Rabu, 15 Oktober 2008

Orang Jogja Rusuh?? Aneh......

Sebelumnya saya pernah membahas mengapa suporter sepakbola di Pulau Jawa suka rusuh. Saya kembali tertarik membahas hal ini, karena beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pertandingan sepakbola lanjutan kompetisi divisi utama Liga Indonesia, kembali terjadi kerusuhan antar suporter kedua tim yang bertanding. Menariknya, kali ini suporter rusuh dalam pertandingan derby Daerah Istimewa Yogyakarta, PSIM Yogyakarta versus PSS Sleman!!

Kenapa menarik? Menariknya, karena ada paradoks seperti yang pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Orang Jogja yang santun bisa tiba-tiba brutal di sekitar stadion Maguoharjo Sleman setelah menonton pertandingan sepakbola. Mereka tawuran, merusak dan saling serang. Dan lebih mengherankan lagi tawuran terjadi antar sesama Orang Jogja. Orang Jogja gitu loh? Orang Jogja rusuh? Bagi anda-anda yang pernah menetap di Jogja, ini terasa aneh.

Saya sempat menetap dua tahun di Jogja. Jogja Kota yang damai dan tentram. Penduduknya ramah dan sangat-sangat bersahabat. Di Jogja anda tidak perlu khawatir, apa lagi takut, keluar masuk gang atau perkampungan. Tidak akan ada preman-preman kampung yang lagi nongkrong di sudut-sudut gang dan dengan wajah sangar menatap anda dengan pandangan menakutkan, atau menginterogasi anda dengan kasar, atau bahkan memalak anda. Jika dikota-kota lain juru parkir biasanya “brengsek”, di Jogja sangat ramah. Mereka akan melayani anda ditempat parkir dengan santun. Dan ketika anda membayarkan uang parkir pada mereka, mereka akan menunduk hormat dan berterima kasih dengan takzim saat menerima uang dari anda. Selain itu, sebut saja, kernet bis kota, tukang becak, kuli bangunan, dan lain-lain golongan, yang kalau dikota-kota lain biasanya berprilaku kasar, di Jogja, mereka semua begitu santun, ramah dan bersahabat. Bahkan para pemabuk dan kriminal pun tetap saja terkesan santun saat mereka normal. Ya seperti yang saya bahas dulu. Memang tidak ada budaya “kasar” pada orang Jogja.

Bahkan jika anda cermat, di Jogja, angka kejadian kriminal yang menonjol juga jenis-jenis kejahatan “santun”. Di banyak tempat di Jogja, banyak dipampang peringatan, “HATI-HATI, BANYAK CURANMOR”. Anda tentu tahu, pencurian kendaraan bermotor adalah jenis kejahatan yang “tidak gentlemen”. Karena pelakunya melakukan kejahatan itu dengan resiko minimal, karena pemilik kendaraan bermotor sedang tidak berada dekat dengan kendaraannya. Tak banyak kejahatan “gentlemen” di Jogja. Seperti penodongan, perampasan, jambret, atau kejahatan-kejahatan dimana pelaku berhadapan langsung dengan korban dan korban mungkin saja melakukan perlawanan. Begitulah, bahkan jika terpaksa berbuat kriminalpun, orang Jogja memilih “kejahatan yang tidak terlalu mengusik korbannya”.

Itulah Jogja. Nah, sulit dipercaya masyarakat yang demikian bisa rusuh, tawuran dan merusak bukan? Namun, kenyataannya itu terjadi. Baru-baru ini. Dipicu oleh sebuah pertandingan sepakbola. Ini membuat saya semakin yakin dengan analisa saya pada tulisan terdahulu. Bahwa memang kerumunan massa dalam wujud suporter sepakbola menjadi saluran potensi perilaku agresif dan destruktif bagi masyarakat dengan budaya “halus” seperti masyarakat Jogja dan Jawa pada umumnya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

itu karena pada mabok dan taruhan mas. Sy jg pernah hampir dikeroyok suporter pss.

Anonim mengatakan...

ooowww...gitu ya??? hmmm..variabel mabok n taruhan ketika nonton bola rupanya luput dari analisa saya.... hehehe