Senin, 30 Juni 2008

Pendiam....

Ayah saya mungkin termasuk orang yang sangat pendiam. Agak susah ngajak beliau ngobrol panjang lebar. Bahkan dengan anggota keluarga dan kerabatnya sendiri, ayah cenderung bicara seperlunya saja.

Saya tidak bisa memastikan penyebab kenapa ayah begitu pediam. Kata orang, orang pendiam itu bisa jadi karena dia rendah diri. Ada juga yang bilang orang pendiam itu karena pengetahuan/wawasannya sempit, sehingga dia tidak punya banyak bahan untuk bicara/ngobrol panjang lebar. Ada juga yang bilang orang jadi pendiam pada situasi sosial tertentu karena ia merasa tidak perlu banyak bicara pada situasi tersebut. Apapun itu, yang pasti ayah saya sangat pendiam dalam segala situasi dan kondisi.

Namun, walau pendiam, ayah saya pernah bikin orang keki. Suatu ketika, saat ngantri uang pensiun, beliau ketemu dengan salah seorang temannya saat masih bekerja. Baru kali ini mereka ketemu saat sama-sama ngantri uang pensiun setelah bertahun-tahun tidak pernah ketemu. Sebagaimana layaknya dua orang teman yang sudah lama tidak bertemu, mereka terlibat obrolan ringan, antara lain ngobrol soal kondisi keluarga masing-masing. Seperti biasa, ngobrol dengan siapapun dan membicarakan masalah apapun, ayah selalu bicara dan menjawab seperlunya.

"Gimana keadaanmu sekarang?" tanya si teman ayah basa-basi memulai obrolan. Ayah menjawab singkat, "Alhamdulillah baik". Si teman ayah melanjutkan, "Aku sekarang lumayan enaklah, anak-anak udah pada berhasil. Mereka bisa sekolah sampai perguruan tinggi, lanjutnya. Kemudian ia menyebut perguruan tinggi-perguruan tinggi swasta di Padang tempat anak-anaknya kuliah. Anakku yang sulung malah udah jadi bidan sekarang, dan banyak bantu-bantu biaya kuliah adik-adiknya", kata si teman ayah bangga. Ayah mendengar dengan penuh perhatian sambil sesekali mengangguk-angguk dan mengulum senyum, kemudian berkomentar singkat, "Alhamdulillah kalau begitu. Si teman ayah yang merasa udah di "atas angin" dan sedikit under estimate pada kondisi ayah sekarang, karena ia lihat ayah cuma diam dan gak bercerita apa-apa soal anak-anaknya, kemudian bertanya, "anak-anakmu gimana sekarang"? "Alhamdulillah juga baik" kembali ayah menjawab singkat. "Udah pada selesai mereka sekolah"? kejar si teman ayah. "Yang sulung udah, dan adik-adiknya masih sedang kuliah", jawab ayah. "Yang sulung itu udah dapat kerja"? si teman ayah terus mengejar. "Alhamdulillah sudah", jawab ayah pelan. "Kerja dimana"? Si teman ayah makin tak sabar bertanya. "Di rumah sakit Dr. Achmad Muchtar" (RSUP di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat), jawab ayah masih dengan suara datar. "Ooo...kerja sebagai apa? perawat ya"? si teman ayah menyimpulkan. Ayah sedikit terdiam, trus dengan tetap berusaha bernada wajar beliau menjawab, "bukan perawat...., dokter". Si teman ayah terlihat gelagapan. Sejenak dia tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Setelah hening beberapa saat, si teman ayah kembali bertanya, "adik-adiknya kuliah dimana”? kali ini nada suara si teman ayah lebih rendah dan terkesan hati-hati… Ayah sebenarnya sudah enggan menjawab. Beliau sudah tidak enak hati karena temannya itu gelagapan mendengar jawabannya yang terakhir tadi. Tapi karena kelihatannya si teman ayah itu memang ingin sekali mendengar jawaban ayah, ayah kembali menjawab singkat, “untungnya mereka kuliah di Perguruan Tinggi Negeri, karena kami gak akan mampu biayai kalau mereka kuliah di swasta. Baru inilah jawaban ayah yang disertai keterangan. Berikutnya si teman ayah benar-benar tidak bicara lagi…dan ayah makin jadi tidak enak hati.

Begitulah ayah saya. Si pendiam yang sangat tidak mau menonjol-nonjolkan diri dan keluarganya. Namun sifat diamnya itu kadang dianggap orang sebagai sebuah bentuk kesombongan juga. Seperti cerita di atas, si teman ayah menganggap ayah melakukan kesombongan pasif (kalau boleh diistilahkan demikian). Padahal, saya yakin betul, ayah benar-benar tidak bermaksud membuat temannya itu merasa kalah. Beliau Cuma menjawab apa adanya, karena memang begitulah beliau dari dulunya.

Tidak ada komentar: