Kamis, 30 Oktober 2008

Merasakan Kekurangan Air


Saya baru saja mengikuti Pembekalan Teknis dan Manajerial Bagi Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Wilayah Indonesia Bagian Barat, di Cilampuyang Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pembekalan tersebut terbilang singkat, hanya satu minggu.

Namun, kondisi Cilampuyang yang sedemikian rupa, membuat kegiatan yang satu minggu tersebut memberikan berbagai kesan dan pengalaman tersendiri, yang belum pernah saya rasakan pada kegiatan-kegiatan sejenis sebelumnya, antara lain merasakan kekurangan air. Saya pernah beberapa kali mengikuti kegiatan pembekalan, pelatihan, maupun penyegaran. Tempat pelaksanaannya juga beragam. Pernah di Balai Diklat Kehutanan, di Balai Diklat Pemda, di Pusdiklat Kehutanan, dan bahkan pernah di hotel berbintang empat di Ibu Kota Negara Jakarta. Dari berbagai tempat tersebut, walau tingkat kondisi sarana dan prasarananya bervariasi, namun ketersediaan air - terutama untuk kebutuhan MCK - sangat memadai. Bahkan tidak terbatas.










Nah, di Cilampuyang kondisinya bertolak belakang. Hari pertama saat saya tiba, saya tidak bisa langsung mandi, karena sama sekali tidak ada air di kamar mandi asrama. Terpaksa, dalam kondisi lelah dan lecek karena habis menempuh perjalanan jauh dari Padang, saya langsung beristirahat dan tidur. Tidak nyaman tentu saja. Menurut panitia, air baru besok bisa mengalir. Lokasi tempat kegiatan ini memang berada diperbukitan yang tentunya sulit air. Walaupun musim kemarau belum memasuki puncaknya.

Ternyata sumber air yang dijanjikan akan mengalir tersebut juga sangat terbatas. Air dibawa dari Bandung dengan mobil tanky berkapasitas lebih kurang 5.000 Liter. Air dari tanky tersebut di pindah ke reservoir penampungan. Dari reservoir, air kemudian dialirkan ke bak-bak penampungan di beberapa kamar mandi yang ada di asrama peserta. Susahnya, air cuma dialirkan ke kamar mandi dua kali sehari. Dini hari untuk kebutuhan mandi pagi, dan siang hari untuk kebutuhan mandi sore. Begitu bak-bak dikamar mandi terisi penuh, air berhenti mengalir.

Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan mandi, baik pagi maupun sore, serta buang hajat tentunya, menjadi suatu kebutuhan yang memerlukan perjuangan dan kesabaran yang luar biasa untuk memenuhinya. Jumlah kamar mandi yang hanya 8 unit dan dengan bak-bak air yang relatif kecil, harus kami gunakan untuk 70 orang peserta. Kami harus saling berebut duluan jika ingin mandi agak berkualitas, yaitu mandi dengan kondisi air yang cukup dan bersih. Jika dapat giliran-giliran terakhir, mandilah dengan beberapa gayung air saja, yang mudah-mudahan masih bersih. Selain itu, kami harus menyetel jam biologis kami untuk buang hajat sesuai dengan ketersediaan air. Jangan sampai mau buang hajat saat air tidak ada!

Pada hari pertama, mulai jam 6 pagi, kami antri panjang untuk mandi. Saya berpikir, besok harus bangun paling awal untuk bisa mandi duluan. Ternyata teman-teman lain berpikiran sama. Alhasil jam 4 dini hari telah terjadi antrian mandi!! Sial…

Demikianlah pengalaman kekurangan air di Cilampuyang. Tapi kami sebagai rimbawan tidak cukup cengeng untuk menganggap itu sebagai pengalaman buruk, apalagi sampai menimbulkan trauma. Kami terlalu tangguh untuk takluk hanya oleh kendala susah mandi dan hajat saja. Kami tetap mengikuti kegiatan dengan penuh semangat, antusias, fokus, demi tercapainya tujuan kegiatan tersebut, yaitu menjadikan kami sebagai Pejabat Fungsional PEH yang berwawasan dan berpengetahuan luas, berintegritas, berorientasi berbuat yang terbaik bagi masyarakat dibidang kehutanan, dan tentu saja TIDAK CENGENG!!!

Dan ternyata, kondisi kekuarangan air tersebut juga memiliki makna dan hikmah tersendiri bagi kami, Pejabat Fungsional PEH Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Jenderal RLPS memiliki tugas pokok dan fungsi dalam merehabilitasi hutan dan lahan serta melaksanakan konsep perhutanan sosial sehingga berimplikasi pada konservasi tanah dan air. Intinya, kami bekerja dalam rangka menjamin keberlanjutan ketersedian air sebagai sumber kehidupan.

Dengan mengalami kekurangan air selama di Cilampuyang, menyebabkan kami tersadar betapa tidak nyamannya jika air tidak tersedia dengan cukup. Kesadaran yang demikian mendorong kami untuk lebih optimal bekerja. Sebab jika kami tidak optimal bekerja, kondisi tanah dan air akan makin terdegradasi. Akibatnya, bukan kami saja yang pernah mengalami kekurangan air, tetapi BANGSA INI JUGA AKAN MERASAKAN PENDERITAAN KARENA KEKURANGAN AIR.

Tidak ada komentar: