertengahan hingga akhir 90-an. Namun, buat saya, kalimat "Basket Hidup Saya" juga mewakili apa yang saya alami di sepenggalan hidup saya semenjak menginjak remaja hingga saat ini. Saya menemukan jati diri ditengah galaunya pancaroba masa remaja melalui basket, menjadi pribadi yang lebih percaya diri karena basket, menemukan teman-teman terbaik di lingkungan basket, melalui vase-vase kehidupan yang penuh warna dan dinamika di dunia basket. Bahkan, saya bisa mencapai tahapan kehidupan seperti sekarang ini juga karena basket. Ya, BASKET HIDUP SAYA!!

Sebenarnya, semasa kecil, saya bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Alam pikiran masa kecil saya saat itu begitu terinspirasi oleh kiprah tim nasional sepakbola Indonesia pada Pra Piala Dunia tahun 1986. Para punggawa timnas saat itu begitu ngetop. Sebut saja nama, Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman, Marzuki Nyakmad, Heri Kiswanto, Eli Idris, Rully Nere, Zulkarnain Lubis, Penjaga Gawang Hermansyah, dan lain-lain. Kebanyakan orang Indonesia pasti familiar dengan nama mereka. Sebab setiap laga timnas selalu disiarkan secara langsung oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Dengan demikian, otomatis setiap laga timnas itu disaksikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk saya. Rugi sekali rasanya kalau tidak ikut menonton laga timnas lewat televisi. Penampilan mereka di lapangan hijau itu dimata saya terlihat begitu heroik.

Sejak itulah, saya bercita-cita jadi pemain sepakbola nasional. Sejak saat itu pulalah saya semakin getol bermain sepakbola. Hampir semua waktu luang, saya habiskan untuk bermain bola, tidak peduli pagi, siang, sore, atau bahkan malam sekalipun. Ketika itu, bermain sepakbola seolah segala-galanya dalam hidup saya. Lebih penting dan lebih nikmat daripada hal apapun di dunia ini. Gara-gara keranjingan bermain sepakbola, suatu waktu, saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Tertabrak motor ketika mengejar bola yang meluncur ke jalan raya saat saya dan teman-teman bermain bola di halaman sebuah kantor instansi pemerintah.

Namun, selain sangat kecanduan bermain sepakbola, saya juga tertarik dengan permainan bola basket. Rumah keluarga saya dekat dengan komplek sebuah SMA yang ada lapangan basketnya. Saya mulai mengenal basket di sana. Selain itu, di kota masa kecil saya itu, juga rutin digelar pertandingan basket antar klub amatir. Hampir tiap 2 bulan ada turnamen, yang biasanya digelar di lapangan basket yang ada di semacam alun-alun kota. Pertandingan-pertandingan basket amatir itu juga amat menarik perhatian saya saat itu. Jika sedang digelar suatu turnamen, tiap sore saya akan berusaha untuk tidak absen menontonnya. Sayapun mulai jadi basket mania. Meski demikian, minat saya tetap lebih besar pada sepakbola.

Menginjak kelas 3 SMP, saya harus ikut orang tua pindah ke kota Padang. Di Padang, main sepakbola tetap menjadi bagian keseharian saya. Sedangkan akses saya ke dunia basket terputus. Karena rumah kami relatif jauh ke sarana lapangan basket. Juga tidak ada komunitas basket disekitar saya, baik dirumah maupun disekolah. Singkatnya, geliat dunia basket di Ibu Kota Sumatera Barat ini sama sekali jauh dari jangkauan saya saat itu.

Lulus SMP, semua berubah. Berawal dari pilihan sekolah selepas SMP. Masa itu, dilingkungan bermain saya, ada semacam stigma, bukan cowok tulen namanya kalau selepas SMP memilih melanjutkan ke SMA. Pilihan ideal kami adalah: melanjutkan ke STM!! Kesannya jantan sekali kalau sekolah di STM. Setidaknya demikian dalam alam pikiran kami. Sayapun mendaftar ke STM. Tetapi, sebagai back-up saya juga mendaftar ke SMA. Malang, ternyata saya tidak diterima di STM. Karena nilai saya tidak mencukupi untuk diterima di jurusan elektro di STM. Di SMA, saya diterima. Akhirnya dengan setengah hati saya bersekolah di SMA. SMA 3 Padang. Ternyata pilihan setengah hati ini justru menjadi titik awal dari berbagai pencapaian dalam kehidupan saya.

SMA 3 Padang adalah SMA basket. Tim Basketnya sangat disegani di Kota Padang. Salah seorang guru olah raga di sekolah ini adalah pelatih basket senior yang sering dipercaya menjadi pelatih basket Tim Kota Padang maupun Tim Provinsi Sumbar ke berbagai even basket, mulai dari yang berskala daerah sampai nasional. Beliau inilah yang membina ekstrakurikuler bola basket di SMA 3 Padang. Ketika itu, sekolah ini juga rutin menggelar turnamen basket antar SMA se Provinsi Sumatera Barat. Nah, kondisi ini menyebabkan perhatian saya kembali terarah pada basket. Kalau pada awalnya saya setengah hati bersekolah di SMA, sekarang tiba-tiba gairah saya berkobar untuk bersekolah di SMA 3 ini. Alasannya bukan apa-apa, hanya karena di sekolah ini ekskul basketnya bagus, dan saya sangat antusias ingin ikut dalam ekskul itu. Target saya jelas, saya ingin menjadi salah seorang anggota Tim Basket SMA 3 yang sudah sangat dikenal dan disegani itu, setidaknya dilingkup Kota Padang. Seiring dengan itu, entah kenapa, sepakbola mulai terlupakan.

Hari-hari berikutnya, saya jadi bersemangat berangkat sekolah. Bukan karena guru-guru di sekolah yang simpatik, bukan karena mata pelajaran – mata pelajaran yang menarik, bukan pula karena suasana sekolah yang asik, juga bukan karena banyak siswi cantik dan nyentrik. Bukan, sama sekali bukan. Saya bersemangat berangkat sekolah hanya supaya bisa bermain basket. Saat jam istirahat yang cuma setengah jam, saya selalu sempatkan main ke aula sekolah – yang juga sekaligus berfungsi sebagai lapangan basket – sekedar untuk bisa mendribling dan shooting bola basket. Sepulang sekolah, saya kembali bermain basket sepuasnya, terkadang sampai lewat magrib. Kecanduan saya bermain sepakbola benar-benar sudah tergantikan oleh kecanduan bermain basket.

Sebenarnya alasan saya begitu serius mengasyikkan diri dengan basket tidak semata karena saya memang tergila-gila sama basket. Alasan lainnya adalah karena saya memang tidak punya modal lain untuk bergaul. Sebagai anak yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana, saya tumbuh menjadi remaja yang introvert, cenderung tertutup dan pendiam, bahkan boleh dibilang kurang percaya diri. Tanpa modal apa-apa, sulit rasanya bisa dihargai dan berbaur dengan anak-anak gaul di SMA masa itu. Jika kita bukan anak orang kaya, jika kita tidak punya tampang di atas rata-rata, jika kita tidak berotak encer, atau jika kita tidak memiliki keunikan tertentu, maka tersisihlah kita dari pergaulan. Nah, kebetulan saya memang merasa tidak punya semua itu. Sehingga, saat itu rasanya saya sangat sulit untuk bergaul. Namun, di lapangan basket saya merasa tidak memerlukan semua itu. Yang saya perlukan hanyalah kemampuan bermain basket untuk bisa dianggap dan dihargai, setidaknya dilingkungan teman-teman sesama penggemar basket. Karena memang hanya kemampuan bermain basketlah yang dianggap paling berharga untuk dinilai di lapangan basket. Orang akan sangat respek pada anda jika permainan basket anda bagus, tidak peduli bagaimanapun kondisi dan latar belakang anda. Inilah alasan lain saya begitu total dengan basket. Saya butuh media eksistensi diri. Saya butuh tempat bersosialisasi dimana saya bisa dianggap dan dihargai. Basketlah tempatnya. Inilah peran pertama basket dalam membangun kepribadian saya. Yaitu memenuhi kebutuhan akan eksistensi diri dalam menjalani masa remaja. Secara perlahan sayapun mulai menemukan kepercayaan diri dalam menjalani takdir hidup saya yang dimasa remaja itu merasa tidak punya kelebihan apa-apa.

Berikutnya, hari-hari masa SMA saya jalani dengan segala dinamikanya. Kegiatan bersekolah biasa-biasa saja. Secara akademis tidak ada prestasi istimewa yang saya capai. Bahkan saya cenderung lemah dibeberapa mata pelajaran eksakta. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena pelajaran-pelajaran eksakta itu terasa sangat tidak menarik buat saya (barangkali karena keterbatasan tingkat intelejensi saya juga), sehingga seringkali jadwal mata pelajaran eksakta jadi sasaran saya untuk membolos . Ini tidak pernah diketahui keluarga. Untuk ini, saya minta maaf pada semua keluarga yang dari dulu selalu yakin dan menganggap saya “anak baik-baik”.

Terlepas dari itu, saya mulai enjoy disekolah, karena telah memiliki peergroup sendiri, yaitu anggota ekskul basket SMA 3 Padang, yang mana saya nyaman berada di tengahnya. Saya mulai cukup dikenal karena termasuk anggota ekskul yang lumayan terampil bermain basket. Dengan berjalannya waktu, ikatan pergaulan kami sebagai komunitas anggota ekskul basket juga makin akrab dan mengerucut. Beberapa diantara kami mulai terlihat berpotensi akan menjadi calon anggota Tim Basket SMA 3 Padang, penerus tradisi kejayaan Tim Basket sekolah yang disegani. Basket menyebabkan kami memiliki ikatan yang kuat. Berbagai kegiatan diluar basketpun kami lakukan bersama-sama. Basket akhirnya hanya jadi sekedar alat yang mempertemukan dan mempersatukan kami. Inilah peran kedua basket dalam hidup saya, yaitu mempertemukan saya dengan teman-teman terbaik. Mereka inilah yang kemudian menjadi orang-orang yang berperan besar dalam hidup saya. Beberapa kejadian penting dalam hidup saya ke depan tak terlepas dari peran dan keterlibatan mereka.

Setahun berlalu. Saya naik kelas 2 dengan predikat biasa-biasa saja. Hasil psycho-test dan kondisi perolehan nilai-nilai saya selama kelas 1 mengharuskan saya ditempatkan di jurusan sosial. Bagi saya itu sama sekali tidak menjadi masalah. Selain karena ilmu sosial justru lebih menarik bagi saya, sedari awal saya memang menganggap sekolah hanya sebagai sarana supaya saya bisa bermain basket. Tak pernah ada upaya optimal saya lakukan untuk menggapai target akademis. Di saat banyak teman les Fisika, Matematika, Bahasa Inggris, saya hanya sibuk dengan basket dan basket. Selain memang karena terlalu asik dengan basket, les juga sesuatu yang mustahil bagi saya. Karena harus bayar, tentunya. Saya tidak ingin menambah beban pengeluaran orang tua. Jadi apa yang saya capai secara akademis ini memang sudah seharusnya begitu. Bukankah output tergantung apa inputnya dan bagaimana proses yang dilaluinya?

(Bersambung)

Kamis, 06 November 2008

MERITOKRATIK (Fareed Zakaria, Barrack Obama, Lewis Hamilton)

Obama menang. Anak Menteng itu menjadi presiden Amerika Serikat yang ke 44. Banyak yang ingin berkomentar soal kemenangan yang sebenarnya sudah dapat diperkirakan sebelumnya itu. Seluruh dunia merasa Obama menang untuk mereka. Dia seolah baru saja terpilih jadi Presiden Dunia.

Tapi saya tidak akan berkomentar berkaitan langsung soal kemenangan Obama sebagai presiden itu. Saya tertarik membahasnya dalam konteks sebagaimana yang ditulis oleh Ahmad Syafi’i Ma’arif (mantan ketua umum PP Muhammadiah – red) dalam kolom resonansi di Harian Republika beberapa hari lalu. Dalam tulisan itu dia membahas mengenai Fareed Zakaria. Seorang kolumnis pada surat kabar berpengaruh di Amerika, NEWSWEEK. Fareed Zakaria adalah seorang keturunan muslim yang berasal dari Haeder Abad India. Sekarang dia menjadi seorang penulis yang amat disegani dunia karena ketajaman pemikiran dan analisa-analisanya mengenai berbagai persoalan dunia. Berbagai artikel dan buku-bukunya sangat diperhitungkan, dirujuk, dan mendunia.

Dunia tidak lagi melihat siapa dia, apa latarbelakang etnisnya, apa agamanya, dan tetek bengek primordial lainnya. Dunia tidak peduli itu. Dunia hanya melihat bagaimana kualitas dirinya, apa pencapaian-pencapaian yang telah diraihnya, karya-karyanya dan prestasi-prestasi lainnya. Berkaitan dengan itu, Ma’arif melihat hal yang sama pada Obama. Dunia tidak melihat Obama sebagai seorang keturunan Afro-Amerika, dunia tidak peduli dia pernah menjalani 4 tahun masa kecilnya di sebuah negara miskin di Asia Tenggara. Dunia hanya melihat kualitas dirinya. Dunia terpukau dengan kharismanya saat berorasi. Pemikiran-pemikirannya soal perubahan menyihir dunia untuk bersimpati padanya.

Menurut Ma’arif, hal tersebut karena tatanan peradaban dunia memang telah benar-benar MERITOKRATIK. Dalam tatanan meritokratik seseorang dihargai hanya karena kualitas pribadinya, tidak peduli apa latar belakang etnis, ras, agama, bahkan budayanya. Saya setuju dengan kesimpulan ini. Saya juga punya contoh yang relevan. Lewis Hamilton. Hamilton adalah seorang warga negara Inggris kulit hitam keturunan Granada. Kalau Obama menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika, Hamilton juga orang kulit hitam pertama yang menjuarai balapan mobil paling bergengsi di dunia, F1 (FORMULA ONE). Dalam seri balapan tahun 2008, Hamilton yang masih 23 tahun, dan baru menjalani musim keduanya di F1, menjadi kampiun ditengah persaingan ketat pembalap-pembalap kulit putih yang jauh lebih berpengalaman dan diunggulkan. Saat mulai berkiprah, Hamilton juga masih dipandang sebelah mata oleh pelaku dan penggemar F1. Juga tak jarang ada komentar-komentar bernada rasial dialamatkan kepadanya. Namun, Hamilton mampu membungkam dunia dengan prestasinya. Sekarang duniapun sangat menghargainya. Contoh lain adalah; Tiger Woods. Begitulah tatanan dunia yang MERITOKRATIK.

Senin, 03 November 2008

RIMBAWAN

HAI PERWIRA RIMBA RAYA
MARI KITA BERNYANYI
MEMUJI HUTAN RIMBA DENGAN LAGU YANG GEMBIRA
DAN NYANYIAN YANG MURNI

MESKI SEPI HIDUP KITA
JAUH DI TENGAH RIMBA
TAPI KITA GEMBIRA SEBABNYA KITA BEKERJA
UNTUK NUSA DAN BANGSA

RIMBA RAYA RIMBA RAYA
INDAH PERMAI DAN MULIA
MAHA TAMAN TEMPAT KITA BEKERJA

RIMBA RAYA MAHA INDAH
CANTIK MOLEK PERKASA
MENGHIBUR HATI SUSAH
MENYOKONG NUSA DAN BANGSA
RIMBA RAYA MULIA

DI SITULAH KITA KERJA
DISINAR MATAHARI
GUNUNG LEMBAH BERDURI
HARUSLAH KITA ARUNGI
DENGAN HATI YANG MURNI

RIMBA RAYA RIMBA RAYA
INDAH PERMAI DAN MULIA
MAHA TAMAN TEMPAT KITA BEKERJA

Kamis, 30 Oktober 2008

Kembali Ke Jogja


Setelah hampir dua tahun semenjak terakhir kali berada di Kota Jogjakarta, akhirnya saya kembali berkesempatan menjejakkan kaki di Kota Pelajar dan Kota Budaya tersebut. Hampir tak ada yang berubah. Jogja masih tetap memberi kenyamanan bagi setiap pengunjungnya. Sikap ramah dan bersahabat masyarakatnya masih tetap sama. Dan yang lebih penting, terutama bagi pengunjung berkapasitas kantong terbatas seperti saya, indeks biaya hidup rata-rata di Kota Jogjakarta masih tetap sama, relatif murah dibanding kota-kota lain di Indonesia…

Kalaupun ada yang sedikit berubah, antara lain. Kota Jogja telah memiliki busway sebagai moda transportasi umum (saya baru tahu). Namun, busway di Jogja tidak seperti busway-nya Jakarta. Busway di Jogja hanya menggunakan armada bis ukuran tiga perempat. Ini tentu saja karena rata-rata jalan raya di Jogja tidak terlalu lebar, bahkan bisa dibilang sempit, apalagi jika dibanding dengan jalan raya di Jakarta. Karena itu, penggunaan bis ukuran tiga perempat memang dirasa paling ideal. Selain itu, jalur bisnya pun tidak diberi separator yang menjadi pembatas jalur khusus bis dengan kendaraan-kendaraan lain seperti jalur khusus busway di Jakarta. Jalur khusus busway hanya diberi tanda dengan marka jalan, yang tentu saja menyebabkan kendaraan lain masih bisa dengan leluasa menggunakan lajur khusus busway tersebut. Ini tentunya juga karena alasan jalan raya di Kota Jogja sudah terlalu sempit untuk di beri lagi pembatas lajur khusus busway. Namun, terlepas dari itu semua, keberadaan busway di Kota Jogjakarta ini cukup bermanfaat. Paling tidak, dengan adanya busway, pengguna transportasi umum di Jogja bisa menikmati perjalanan yang lebih nyaman. Sebab, selain karena armada angkutan umum di Jogja rata-rata telah uzur, dengan sistem transportasi busway yang telah didisain sedemikian rupa, tentu mampu mengeliminir persoalan angkutan kota sebagaimana yang biasa kita rasakan, seperti masalah keamanan dalam bis, masalah sesama bis yang balapan berebut penumpang, dan lain-lain.

Perubahan lain adalah, Pasar Klitikan di Jalan Pangeran Mangkubumi sudah tidak ada. Telah direlokasi ke suatu tempat yang saya lupa lokasinya. Pasar klitikan adalah semacam pasar loak berbagai jenis barang. Tidak semuanya juga barang bekas. Ada juga barang baru diperjual belikan di sana. Selain tempat jual beli barang-barang yang umum diperdagangkan, di pasar klitikan juga bisa ditemukan berbagai barang yang mungkin sulit untuk ditemukan ditempat lain. Seperti onderdil kendaraan yang mungkin langka, peralatan audio tua seperti pemutar piringan hitam, dan benda-benda "aneh dan langka" lainnya yang tentunya memang bekas. Nah, sebelum direlokasi, pasar klitikan ini digelar setiap malam di sepanjang jalan Pangeran Mangkubumi yang memilik panjang hampir 1 Km. Pada ujung selatan Jalan Mangkubumi ini terdapat Stasiun Tugu, stasiun utama di Jogjakarta. Dari Stasiun Tugu, terus kearah selatan, hanya dibatasi oleh perlintasan kereta, ada Jalan Malioboro yang terkenal itu. Nah, kondisi demikian menyebabkan keberadaan pasar klitikan di sepanjang Jalan Mangkubumi yang bersambungan dengan Stasiun Tugu dan Jalan Malioboro hingga batas kawasan keraton, menyebabkan suasana malam di Jogja terasa semarak dan selalu ramai. Semenjak pasar klitikan ini direlokasi, suasana tersebut tidak terasa lagi. Namun, memang suasana dilokasi tersebut jadi terlihat lebih rapi dan tertata karenanya.

Dalam Kunjungan kali ini saya juga menyempatkan kembali mengunjungi komplek Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Cukup berkesan, karena kali ini saya menyewa seorang guide. Tak rugi memang, karena melalui penuturan sang guide yang terlihat fasih itu, banyak hal bisa saya fahami seputar keraton Kesultanan Jogja dan falsafah-falsafah budaya yang melingkupinya. Kunjungan tersebut juga bertepatan dengan persiapan akan dilaksanakannya pisoanan ageng. Yaitu peristiwa semacam open housenya sang sultan dengan rakyatnya. Isu soal suksesi Sultan sebagai Gubernur dan rencana akan majunya Sultan sebagai capres pada pemilu 2009 nanti, menjadi isu yang akan dibicarakan oleh Sultan dengan rakyatnya dalam pisoanan ageng tersebut.

Merasakan Kekurangan Air


Saya baru saja mengikuti Pembekalan Teknis dan Manajerial Bagi Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Wilayah Indonesia Bagian Barat, di Cilampuyang Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pembekalan tersebut terbilang singkat, hanya satu minggu.

Namun, kondisi Cilampuyang yang sedemikian rupa, membuat kegiatan yang satu minggu tersebut memberikan berbagai kesan dan pengalaman tersendiri, yang belum pernah saya rasakan pada kegiatan-kegiatan sejenis sebelumnya, antara lain merasakan kekurangan air. Saya pernah beberapa kali mengikuti kegiatan pembekalan, pelatihan, maupun penyegaran. Tempat pelaksanaannya juga beragam. Pernah di Balai Diklat Kehutanan, di Balai Diklat Pemda, di Pusdiklat Kehutanan, dan bahkan pernah di hotel berbintang empat di Ibu Kota Negara Jakarta. Dari berbagai tempat tersebut, walau tingkat kondisi sarana dan prasarananya bervariasi, namun ketersediaan air - terutama untuk kebutuhan MCK - sangat memadai. Bahkan tidak terbatas.










Nah, di Cilampuyang kondisinya bertolak belakang. Hari pertama saat saya tiba, saya tidak bisa langsung mandi, karena sama sekali tidak ada air di kamar mandi asrama. Terpaksa, dalam kondisi lelah dan lecek karena habis menempuh perjalanan jauh dari Padang, saya langsung beristirahat dan tidur. Tidak nyaman tentu saja. Menurut panitia, air baru besok bisa mengalir. Lokasi tempat kegiatan ini memang berada diperbukitan yang tentunya sulit air. Walaupun musim kemarau belum memasuki puncaknya.

Ternyata sumber air yang dijanjikan akan mengalir tersebut juga sangat terbatas. Air dibawa dari Bandung dengan mobil tanky berkapasitas lebih kurang 5.000 Liter. Air dari tanky tersebut di pindah ke reservoir penampungan. Dari reservoir, air kemudian dialirkan ke bak-bak penampungan di beberapa kamar mandi yang ada di asrama peserta. Susahnya, air cuma dialirkan ke kamar mandi dua kali sehari. Dini hari untuk kebutuhan mandi pagi, dan siang hari untuk kebutuhan mandi sore. Begitu bak-bak dikamar mandi terisi penuh, air berhenti mengalir.

Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan mandi, baik pagi maupun sore, serta buang hajat tentunya, menjadi suatu kebutuhan yang memerlukan perjuangan dan kesabaran yang luar biasa untuk memenuhinya. Jumlah kamar mandi yang hanya 8 unit dan dengan bak-bak air yang relatif kecil, harus kami gunakan untuk 70 orang peserta. Kami harus saling berebut duluan jika ingin mandi agak berkualitas, yaitu mandi dengan kondisi air yang cukup dan bersih. Jika dapat giliran-giliran terakhir, mandilah dengan beberapa gayung air saja, yang mudah-mudahan masih bersih. Selain itu, kami harus menyetel jam biologis kami untuk buang hajat sesuai dengan ketersediaan air. Jangan sampai mau buang hajat saat air tidak ada!

Pada hari pertama, mulai jam 6 pagi, kami antri panjang untuk mandi. Saya berpikir, besok harus bangun paling awal untuk bisa mandi duluan. Ternyata teman-teman lain berpikiran sama. Alhasil jam 4 dini hari telah terjadi antrian mandi!! Sial…

Demikianlah pengalaman kekurangan air di Cilampuyang. Tapi kami sebagai rimbawan tidak cukup cengeng untuk menganggap itu sebagai pengalaman buruk, apalagi sampai menimbulkan trauma. Kami terlalu tangguh untuk takluk hanya oleh kendala susah mandi dan hajat saja. Kami tetap mengikuti kegiatan dengan penuh semangat, antusias, fokus, demi tercapainya tujuan kegiatan tersebut, yaitu menjadikan kami sebagai Pejabat Fungsional PEH yang berwawasan dan berpengetahuan luas, berintegritas, berorientasi berbuat yang terbaik bagi masyarakat dibidang kehutanan, dan tentu saja TIDAK CENGENG!!!

Dan ternyata, kondisi kekuarangan air tersebut juga memiliki makna dan hikmah tersendiri bagi kami, Pejabat Fungsional PEH Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Jenderal RLPS memiliki tugas pokok dan fungsi dalam merehabilitasi hutan dan lahan serta melaksanakan konsep perhutanan sosial sehingga berimplikasi pada konservasi tanah dan air. Intinya, kami bekerja dalam rangka menjamin keberlanjutan ketersedian air sebagai sumber kehidupan.

Dengan mengalami kekurangan air selama di Cilampuyang, menyebabkan kami tersadar betapa tidak nyamannya jika air tidak tersedia dengan cukup. Kesadaran yang demikian mendorong kami untuk lebih optimal bekerja. Sebab jika kami tidak optimal bekerja, kondisi tanah dan air akan makin terdegradasi. Akibatnya, bukan kami saja yang pernah mengalami kekurangan air, tetapi BANGSA INI JUGA AKAN MERASAKAN PENDERITAAN KARENA KEKURANGAN AIR.

Rabu, 15 Oktober 2008

Orang Jogja Rusuh?? Aneh......

Sebelumnya saya pernah membahas mengapa suporter sepakbola di Pulau Jawa suka rusuh. Saya kembali tertarik membahas hal ini, karena beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pertandingan sepakbola lanjutan kompetisi divisi utama Liga Indonesia, kembali terjadi kerusuhan antar suporter kedua tim yang bertanding. Menariknya, kali ini suporter rusuh dalam pertandingan derby Daerah Istimewa Yogyakarta, PSIM Yogyakarta versus PSS Sleman!!

Kenapa menarik? Menariknya, karena ada paradoks seperti yang pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Orang Jogja yang santun bisa tiba-tiba brutal di sekitar stadion Maguoharjo Sleman setelah menonton pertandingan sepakbola. Mereka tawuran, merusak dan saling serang. Dan lebih mengherankan lagi tawuran terjadi antar sesama Orang Jogja. Orang Jogja gitu loh? Orang Jogja rusuh? Bagi anda-anda yang pernah menetap di Jogja, ini terasa aneh.

Saya sempat menetap dua tahun di Jogja. Jogja Kota yang damai dan tentram. Penduduknya ramah dan sangat-sangat bersahabat. Di Jogja anda tidak perlu khawatir, apa lagi takut, keluar masuk gang atau perkampungan. Tidak akan ada preman-preman kampung yang lagi nongkrong di sudut-sudut gang dan dengan wajah sangar menatap anda dengan pandangan menakutkan, atau menginterogasi anda dengan kasar, atau bahkan memalak anda. Jika dikota-kota lain juru parkir biasanya “brengsek”, di Jogja sangat ramah. Mereka akan melayani anda ditempat parkir dengan santun. Dan ketika anda membayarkan uang parkir pada mereka, mereka akan menunduk hormat dan berterima kasih dengan takzim saat menerima uang dari anda. Selain itu, sebut saja, kernet bis kota, tukang becak, kuli bangunan, dan lain-lain golongan, yang kalau dikota-kota lain biasanya berprilaku kasar, di Jogja, mereka semua begitu santun, ramah dan bersahabat. Bahkan para pemabuk dan kriminal pun tetap saja terkesan santun saat mereka normal. Ya seperti yang saya bahas dulu. Memang tidak ada budaya “kasar” pada orang Jogja.

Bahkan jika anda cermat, di Jogja, angka kejadian kriminal yang menonjol juga jenis-jenis kejahatan “santun”. Di banyak tempat di Jogja, banyak dipampang peringatan, “HATI-HATI, BANYAK CURANMOR”. Anda tentu tahu, pencurian kendaraan bermotor adalah jenis kejahatan yang “tidak gentlemen”. Karena pelakunya melakukan kejahatan itu dengan resiko minimal, karena pemilik kendaraan bermotor sedang tidak berada dekat dengan kendaraannya. Tak banyak kejahatan “gentlemen” di Jogja. Seperti penodongan, perampasan, jambret, atau kejahatan-kejahatan dimana pelaku berhadapan langsung dengan korban dan korban mungkin saja melakukan perlawanan. Begitulah, bahkan jika terpaksa berbuat kriminalpun, orang Jogja memilih “kejahatan yang tidak terlalu mengusik korbannya”.

Itulah Jogja. Nah, sulit dipercaya masyarakat yang demikian bisa rusuh, tawuran dan merusak bukan? Namun, kenyataannya itu terjadi. Baru-baru ini. Dipicu oleh sebuah pertandingan sepakbola. Ini membuat saya semakin yakin dengan analisa saya pada tulisan terdahulu. Bahwa memang kerumunan massa dalam wujud suporter sepakbola menjadi saluran potensi perilaku agresif dan destruktif bagi masyarakat dengan budaya “halus” seperti masyarakat Jogja dan Jawa pada umumnya.

Selasa, 07 Oktober 2008

Memulai (Lagi) Dari Titik Nol...

Setelah melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh, dan setelah ber-Idul Fitri, katanya kita kembali fitrah. Kita ibarat insan yang terlahir kembali. Bersih, tanpa noda dan dosa. Begitu memang idealnya. Tetapi, itu tentu saja jika puasa kita berkualitas dan kita memaknai Idul Fitri sebagaimana tuntunan Ajaran Islam.

Ya, semua kembali ke titik nol. Jika puasa kita benar, segala dosa kita pada sang Khalik, Insya Allah kembali nol. Segala salah dan khilaf dalam hubungan antar manusia, juga kembali nol, karena telah saling bermaafan pada momen Idul Fitri... Benarkah demikian? Yakinkah kita bahwa semuanya memang telah kembali ke titik nol? Tidak ada manusia yang mampu memastikan. Hanya Dia yang tahu.

Hanya satu yang pasti. Yaitu, banyak diantara kita yang kondisi keuangannya kembali ke titik nol!!! Penyebabnya, apalagi kalau bukan karena "habis-habisan" dalam berlebaran. Selesai lebaran, kita nol lagi. Kemudian kita memulai lagi dari titik nol memperbaiki kondisi keuangan. Dengan sebuah gurauan bernada satire, beberapa teman berceloteh: "masih lumayan kalau memulai lagi dari titik nol, kami bahkan harus memulai lagi dari titik minus"... Nah...begitukah makna Idul Fitri dan berlebaran bagi sebagian dari kita?

Selasa, 23 September 2008

Lebaran... lebaran... lebaran

Lebaran…lebaran…lebaran… Yah, saban tahun, lebaran seolah menjadi orientasi hidup setiap orang Indonesia yang mengaku beragama Islam. Bagi para perantau, mereka bekerja keras sepanjang tahun, menabung, dan uangnya itu nanti akan dipakai untuk mudik dan dihabiskan di kampung saat lebaran. Yang bukan perantau, atau perantau yang memutuskan tidak perlu mudik, kondisinya sama saja. Lebaran jadi tujuan segala upaya untuk mengejar simbol-simbol kehidupan duniawi. Mereka merenovasi rumah dengan target sudah harus rampung saat lebaran. Membeli berbagai macam jenis perabotan rumah untuk lebaran. Kredit motor untuk dipakai lebaran. Beli mobil untuk jalan-jalan dan pamer saat lebaran. Memborong berbagai bahan makanan untuk keperluan selama lebaran. Belanja kebutuhan sandang untuk tampil gaya saat lebaran. Pokoknya semua berorientasi untuk lebaran.

Anak-anak kita juga terlanjur kita budayakan untuk berorientasi lebaran. Mereka diajari puasa dengan iming-iming akan dibelikan berbagai barang untuk kebutuhan lebaran; sepatu/sendal baru, beberapa pasang pakaian, mainan, handphone, play station, dan macam-macam lagi.

Orientasi terhadap lebaran ini bukan fenomena sumir. Ia memiliki implikasi sangat besar. Bahkan pada sistem keuangan negara. Tak percaya? Buktinya, oleh pemerintah gaji PNS saja terpaksa dimajukan pembayarannya. Gaji untuk Bulan Oktober 2008 dibayarkan tanggal 25 September 2008. Katanya supaya bisa dimanfaatkan oleh para PNS untuk kebutuhan lebaran. Di kantor-kantor instansi pemerintah, orientasi lebaran ini juga sangat mempengaruhi irama pelaksanaan anggaran. Para bendaharawan didorong oleh para pelaksana proyek untuk segera mencairkan pos-pos anggaran yang sekiranya bisa dimanfaatkan dulu oleh pegawai dikantor bersangkutan untuk keperluan lebaran. Para pegawai diberi Surat Perintah Tugas untuk melaksanakan perjalanan dinas. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menambah penghasilan untuk kebutuhan lebaran. Soal apakah perjalanan dinas itu relevan atau tidak, soal bagaimana pelaksanaan pekerjaan dan bagaimana outputnya nanti, itu urusan belakangan, setelah musim lebaran usai!! Yang jelas sekarang lebaran dulu!!

Lebaran juga menggerakkan sektor riil, sekaligus juga mendongkrak inflasi karena para pedagang komoditas tertentu berlomba-lomba menaikkan harga untuk menangguk untung yang jauh lebih besar untuk kebutuhan lebaran. Selain itu perilaku konsumtif menjelang lebaran juga banyak memaksa masyarakat menjual/menggadaikan barang-barang berharga milik mereka.

Lebaran juga mendorong para perampok, penjambret, pencopet, penipu, dan para kriminal lainnya, untuk meningkatkan intensitas aksi mereka. Tujuannya tentu saja untuk memperoleh “penghasilan” lebih untuk kebutuhan lebaran.

Para gelandangan, pengemis, kaum miskin maupun kaum marginal lainnya juga makin “rajin” menjelang lebaran. Mereka makin semangat meminta-minta, memanfaatkan momen kesalehan sosial sebagian orang yang memang meningkat selama Ramadhan. Mereka juga berlomba-lomba mendatangi rumah-rumah warga untuk meminta diberi zakat. Baik zakat harta atau setidaknya zakat fitrah para penghuni rumah yang didatangi. Tujuannya juga sama, mereka juga ingin berlebaran.

Ya.. lebaran… lebaran… lebaran…..

Sabtu, 20 September 2008

Kenapa Suporter Sepakbola di Pulau Jawa Lebih Brutal?


Anda penggemar, pemerhati, atau sekedar tau persepakbolaan Indoneisa? Jika jawaban anda ya, tentu anda sangat akrab dengan cerita dan berita tentang berbagai kerusuhan, kekisruhan dan kebrutalan seputar sepak bola Indonesia tersebut. Aktornya beragam, mulai dari pemain, pengurus, ofisial, dan sudah pasti, tentu saja penonton/suporter. Kesemuanya pernah "menyumbang" untuk angka statistik kejadian-kejadian memalukan dalam sepakbola Indoneisa. Saling pukul antar pemain, pengeroyokan wasit oleh pemain dan bahkan oleh ofisial, tawuran antar suporter, suporter yang vandalis, anarkis, bahkan kriminalis, merupakan potret yang jamak dalam dunia sepak bola kita. Kondisinya sudah demikian memprihatinkan. Bahkan seorang pengamat sosial pernah melontarkan ide nyeleneh, bahwa tontonan sepak bola Indonesia harus diberi label "untuk 17 tahun ke atas", karena banyaknya unsur kekerasan didalamnya.

Namun, yang berdampak sosial lebih luas adalah ulah penonton/suporter. Suporter yang rusuh bisa saling serang, bahkan saling bunuh. Mereka juga merusak apa saja yang mereka jumpai, tak peduli itu milik pribadi, milik pemerintah, swasta atau fasilitas umum sekalipun. Kerusuhan suporter bisa menimbulkan korban manusia dan menyebabkan kerugian materil yang nilainya terkadang amat besar. Selain itu kerusuhan suporter ini mengancam bahkan merusak ketenangan hidup masyarakat. Menimbulkan kecemasan dan trauma psikologis bagi khalayak.

Apakah anda cukup memperhatikan? Ternyata kasus-kasus kerusuhan suporter sepak bola Indonesia itu hanya banyak terjadi di Pulau Jawa saja. Berkali-kali kita dengar, yang rusuh itu Bonek-nya Persebaya Surabaya, Bobotoh-nya Persib Bandung, Jak Mania-nya Persija, Aremania-nya Arema Malang, dan lain-lain. Berkali-kali klub-klub tersebut terpaksa menerima sanksi gara-gara ulah rusuh suporter mereka sendiri. Pernahkah anda mendengar suporter PSMS Medan rusuh? atau suporter PSM Makasar? suporter Persipura? dan suporter klub-klub lainnya di Luar Pulau Jawa? Hampir tidak pernah. Kalaupun ada, skalanya kecil, hampir tidak berarti.

Pertanyaannya, kenapa suporter sepakbola di Pulau Jawa begitu gampang rusuh? sedangkan suporter sepakbola diluar Pulau Jawa cenderung adem-adem saja? Pertanyaan ini menjadi menarik, karena ada ironi. Etnis-etnis penghuni Pulau Jawa yang secara kultural kita kenal, adem, ramah, santun, ewuh pakewuh, tipo siliro, dan lain-lain, kenapa menjadi sangat brutal ketika menjadi suporter sepakbola? sebaliknya etnis-etnis di luar Pulau Jawa yang secara kultural pencitraannya; berwatak keras, lugas, kurang basa basi, dan lain-lain, malah tidak pernah rusuh di arena sepakbola. Ironis bukan?

Banyak sosiolog, antropolog, dan ahli psikologi massa yang telah menjelaskan fenomena ini. Pernah di satu tabloid seorang ahli membahas, bahwa penonton sepakbola di Jawa gampang rusuh berkaitan dengan falsafah hidup orang Jawa itu sendiri. Kesimpulannya kurang lebih begini. Etnis Jawa sangat mementingkan harmoni dalam kehidupan mereka. Mereka juga sangat mengagungkan martabat dan kehormatan. Nah, sebuah kekalahan bagi mereka adalah gangguan terhadap harmoni kehidupan mereka, karena telah mencederai martabat dan kehormatan mereka. Jadi identifikasi diri yang terlalu kuat terhadap klub sepakbola yang mereka dukung, menyebabkan mereka merasa tercabik-cabik rasa bangga akan martabat dan kehormatannya itu. Oleh karena itu mereka gampang marah dan rusuh jika klub yang mereka dukung kalah. Bagaimana menurut anda analisa tersebut?

Bagi saya, fenomena rusuh suporter sepak bola di Pulau Jawa tersebut bisa dijelaskan sebagai berikut. Pada dasarnya, manusia dari etnis apa saja, punya potensi sifat-sifat agresif dan destruktif. Namun pada etnis Jawa secara umum, sifat-sifat seperti itu tidak mendapat tempat penyaluran dalam budaya mereka. Budaya mereka hanya memberi tempat pada sikap yang santun, ramah, sopan, manut/patuh, dan perilaku-perilaku lembut lainnya. Ini terlihat dari bahasa, gerak tubuh dan perilaku orang Jawa sehari-hari. Anda bisa rasakan ini jika anda berada dan bergaul di pulau Jawa pada umumnya. Pernahkah anda ke Parahyangan, Jogja atau Solo? jika pernah, pasti anda bisa rasakan betapa santunnya masyarakat disana dalam bergaul, baik bertutur maupun bertingkah laku. Nah, karena tidak ada tempat untuk perilaku agresif, destruktif, mereka cenderung menekan sifat itu. Namun ia tetap ada, hanya disembunyikan atau ditekan untuk tidak muncul dalam pergaulan sehari-hari, karena memang lingkungan mereka tidak bisa menerima perilaku seperti itu. Lama-lama akan terakumulasi dan butuh penyaluran untuk muncul kepermukaan. Nah, akhirnya potensi perilaku agresif dan destruktif itu mendapat tempat penyalurannya saat mereka lebur dalam sebuah kerumunan massa berbentuk suporter sepak bola, dimana identitas mereka secara orang perorang lebur, tidak gampang diketahui dan terlindungi oleh identitas mereka sebagai kumpulan massa. Disanalah mereka lampiaskan semua potensi sikap agresif dan destruktif yang terpendam. Begitu ada pemicunya, yaitu kekalahan tim sepakbola yang mereka dukung, meledaklah semua, dan ledakannya tentu sangat dahsyat.

Kondisi seperti ini tidak terjadi pada etnis diluar Pulau Jawa. Budaya mereka tidak "halus" seperti di Pulau Jawa. Mereka lebih spontan, apa adanya, blak-blakan, dan lain-lain. Lihat saja orang Sumatera Utara, orang Makasar, Papua dan lain-lain. Suara dan bicara mereka keras, lantang dengan logat yang tegas. Mereka lebih lugas dalam menyatakan pendapat. Mereka terbiasa bereaksi secara keras terhadap sesuatu yang dianggap kurang berkenan bagi mereka. Tidak ada hal yang disimpan-simpan, semua dilontarkan, walau kadang terkesan "kasar". Begitu mereka jadi suporter sepakbola, tidak ada akumulasi prilaku agresif, kasar dan agresif yang perlu disalurkan. Karena itu jarang terjadi kerusuhan suporter sepakbola di luar Pulau Jawa.

Kamis, 18 September 2008

Muslim Indonesia "Belum Wajib Naik Haji"


Rukun Islam Kelima, yaitu menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, adalah wajib atas setiap muslim yang mampu. Namun, juga dipersyaratkan bahwa muslim yang berangkat haji haruslah benar-benar mampu. Jangan sampai seorang muslim berangkat haji, namun saudara dan kerabat yang ditinggalkan terlantar. Artinya, jangan memaksakan diri untuk pergi haji, yang butuh biaya cukup besar, dengan mengorbankan biaya untuk kebutuhan hidup layak bagi saudara atau kerabat yang ditinggal. Namun, selama ini kita terjebak pada simplifikasi, bahwa yang dimaksud saudara itu hanya saudara dan kerabat yang masih memiliki pertalian darah dengan kita saja. Kita lupa, bahwa dalam konsep Ukhuwah Islamiah, semua muslim itu bersaudara...lebih erat dari pada hanya hubungan sedarah, karena kesamaan aqidah yang mengikatnya.

Tiap tahun Indonesia memperoleh kuota sebanyak 300.000 calon jemaah haji. Saat ini ongkos naik haji mencapai angka Rp. 30.000.000. Artinya biaya yang dikeluarkan jemaah haji Indonesia setiap tahun berjumlah 90 trilyun Rupiah!! Belum lagi dana yang masih parkir dalam bentuk tabungan haji, karena masih masuk daftar tunggu untuk berangkat haji, jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Banyak juga yang masih ingin naik haji untuk yang kedua, ketiga, atau kesekian kalinya. Namun sungguh ironis, disisi lain, masih banyak umat Islam Indonesia yang tidak cukup makan, tidak cukup pakaian, tidak memiliki perumahan yang layak, tidak mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Bahkan lebih tragis lagi, banyak umat yang bayinya busung lapar, yang bunuh diri karena himpitan beban hidup.. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah, banyak umat yang murtad, pindah agama, demi terjaminnya kelangsungan hidup mereka!!

Dengan kondisi demikian, pikiran awam saya menggugat, benarkah umat Islam di Indonesia ini telah wajib menunaikan ibadah haji? Tidakkah akan lebih besar manfaatnya bagi kemaslahatan umat jika dana jemaah haji yang berjumlah 90 trilyun rupiah/tahun itu di salurkan saja untuk umat? Angka 90 trilyun Rupiah itu barangkali mampu mengentaskan semua umat yang miskin di 2 atau 3 provinsi tiap tahunnya. Bukankah setiap muslim itu bersaudara? Bukankah hanya beberapa meter dari pintu rumah kita, masih ada tetangga muslim yang menjerit karena terlilit kemiskinan? Bukankah masih banyak saudara muslim kita yang menjadi gelandangan dan pengemis dijalanan? Juga, bukankah masih banyak saudara muslim kita yang gampang dimurtadkan karena mereka miskin? Nah, sebelum semua saudara muslim kita itu mampu hidup secara layak dan bermartabat, menunaikan ibadah haji belumlah wajib bagi kita. Ongkos naik haji yang telah kita siapkan itu harusnya lebih berhak diterima oleh sudara-saudar muslim kita yang miskin itu.

Lagi-lagi pendapat awam saya berkeyakinan, Allah SWT akan memberi pahala sama atau bahkan lebih dari pahala haji, jika umat yang telah berniat untuk menunaikan ibadah haji, akhirnya malah mengikhlaskan semua ongkos naik haji mereka tersebut disumbangkan untuk mengentaskan berbagai persoalan umat, terutama masalah kemiskinan. Sebaliknya, saya yakin, tidak akan bernilai ibadah haji yang kita laksanakan dengan memaksakan diri. Berangkat haji dengan menerlantarkan sebegitu banyak umat ditanah air yang masih membutuhkan bantuan. Mana yang lebih bernilai? melaksanakan ibadah haji yang sebenarnya belum wajib atas diri kita, ketimbang membantu saudara-saudara kita yang barangkali saja terancam aqidahnya karena kemiskinan mereka? Mana yang lebih bernilai? Melaksanakan ibadah haji yang hanya bernilai ibadah individual, ketimbang membiayai pendidikan puluhan anak yatim piatu dari sesama kaum muslim, yang akan meningkatkan kualitas, harkat dan martabat umat secara umum? Apalagi jika dalam pelaksanaan ibadah haji tersebut masih tersirat dalam kalbu kita unsur ria. Yaitu adanya unsur selain karena Allah dalam pelaksanaan ibadah haji kita tersebut. Misalnya, agar dipuji oleh masyarakat, agar gelar haji bisa jadi pendongkrak pamor untuk maju ke ajang pemilu/pilkada, berangkat haji sambil berwisata, berbelanja, dan lain-lain.

sebagai awam, saya berharap agar komisi fatwa MUI memfatwakan:

Bahwa bagi muslim Indonesia belum ada kewajiban untuk menunaikan Ibadah haji, karena masih banyak saudara-saudara kita sesama muslim yang miskin dan bahkan terancam aqidahnya karena kemiskinan itu. Adalah kewajiban kita bersama untuk mengentaskannya.

Bahwa bagi umat Islam Indonesia, karena belum ada kewajiban menunaikan ibadah haji, maka menyumbangkan uang bagi kemaslahatan umat minimal senilai ongkos naik haji, telah sama nilai ibadah dan pahalanya dengan berangkat menunaikan ibadah haji ke tanah suci.

Bagi saya kondisi ini sangat urgen untuk kita renungkan. Ibadah haji selama ini hanya menjadi "Ibadah Mercu Suar" di tengah lautan kemelaratan umat. Mereka-mereka yang mampu selalu berdalih, mereka sudah merasa "terpanggil" untuk segera berangkat haji. Mereka berangkat dengan segala rasa bangga dan bahagia. Sementara, disaat yang sama barangkali ada tetangga mereka yang sedang kelaparan, atau ada tetangga mereka yang sedang pontang-panting mencari pinjaman untuk melanjutkan pendidikan anak mereka.

Sebagian mereka yang mampu berangkat haji itu juga sering berdalih, bahwa mereka telah berhak berangkat haji. Soal masih banyak umat yang miskin, toh mereka juga sudah berinfaq dan bersedekah. Tapi sadarkah mereka? hanya berapa nilai infaq dan sedekah mereka itu? sadarkah mereka bahwa itu masih sangat kurang? Beranikah mereka bersedekah sejumlah ONH? Ikhlaskah mereka menyumbangkan ONH-nya itu? Atau memang kebanggaan menjadi haji jauh lebih berharga ketimbang menyelamatkan sesama saudara muslim?

Demikian sekelumit pemikiran "aneh" saya. Pemikiran saya ini memang tidak memiliki landasan syariat.. Tapi cobalah renungkan baik-baik....saya yakin banyak kadar kebenarannya..

Minggu, 14 September 2008

Memilih Untuk Tidak Memilih

Semenjak reformasi menggelinding di Indonesia tahun 2008 lalu, hingga sekarang, euforia demokrasi benar-benar terasa. Hampir semua aspek kehidupan diwarnai oleh semangat kebebasan. Kebebasan Pers mengalir deras bak semprotan air dari slang pemadam kebakaran. Kehidupan sosial politik juga penuh dinamika oleh berbagai perubahan yang dilandasi oleh semangat kebebasan.

Di ranah politik, perubahan itu terasa begitu drastis. Reformasi sekonyong-konyong merubah wajah perpolitikan Indonesia dari keterkungkungan otoritarian menjadi politik demokrasi liberal. Bahkan dunia internasional mengakui, bahwa saat ini Indoneisa termasuk negara yang paling demokratis di dunia. Yang paling menarik dari demokrasi politik Indonesia saat ini adalah, rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya, mulai dari tingkat presiden sampai pada tingkat bupati/walikota.

Namun, agak unik memang Indoneisa ini. Meskipun kran kebebasan telah dibuka selebar-lebarnya, namun masih belum berimplikasi positif pada perbaikan kondisi berbangsa dan bernegara. Pemilu langsung juga demikian. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang baik, mumpuni, serta mampu membawa kemajuan, yang lebih banyak kita dengar sebagai output dari pemilu langsung itu, tak lebih hanya cerita mengenai kisruh hasil penghitungan suara, konflik antar pendukung peserta pemilu/pilkada, soal gugat menggugat karena kalah dalam pemilihan, dan lain-lain masalah yang keseluruhannya kontra produktif bagi perbaikan kondisi bangsa.

Kondisi tersebut akhirnya memunculkan fenomena semakin banyaknya pemilih yang tidak mau lagi menggunakan hak pilihnya (golput) pada setiap ajang pemilihan pemimpin. Statistik hasil pemilu/pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa kaum golput ini seringkali "menang" dalam berbagai ajang pilkada. Tak jarang jumlah suara golput jauh mengungguli jumlah suara yang diraih pemenang pilkada.

Gejala apa ini? Apakah masyarakat menjadi semakin apatis politik? Bisa jadi ya. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan tadi, masyarakat menganggap pemilu/pilkada tidak menghasilkan perbaikan bagi kehidupan mereka. Namun jika kita berfikiran sedikit modifikatif, fenomena golput tersebut bukanlah sebuah kondisi yang negatif. Malah sebaliknya, positif.

Bisa saja orang golput, karena merasa semua kandidat itu sama, punya visi dan misi yang bagus. Tidak ada program mereka yang tidak bertujuan untuk kebaikan. Nah, jika semuanya mengusung program yang bagus, dan seandainya program-program tersebut benar-benar mampu mereka realisasikan, tentu tidak jadi masalah siapapun yang akan memenangi pemilihan. Karena pasti akan membawa kebaikan. Jadi untuk apa ikut memilih? Dalam perspektif seperti ini, orang yang menggunakan hak pilih malah patut dicurigai. Sangat mungkin motif mereka memilih hanya karena dasar primordialisme, sektarianisme, ataupun karena kedekatan psikologis dengan calon tertentu. Atau memilih hanya karena punya kepentingan yang hanya akan terakomodir jika calon tertentu yang memenangi pemilihan. Bukankah kondisi yang demikian malah merupakan potensi masalah? Primordialisme dan sektarianisme hanya akan merusak ke-bhinekaa-an dalam NKRI. Memilih karena dasar suka/tidak suka secara psikologis terhadap seorang calon, juga bukan sebuah ukuran yang objektif. Terlebih lagi kalau memilih atas dasar kepentingan. Malah akan menjadi embrio makin parahnya KKN jika pemimpin yang dipilih menjabat kelak.

Jadi, jika dasarnya untuk tercapainya kebaikan bersama, pemilih yang paling ideal justru adalah mereka yang golput. Bagi kaum golput, tidak menjadi masalah siapa saja yang menjadi pemimpin, asal berorientasi pada kebaikan bersama. Dan bukankah sebenarnya golput itu juga sebuah pilihan? Yaitu “memilih untuk tidak memilih”. Jadi, tidak menjadi persoalan jika orang memilih untuk tidak memilih. Apalagi kalau patisipasi politik dari rakyat, dengan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu/pilkada, hanya dibutuhkan sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan belaka..lebih baik golput saja….

Jumat, 12 September 2008

Dua, Sepasang, Kembar

Ada makna yang tumpang tindih pada kata-kata judul diatas. Dua adalah jumlah objek tertentu setelah satu. Sepasang juga dua, jika dilihat dari jumlah objeknya. Kembar juga dua dari segi jumlah objek. Tak gampang juga memilah-milah penggunaan kata-kata tersebut.

Kata dua, sangat jelas penggunaannya. Setelah satu, ya dua. Sepasang, biasanya digunakan orang untuk menjelaskan dua kata yang saling berlawanan tapi saling melengkapi. Seperti kiri-kanan untuk alas kaki, laki-laki dan perempuan, suami-istri, dan lain-lain. Tetapi walaupun tidak berlawanan dan tidak saling melengkapi, kadang orang juga memberi label sepasang untuk objek tersebut. Misalnya, dalam contoh kalimat, "pada turnamen itu Indonesia hanya mengirim sepasang ganda putra". Kemudian kata kembar. Biasanya orang menyebut kata kembar untuk menjelaskan dua objek yang mirip atau bahkan sama persis. Misal dua menara WTC yang runtuh karena serangan teroris pada 11 September 2001, disebut Twin Tower (menara kembar). Namun, kata kembar tidak melulu menjadi padanan kata dua. Kembar juga digunakan untuk sesuatu yang sama atau mirip walau berjumlah lebih dari dua.

Tapi anehnya kata kembar juga digunakan untuk jadi keterangan kata untuk dua objek atau lebih yang tidak sama atau tidak mirip. Contohnya, ada istilah program kota kembar, yang melibatkan beberapa kota. Padahal sama sekali tidak ada kemiripan pada kota-kota tersebut. Bayi yang lahir dua atau lebih juga disebut bayi kembar walaupun mereka tidak mirip satu sama lain. Bahkan walaupun jenis kelamin mereka berbeda, tetap saja disebut bayi kembar. Agak rancu memang penggunaan kata-kata, dua, sepasang, dan kembar, tersebut.

Namun bagi saya kata-kata tersebut memiliki makna tersendiri. Ada satu rangkaian kalimat yang bisa saya susun dengan unsur ketiga kata tersebut, yang mewakili kehidupan saya saat ini. Yaitu: Pada 14 Agustus 2008, SEPASANG suami istri, dikarunia anak KEDUA, KEMBAR laki-laki. Itulah keluarga saya saat ini....

Persepsi

Barangkali setiap individu ingin dipersepsikan positif oleh individu-individu lain pada berbagai lingkungan sosialnya. Orang akan merasa bangga jika merasa dirinya dipersepsikan positif oleh orang lain. Karena persepsi positif tersebut akan berujung dengan perolehan pengakuan atas kapabilitas dirinya, pujian, penghargaan, dan lain-lain, yang keseluruhannya itu mampu mengisi kebutuhan batin seorang manusia akan eksistensi diri. Sebuah kebutuhan pada hierarki tertinggi bagi seorang manusia.

Tentu sangat membanggakan, jika kita memperoleh persepsi positif dari lingkungan, dan sepanjang tidak berlebihan, tidak ada yang salah dengan rasa bangga itu. Namun, tentunya jika persepsi tersebut memang sesuai dengan kenyataan apa adanya yang memang ada pada diri kita.

Namun sebaliknya, akan menjadi beban yang teramat berat, jika persepsi positif tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat, atau malah berlebihan, dialamatkan pada diri kita. Karena bisa jadi persepsi positif tersebut kita dapat karena kesimpulan orang lain tentang diri kita terlalu prematur, kurang dasar pertimbangan, atau bahkan karena sebuah kamuflase yang sengaja maupun tidak sengaja kita tampilkan. Atau bisa saja orang memberi persepsi positif tentang diri kita secara pukul rata. Kita dianggap/dinilai positif untuk semua hal, hanya karena beberapa hal yang telah kita lakukan kebetulan sangat memuaskan dan bernilai positif bagi orang-orang yang menilainya. Seperti seorang bawahan yang kebetulan berhasil membuat puas atasannya karena telah mengerjakan beberapa tugas dari atasannya tersebut dengan baik, sehingga sang atasan berkesimpulan si bawahan ini adalah seorang staf yang handal. Padahal belum tentu demikian.

Nah, saat ini saya sedang mengalami kondisi tersebut. Persepsi positif lingkungan terhadap saya, saya rasa sangat berlebihan. Orang-orang terlalu over estimate terhadap diri saya, dalam segala hal. Ini membebani saya. Karena ada ekspektasi yang berlebihan dari lingkungan terhadap diri saya. Harusnya saya bisa menyikapinya secara positif. Yaitu dengan menjadikannya sebagai salah satu energi pendorong agar apa-apa yang dipersepsikan positif oleh orang-orang itu, benar-benar mampu saya lakukan dan benar-benar menjadi sesuatu yang inheren dengan diri saya. Namun, itulah. Bagi saya itu cuma menjadi beban yang kadang berpengaruh negatif pada ritme hidup saya. Karena terkadang menyebabkan kita seolah terpenjara untuk harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan persepsi dan ekspektasi orang terhadap diri kita. Kita tidak bisa lagi menjadi diri kita yang sebenarnya dan apa adanya secara utuh. Ya...mungkin memang benar juga syair lagunya Ahmad Albar, bahwa dunia ini, panggung sandiwara.....

Atau barangkali kita juga sering salah mempersepsikan apa sebenarnya persepsi orang tentang diri kita...? Sehingga kita merasa harus bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan persepsi kita mengenai apa persepsi orang terhadap diri kita? Hmmm... rumit dan tidak sederhana bukan? Pantas saja terori-teori berbasis paham interaksionisme simbolik terasa begitu abstrak untuk dipahami dibangku kuliah dulu.....kadang terasa terlalu absurd..

Rabu, 06 Agustus 2008

Over Load

Belakangan ini saya merasakan dilema dalam bekerja. Pada satu sisi saya senang dan bangga, karena beberapa pekerjaan yang dibebankan oleh atasan pada saya bisa saya selesaikan dengan baik dan tepat waktu, dan outputnya mendapat apresiasi yang bagus dari atasan. Atasan terlihat puas dengan hasil pekerjaan saya. Bahkan pernah juga terlontar pujian dari atasan atas kinerja saya. Namun, disisi lain kondisi itu malah menjadi "bumerang" buat saya. Saya jadi sangat dipercaya. Mendadak, berbagai macam tugas dan tanggung jawab dibebankan pada saya. Padahal, menurut saya beberapa diantaranya saya tidak akan mampu mengerjakannya dengan optimal. Namun, karena terlanjur diyakini mampu dan dipercaya, atasan tetap mempercayakan berbagai pekerjaan itu pada saya. Sebagai bawahan, saya tentu tidak punya alternatif pilihan, selain melaksanakannya.

Sekarang, saya benar-benar terbebani oleh pekerjaan tersebut. Udah over load rasanya. Kadang energi, baik fisik maupun fikiran, serasa tidak mampu lagi digenjot. Ibarat komputer yang terlalu banyak Runing Program sekaligus, ia malah jadi lelet, bahkan bisa hang. Yang lebih menyedihkan, saya jadi tidak bisa lagi menikmati hidup. Anak istri jadi sering terabaikan, karena beberapa pekerjaan terpaksa dibawa pulang ke rumah untuk mengejar deadline. Rutinitas olah raga saya juga jadi terganggu. Kondisi fisik jadi tidak stabil. Sekarang saya cuma berharap semoga penyakit tidak segera datang menggerogoti tubuh. Sedangkan untuk kesehatan mental dan jiwa, saya belum punya solusi untuk kembali me-refresh-nya..

Senin, 30 Juni 2008

Pendiam....

Ayah saya mungkin termasuk orang yang sangat pendiam. Agak susah ngajak beliau ngobrol panjang lebar. Bahkan dengan anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, ayah cenderung bicara seperlunya saja.

Saya tidak bisa memastikan penyebab kenapa ayah begitu pediam. Kata orang, orang pendiam itu bisa jadi karena dia rendah diri. Ada juga yang bilang orang pendiam itu karena pengetahuan/wawasannya sempit, sehingga dia tidak punya banyak bahan untuk bicara/ngobrol panjang lebar. Ada juga yang bilang orang jadi pendiam pada situasi sosial tertentu karena ia merasa tidak perlu banyak bicara pada situasi tersebut. Apapun itu, yang pasti ayah saya sangat pendiam dalam segala situasi dan kondisi.

Namun, walau pendiam, ayah saya pernah bikin orang keki. Suatu ketika, saat ngantri uang pensiun, beliau ketemu dengan salah seorang temannya saat masih bekerja. Baru kali ini mereka ketemu saat sama-sama ngantri uang pensiun setelah bertahun-tahun tidak pernah ketemu. Sebagaimana layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu, mereka terlibat obrolan ringan, antara lain ngobrol soal kondisi keluarga masing-masing. Seperti biasa, ngobrol dengan siapapun dan membicarakan masalah apapun, ayah selalu bicara dan menjawab seperlunya.

"Gimana keadaanmu sekarang?" tanya si teman ayah basa-basi memulai obrolan. Ayah menjawab singkat, "Alhamdulillah baik". Si teman ayah melanjutkan, "Aku sekarang lumayan enaklah, anak-anak udah pada berhasil. Mereka bisa sekolah sampai perguruan tinggi, lanjutnya. Kemudian ia menyebut perguruan tinggi-perguruan tinggi swasta di Padang tempat anak-anaknya kuliah. Anakku yang sulung malah udah jadi bidan sekarang, dan banyak bantu-bantu biaya kuliah adik-adiknya", kata si teman ayah bangga. Ayah mendengar dengan penuh perhatian sambil sesekali mengangguk-angguk dan mengulum senyum, kemudian berkomentar singkat, "Alhamdulillah kalau begitu. Si teman ayah yang merasa udah di "atas angin" dan sedikit under estimate pada kondisi ayah sekarang, karena ia lihat ayah cuma diam dan gak bercerita apa-apa soal anak-anaknya, kemudian bertanya, "anak-anakmu gimana sekarang"? "Alhamdulillah juga baik" kembali ayah menjawab singkat. "Udah pada selesai mereka sekolah"? kejar si teman ayah. "Yang sulung udah, dan adik-adiknya masih sedang kuliah", jawab ayah. "Yang sulung itu udah dapat kerja"? si teman ayah terus mengejar. "Alhamdulillah sudah", jawab ayah pelan. "Kerja dimana"? Si teman ayah makin tak sabar bertanya. "Di rumah sakit Dr. Achmad Muchtar" (RSUP di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), jawab ayah masih dengan suara datar. "Ooo...kerja sebagai apa? perawat ya"? si teman ayah menyimpulkan. Ayah sedikit terdiam, trus dengan tetap berusaha bernada wajar beliau menjawab, "bukan perawat...., dokter". Si teman ayah terlihat gelagapan. Sejenak dia tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Setelah hening beberapa saat, si teman ayah kembali bertanya, "adik-adiknya kuliah dimana”? kali ini nada suara si teman ayah lebih rendah dan terkesan hati-hati… Ayah sebenarnya sudah enggan menjawab. Beliau sudah tidak enak hati karena temannya itu gelagapan mendengar jawabannya yang terakhir tadi. Tapi karena kelihatannya si teman ayah itu memang ingin sekali mendengar jawaban ayah, ayah kembali menjawab singkat, “untungnya mereka kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, karena kami gak akan mampu biayai kalau mereka kuliah di swasta. Baru inilah jawaban ayah yang disertai keterangan. Berikutnya si teman ayah benar-benar tidak bicara lagi…dan ayah makin jadi tidak enak hati.

Begitulah ayah saya. Si pendiam yang sangat tidak mau menonjol-nonjolkan diri dan keluarganya. Namun sifat diamnya itu kadang dianggap orang sebagai sebuah bentuk kesombongan juga. Seperti cerita di atas, si teman ayah menganggap ayah melakukan kesombongan pasif (kalau boleh diistilahkan demikian). Padahal, saya yakin betul, ayah benar-benar tidak bermaksud membuat temannya itu merasa kalah. Beliau Cuma menjawab apa adanya, karena memang begitulah beliau dari dulunya.

Senin, 23 Juni 2008

Profesi Yang "Membunuh" Nasionalisme

Hingar bingar Euro 2008 belum mencapai puncaknya. Namun, dari pesta sepakbola benua biru itu ada hal penting yang patut jadi bahan diskusi, yaitu soal nasionalisme. Jika anda memang penggemar sepakbola, atau setidaknya tertular demam sepakbola selama perhelatan Euro 2008, pasti melihat beberapa momen "menarik" berkaitan dengan nasionalisme. Antara lain:
Striker Jerman, Lucas Podolsky, terlihat dingin, nyaris tanpa ekspresi dan tidak melakukan selebrasi selepas mencetak gol ke gawang Polandia di babak penyisihan group. Podolsky adalah pemain Jerman berdarah Polandia.
Juga terjadi pada babak penyisihan group, striker Swiss, Hakan Yakin, yang keturunan Turki, juga memperlihatkan perilaku yang sama, dingin dan tanpa selebrasi setelah melesakkan gol ke gawang Tim Nasional tanah leluhurnya itu.
Guus Hidink, pelatih Rusia berkebangsaan Belanda terlihat begitu gembira dan berjingkrak-jingkrak kegirangan ketika tim asuhannya membekap Belanda 3 - 1 pada babak perempat final.
Ada ironi dalam tiga contoh momen di atas. Para pemain terlihat "menyesal" menjebol gawang tim lawan yang kebetulan adalah tim dari tanah leluhur mereka. Namun, pelatih, malah memperlihatkan sikap sebaliknya.
Para pemain seperti Lucas Podolsky dan Hakan Yakin, terlihat seolah masih memiliki nasionalisme ganda. Di satu sisi ingin memberikan kemenangan untuk tim negara mereka saat ini, namun disisi lain mereka juga seolah tidak tega melihat tim dari tanah leluhur mereka itu "terluka" oleh gol yang mereka buat. Sebab gol mereka itu tentunya juga "melukai" hati seluruh warga negara leluhur mereka tersebut. Akan tetapi perasaan seperti yang dirasakan oleh kedua pemain itu agaknya tidak dirasakan oleh Guus Hidink. Seolah tak berperasaan, Hidink mengiris-iris hati semua orang Belanda dengan ekspresi bahagianya ketika tim asuhannya Rusia mengalahkan Belanda.
Kenapa ironi seperti itu muncul? Tentunya karena Profesi. Para pemain saat membela negara mereka dalam ajang antar negara tidak dibayar sebagaimana ketika mereka membela klub mereka masing-masing. Sedangkan pelatih, sebagaimana halnya Guus Hidink, dibayar dengan nilai yang tinggi ketika melatih sebuah tim nasional suatu negara dalam suatu ajang seperti Euro 2008 ini. Konsekwensinya, ia harus menjalankan profesinya itu secara profesional, termasuk dengan "membunuh" rasa nasionalisme. Makanya Hidink bisa bersuka cita disaat seluruh saudara sebangsa dan setanah airnya mengalami duka cita yang mendalam. Ternyata profesi sebagai pelatih sepakbola bisa mengikis bahkan "membunuh" rasa nasionalisme.