Kamis, 19 Juni 2008

Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan Butuh Optimalisasi “Pengamanan” Hutan

Pada suatu kesempatan, tim dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Agam Kuantan (tempat saya bekerja, merupakan Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan di daerah) mengunjungi salah satu lokasi kegiatan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di sebuah nagari di salah satu kabupaten di Propinsi Sumatera Barat dalam rangka pelaksanaan bimbingan teknis dan kelembagaan. Kegiatan HKm di nagari tersebut merupakan salah satu dari beberapa kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di wilayah Propinsi Sumatera Barat yang difasilitasi oleh BPDAS Agam Kuantan. Di lokasi tersebut BPDAS Agam Kuantan telah memfasilitasi dan membina masyarakat setempat membuat tegakan meranti pada areal seluas 200 hektar.

Kegiatan itu sendiri terlihat cukup berhasil. Ini terlihat dari dua indikator, yaitu indikator fisik dan kelembagaan. Indikator fisik memperlihatkan fakta bahwa setelah penanaman tahun pertama, dan dilanjutkan dengan pemeliharaan pada tahun kedua dan ketiga, persentase tanaman yang tumbuh cukup tinggi. Salah satunya terbukti dengan tidak terlalu banyaknya perlu dilakukan penyisipan pada saat pemeliharaan untuk mengganti tanaman yang mati. Dari sisi kelembagaan juga telah berhasil ditanamkan tata nilai yang positif di tengah-tengah masyarakat sehingga masyarakat di nagari tersebut memiliki kesadaran yang tinggi untuk memelihara tanaman pada areal 200 hektar tersebut. Tak cuma itu, secara umum masyarakat juga menjadi memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya upaya-upaya rehabilitasi dan konservasi terhadap sumberdaya alam (khususnya hutan) di wilayah nagari mereka.

Kembali ke soal kunjungan tim BPDAS Agam Kuantan tadi. Ada hal yang patut dicermati pada lokasi HKm tersebut. Pada nagari-nagari tetangganya banyak dijumpai kegiatan pembalakan hutan, yang tentu saja illegal, karena dilakukan di kawasan hutan negara atau kawasan konservasi yaitu di daerah-daerah yang kelerengannya lebih dari 40%. Dalam perjalanan menuju lokasi HKm pada hari itupun, rombongan BPDAS Agam Kuantan secara kasat mata juga melihat aktivitas illegal logging tersebut. Jelas terdengar deru gergaji mesin, dan diikuti dengan digelindingkannya kayu-kayu hasil tebangan dari perbukitan menuju pinggir jalan untuk kemudian diangkut. Menurut masyarakat setempat, aktivitas ini sebenarnya diketahui oleh pihak-pihak yang seharusnya mencegahnya.

Bagi tim BPDAS Agam Kuantan, kondisi ini sungguh dirasakan sebagai sebuah ironi yang ”meyesakkan dada”. Pada satu sisi mereka bersama masyarakat dengan sabar menanam pohon pada areal yang terbatas, merawat dan memeliharanya, kemudian dengan perasaan bangga dan penuh harap mengawal pertumbuhan tanaman tersebut inci demi inci. Namun disisi lain, tak jauh dari lokasi itu, hutan dirusak tak mengenal batas, pohon-pohon ditebang secara serampangan tanpa peduli berapa ukurannya. Selain itu, pada satu sisi mereka dengan sabar dan telaten membina dan menggugah kesadaran masyarakat untuk sadar akan pentingnya upaya-upaya RHL, sehingga masyarakat akhirnya tergugah kesadarannya dan dengan penuh semangat menjaga apa yang telah mereka tanam, bahkan lebih dari pada itu masyarakat juga dengan antusias berusaha melindungi hutan yang masih utuh yang berada di wilayah nagari mereka. Namun di sisi lain, tak jauh dari nagari itu, oknum-oknum tertentu justru memanfaatkan ketidak berdayaan dan kemiskinan masayarakat untuk memperalat mereka menjadi ujung tombak penjarahan hutan! Jika seperti ini kondisinya, upaya-upaya RHL tentu menjadi tak berarti.

Cerita di atas meskipun hanya mencerminkan kondisi pengelolaan hutan pada skala yang sangat kecil, namun mewakili kondisi makro kehutanan di Indonesia. Wajar saja jika akhirnya banyak tudingan miring yang mengatakan kegiatan RHL tidak menghasilkan apa-apa. Buktinya, perbaikan lingkungan tak kunjung terasa, banjir dan tanah longsor tetap saja terjadi. Tentu saja. Perlu disadari bahwa tanaman yang ditanam baru akan berfungsi secara ekologis setelah beberapa tahun, yaitu ketika pohon telah tumbuh besar. Disamping itu, tentu saja karena kegiatan-kegatan RHL belum diringi dengan optimalisasi pengamanan hutan. Sehingga muncul kondisi, laju luas kerusakan hutan jauh melebihi luas hutan dan lahan yang mampu direhabilitasi. Sebagai gambaran, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang dicanangkan pemerintah semenjak tahun 2003 hanya menargetkan merehabilitasi hutan dan lahan seluas 3 juta hektar di seluruh Indonesia hingga tahun 2007. Bayangkan, andai gerakan ini tingkat keberhasilannya 100% sekalipun, baru hanya mampu merehabilitasi kerusakan hutan yang terjadi dalam kurang dari satu setengah tahun saja! Karena menurut data terakhir, laju kerusakan hutan Indonesia seluas 1,8 juta hektar/tahun. Bahkan sebagian kalangan non pemerintah menyebut angka 3 sampai 3,5 juta hektar/tahun.

Jadi, tak ada jalan lain. Pengamanan hutan harus dioptimalkan. Dengan pengamanan yang optimal, laju kerusakan hutan dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian barulah upaya-upaya rehabilitasi yang kita laksanakan akan menampakkan hasil dan memberi pengaruh yang signifikan dalam memperbaiki kondisi lingkungan sehingga percepatannya juga dapat diharapkan akan semakin tinggi.

Pengamanan hutan yang dimaksud tidak saja pengamanan terhadap ancaman dari illegal deforestasi, seperti pembalakan liar oleh pemegang maupun bukan pemegang ijin, tapi juga dari ancaman legal deforestasi, yaitu karena pengalihan fungsi hutan untuk berbagai kepentingan. Sebab, menyusutnya kawasan hutan Indonesia yang besarannya makin meningkat dari tahun ke tahun tidak saja karena illegal deforestasi tapi juga karena kebijakan legal deforestasi tersebut.

Pengamanan hutan dari ancaman illegal deforestasi dapat dioptimalkan dengan law enforcement yang tegas tapi progresif. Aparat penegak hukum harus bersih terlebih dahulu, kemudian bertindak tegas, dan dalam mengusut perkara-perkara pengrusakan hutan harus sedapat mungkin mengedepankan rasa keadilan ekologis. Polisi menangkap pelaku tanpa pandang bulu, jaksa menuntut dengan ancaman hukuman maksimal, dan hakim seyogyanya secara progresif menjatuhkan vonis dengan mengedepankan rasa keadilan ekologis tadi. Hakim jangan hanya berpedoman secara kaku pada ketentuan-ketentuan hukum secara formal belaka sehingga selalu terjebak pada situasi tidak terbuktinya kesalahan seorang tersangka dalam persidangan walau secara materil terasa sangat nyata kesalahannya dan benar-benar bertentangan dengan rasa keadilan.

Selanjutnya, kondisi yang tidak mudah adalah mengamankan hutan dari ancaman legal deforestasi. Sebab hal ini menyangkut politik hukum dan politik ekonomi yang dijalankan pemerintah yang tentu saja akan sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam memperlakukan sumberdaya hutan. Sepanjang pembangunan masih berorientasi pada angka-angka pertumbuhan ekonomi semata, maka sumberdaya hutan akan tetap menjadi sasaran untuk memenuhi target pertumbuhan tersebut. Hutan akan selalu dikorbankan untuk kepentingan perluasan areal perkebunan dan pertanian, kepentingan pertambangan, kebutuhan areal pemukiman dan pengembangan wilayah dan lain-lain, yang semuanya itu untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Maka akan semakin sering terjadi pelepasan/pengalihan fungsi kawasan hutan dan semakin tinggilah angka legal deforestasi.

Hutan juga seringkali dianggap sebagai sumberdaya alam yang tidak berfungsi atau tidak menghasilkan apa-apa jika tidak dieksploitasi. Anggapan demikian menyebabkan akan selalu lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang eksploitatif terhadap sumberdaya hutan. Agar hutan aman dari ancaman legal deforestasi, harusnya paradigma yang demikian dapat dirubah. Mengutip Sofyan P. Warsito (UGM), sumberdaya hutan sebenarnya memiliki keistimewaan dibanding dengan sumberdaya alam lain seperti barang tambang misalnya. Sumberdaya hutan dapat berfungsi dalam kondisi stock (apa adanya) mapun dalam kondisi flow (hasil eksploitasi). Namun jika kita arif, akan jauh lebih besar manfaat hutan jika dibiarkan tetap berada dalam kondisi stock dari pada jika dieksploitasi, karena dalam kondisi stock, hutan akan berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Sedangkan sumberdaya alam lain, seperti tambang, hanya bermafaat jika telah dieksploitasi (diolah).

Selama kita masih memandang bahwa jika hutan dibiarkan dalam kondisi stock (apa adanya) adalah tidak produktif dan tidak memiliki nilai ekonomi sebagai penghasil income, selama kita tidak bisa menyadari bahwa sesungguhnya keberadaan hutan justru bernilai ekonomi tinggi karena mampu berfungsi untuk mencegah kerugian ekonomi (loss avoided), maka sangat sulit kita mengharapkan muncul kebijakan yang berpihak pada sektor kehutanan. Kondisi ini tercermin pada kebijakan-kebijakan yang cendrung masih berorientasi pada suprastruktur ekonomi, sehingga kepentingan-kepentingan konservasi selalu dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya eksploitatif demi kepentingan ekonomi jangka pendek, yaitu menghasilkan income secara cepat dan mudah (instant).

Dari sisi hukum ketatanegaraan paradigma ekploitatif ini juga dapat dirasakan. Perundang-undangan sektor kehutanan seringkali harus mengalah pada kepentingan sektor pertambangan, pertanian dan perkebunan, perumahan. Kondisi ini tentu makin diperparah oleh keadaan dimana para penentu kebijakan di sektor-sektor tersebut yang masih meragukan (kalau tidak bisa dikatakan tidak percaya) fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Kondisi ini tentu akan semakin mengarah kepada munculnya ancaman kerusakan dan kehancuran hutan yang massif dan tidak terkendali.

Dari pihak forester sendiri, barangkali karena kebijakan-kebijakan Departemen Kehutanan yang juga subordinat dari kebijakan Bappenas yang berorientasi eksploitasi untuk kepentingan income, maka masih banyak kebijakan-kebijakan yang sangat permisif yang sebenarnya secara gradual (cepat?) semakin mengancam keberadaan hutan di Indonesia. Ini terlihat dari masih adanya kebijaksanaan untuk memberikan berbagai ijin dan konsesi untuk pengusahaan hutan alam produksi. Dengan konsep yang rentan penyimpangan, di tambah dengan tidak adanya jaminan itegritas moral para pemegang ijin, tentu makin memperparah kondisi sektor kehutanan di Indonesia. Jika demikian, kapan hutan kita akan benar-benar aman?

Tidak ada komentar: