Senin, 23 Juni 2008

Profesi Yang "Membunuh" Nasionalisme

Hingar bingar Euro 2008 belum mencapai puncaknya. Namun, dari pesta sepakbola benua biru itu ada hal penting yang patut jadi bahan diskusi, yaitu soal nasionalisme. Jika anda memang penggemar sepakbola, atau setidaknya tertular demam sepakbola selama perhelatan Euro 2008, pasti melihat beberapa momen "menarik" berkaitan dengan nasionalisme. Antara lain:
Striker Jerman, Lucas Podolsky, terlihat dingin, nyaris tanpa ekspresi dan tidak melakukan selebrasi selepas mencetak gol ke gawang Polandia di babak penyisihan group. Podolsky adalah pemain Jerman berdarah Polandia.
Juga terjadi pada babak penyisihan group, striker Swiss, Hakan Yakin, yang keturunan Turki, juga memperlihatkan perilaku yang sama, dingin dan tanpa selebrasi setelah melesakkan gol ke gawang Tim Nasional tanah leluhurnya itu.
Guus Hidink, pelatih Rusia berkebangsaan Belanda terlihat begitu gembira dan berjingkrak-jingkrak kegirangan ketika tim asuhannya membekap Belanda 3 - 1 pada babak perempat final.
Ada ironi dalam tiga contoh momen di atas. Para pemain terlihat "menyesal" menjebol gawang tim lawan yang kebetulan adalah tim dari tanah leluhur mereka. Namun, pelatih, malah memperlihatkan sikap sebaliknya.
Para pemain seperti Lucas Podolsky dan Hakan Yakin, terlihat seolah masih memiliki nasionalisme ganda. Di satu sisi ingin memberikan kemenangan untuk tim negara mereka saat ini, namun disisi lain mereka juga seolah tidak tega melihat tim dari tanah leluhur mereka itu "terluka" oleh gol yang mereka buat. Sebab gol mereka itu tentunya juga "melukai" hati seluruh warga negara leluhur mereka tersebut. Akan tetapi perasaan seperti yang dirasakan oleh kedua pemain itu agaknya tidak dirasakan oleh Guus Hidink. Seolah tak berperasaan, Hidink mengiris-iris hati semua orang Belanda dengan ekspresi bahagianya ketika tim asuhannya Rusia mengalahkan Belanda.
Kenapa ironi seperti itu muncul? Tentunya karena Profesi. Para pemain saat membela negara mereka dalam ajang antar negara tidak dibayar sebagaimana ketika mereka membela klub mereka masing-masing. Sedangkan pelatih, sebagaimana halnya Guus Hidink, dibayar dengan nilai yang tinggi ketika melatih sebuah tim nasional suatu negara dalam suatu ajang seperti Euro 2008 ini. Konsekwensinya, ia harus menjalankan profesinya itu secara profesional, termasuk dengan "membunuh" rasa nasionalisme. Makanya Hidink bisa bersuka cita disaat seluruh saudara sebangsa dan setanah airnya mengalami duka cita yang mendalam. Ternyata profesi sebagai pelatih sepakbola bisa mengikis bahkan "membunuh" rasa nasionalisme.

Tidak ada komentar: