Namun, kondisi Cilampuyang yang sedemikian rupa, membuat kegiatan yang satu minggu tersebut memberikan berbagai kesan dan pengalaman tersendiri, yang belum pernah saya rasakan pada kegiatan-kegiatan sejenis sebelumnya, antara lain merasakan kekurangan air. Saya pernah beberapa kali mengikuti kegiatan pembekalan, pelatihan, maupun penyegaran. Tempat pelaksanaannya juga beragam. Pernah di Balai Diklat Kehutanan, di Balai Diklat Pemda, di Pusdiklat Kehutanan, dan bahkan pernah di hotel berbintang empat di Ibu
Nah, di Cilampuyang kondisinya bertolak belakang. Hari pertama saat saya tiba, saya tidak bisa langsung mandi, karena sama sekali tidak ada air di kamar mandi asrama. Terpaksa, dalam kondisi lelah dan lecek karena habis menempuh perjalanan jauh dari
Ternyata sumber air yang dijanjikan akan mengalir tersebut juga sangat terbatas. Air dibawa dari
Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan mandi, baik pagi maupun sore, serta buang hajat tentunya, menjadi suatu kebutuhan yang memerlukan perjuangan dan kesabaran yang luar biasa untuk memenuhinya. Jumlah kamar mandi yang hanya 8 unit dan dengan bak-bak air yang relatif kecil, harus kami gunakan untuk 70 orang peserta. Kami harus saling berebut duluan jika ingin mandi agak berkualitas, yaitu mandi dengan kondisi air yang cukup dan bersih. Jika dapat giliran-giliran terakhir, mandilah dengan beberapa gayung air saja, yang mudah-mudahan masih bersih. Selain itu, kami harus menyetel jam biologis kami untuk buang hajat sesuai dengan ketersediaan air. Jangan sampai mau buang hajat saat air tidak ada!
Pada hari pertama, mulai jam 6 pagi, kami antri panjang untuk mandi. Saya berpikir, besok harus bangun paling awal untuk bisa mandi duluan. Ternyata teman-teman lain berpikiran sama. Alhasil jam 4 dini hari telah terjadi antrian mandi!! Sial…
Demikianlah pengalaman kekurangan air di Cilampuyang. Tapi kami sebagai rimbawan tidak cukup cengeng untuk menganggap itu sebagai pengalaman buruk, apalagi sampai menimbulkan trauma. Kami terlalu tangguh untuk takluk hanya oleh kendala susah mandi dan hajat saja. Kami tetap mengikuti kegiatan dengan penuh semangat, antusias, fokus, demi tercapainya tujuan kegiatan tersebut, yaitu menjadikan kami sebagai Pejabat Fungsional PEH yang berwawasan dan berpengetahuan luas, berintegritas, berorientasi berbuat yang terbaik bagi masyarakat dibidang kehutanan, dan tentu saja TIDAK CENGENG!!!
Dan ternyata, kondisi kekuarangan air tersebut juga memiliki makna dan hikmah tersendiri bagi kami, Pejabat Fungsional PEH Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Jenderal RLPS memiliki tugas pokok dan fungsi dalam merehabilitasi hutan dan lahan serta melaksanakan konsep perhutanan sosial sehingga berimplikasi pada konservasi tanah dan air. Intinya, kami bekerja dalam rangka menjamin keberlanjutan ketersedian air sebagai sumber kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar