Selasa, 18 November 2008

BASKET HIDUP SAYA ... (1)

BASKET HIDUP SAYA!! Kalimat ini adalah jargon yang diusung sebuah produk rokok saat gencar-gencarnya mensponsori Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama) di era pertengahan hingga akhir 90-an. Namun, buat saya, kalimat "Basket Hidup Saya" juga mewakili apa yang saya alami di sepenggalan hidup saya semenjak menginjak remaja hingga saat ini. Saya menemukan jati diri ditengah galaunya pancaroba masa remaja melalui basket, menjadi pribadi yang lebih percaya diri karena basket, menemukan teman-teman terbaik di lingkungan basket, melalui vase-vase kehidupan yang penuh warna dan dinamika di dunia basket. Bahkan, saya bisa mencapai tahapan kehidupan seperti sekarang ini juga karena basket. Ya, BASKET HIDUP SAYA!!

Sebenarnya, semasa kecil, saya bercita-cita menjadi pemain sepakbola. Alam pikiran masa kecil saya saat itu begitu terinspirasi oleh kiprah tim nasional sepakbola Indonesia pada Pra Piala Dunia tahun 1986. Para punggawa timnas saat itu begitu ngetop. Sebut saja nama, Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman, Marzuki Nyakmad, Heri Kiswanto, Eli Idris, Rully Nere, Zulkarnain Lubis, Penjaga Gawang Hermansyah, dan lain-lain. Kebanyakan orang Indonesia pasti familiar dengan nama mereka. Sebab setiap laga timnas selalu disiarkan secara langsung oleh TVRI, satu-satunya stasiun televisi saat itu. Dengan demikian, otomatis setiap laga timnas itu disaksikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk saya. Rugi sekali rasanya kalau tidak ikut menonton laga timnas lewat televisi. Penampilan mereka di lapangan hijau itu dimata saya terlihat begitu heroik.

Sejak itulah, saya bercita-cita jadi pemain sepakbola nasional. Sejak saat itu pulalah saya semakin getol bermain sepakbola. Hampir semua waktu luang, saya habiskan untuk bermain bola, tidak peduli pagi, siang, sore, atau bahkan malam sekalipun. Ketika itu, bermain sepakbola seolah segala-galanya dalam hidup saya. Lebih penting dan lebih nikmat daripada hal apapun di dunia ini. Gara-gara keranjingan bermain sepakbola, suatu waktu, saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Tertabrak motor ketika mengejar bola yang meluncur ke jalan raya saat saya dan teman-teman bermain bola di halaman sebuah kantor instansi pemerintah.

Namun, selain sangat kecanduan bermain sepakbola, saya juga tertarik dengan permainan bola basket. Rumah keluarga saya dekat dengan komplek sebuah SMA yang ada lapangan basketnya. Saya mulai mengenal basket di sana. Selain itu, di kota masa kecil saya itu, juga rutin digelar pertandingan basket antar klub amatir. Hampir tiap 2 bulan ada turnamen, yang biasanya digelar di lapangan basket yang ada di semacam alun-alun kota. Pertandingan-pertandingan basket amatir itu juga amat menarik perhatian saya saat itu. Jika sedang digelar suatu turnamen, tiap sore saya akan berusaha untuk tidak absen menontonnya. Sayapun mulai jadi basket mania. Meski demikian, minat saya tetap lebih besar pada sepakbola.

Menginjak kelas 3 SMP, saya harus ikut orang tua pindah ke kota Padang. Di Padang, main sepakbola tetap menjadi bagian keseharian saya. Sedangkan akses saya ke dunia basket terputus. Karena rumah kami relatif jauh ke sarana lapangan basket. Juga tidak ada komunitas basket disekitar saya, baik dirumah maupun disekolah. Singkatnya, geliat dunia basket di Ibu Kota Sumatera Barat ini sama sekali jauh dari jangkauan saya saat itu.

Lulus SMP, semua berubah. Berawal dari pilihan sekolah selepas SMP. Masa itu, dilingkungan bermain saya, ada semacam stigma, bukan cowok tulen namanya kalau selepas SMP memilih melanjutkan ke SMA. Pilihan ideal kami adalah: melanjutkan ke STM!! Kesannya jantan sekali kalau sekolah di STM. Setidaknya demikian dalam alam pikiran kami. Sayapun mendaftar ke STM. Tetapi, sebagai back-up saya juga mendaftar ke SMA. Malang, ternyata saya tidak diterima di STM. Karena nilai saya tidak mencukupi untuk diterima di jurusan elektro di STM. Di SMA, saya diterima. Akhirnya dengan setengah hati saya bersekolah di SMA. SMA 3 Padang. Ternyata pilihan setengah hati ini justru menjadi titik awal dari berbagai pencapaian dalam kehidupan saya.

SMA 3 Padang adalah SMA basket. Tim Basketnya sangat disegani di Kota Padang. Salah seorang guru olah raga di sekolah ini adalah pelatih basket senior yang sering dipercaya menjadi pelatih basket Tim Kota Padang maupun Tim Provinsi Sumbar ke berbagai even basket, mulai dari yang berskala daerah sampai nasional. Beliau inilah yang membina ekstrakurikuler bola basket di SMA 3 Padang. Ketika itu, sekolah ini juga rutin menggelar turnamen basket antar SMA se Provinsi Sumatera Barat. Nah, kondisi ini menyebabkan perhatian saya kembali terarah pada basket. Kalau pada awalnya saya setengah hati bersekolah di SMA, sekarang tiba-tiba gairah saya berkobar untuk bersekolah di SMA 3 ini. Alasannya bukan apa-apa, hanya karena di sekolah ini ekskul basketnya bagus, dan saya sangat antusias ingin ikut dalam ekskul itu. Target saya jelas, saya ingin menjadi salah seorang anggota Tim Basket SMA 3 yang sudah sangat dikenal dan disegani itu, setidaknya dilingkup Kota Padang. Seiring dengan itu, entah kenapa, sepakbola mulai terlupakan.

Hari-hari berikutnya, saya jadi bersemangat berangkat sekolah. Bukan karena guru-guru di sekolah yang simpatik, bukan karena mata pelajaran – mata pelajaran yang menarik, bukan pula karena suasana sekolah yang asik, juga bukan karena banyak siswi cantik dan nyentrik. Bukan, sama sekali bukan. Saya bersemangat berangkat sekolah hanya supaya bisa bermain basket. Saat jam istirahat yang cuma setengah jam, saya selalu sempatkan main ke aula sekolah – yang juga sekaligus berfungsi sebagai lapangan basket – sekedar untuk bisa mendribling dan shooting bola basket. Sepulang sekolah, saya kembali bermain basket sepuasnya, terkadang sampai lewat magrib. Kecanduan saya bermain sepakbola benar-benar sudah tergantikan oleh kecanduan bermain basket.

Sebenarnya alasan saya begitu serius mengasyikkan diri dengan basket tidak semata karena saya memang tergila-gila sama basket. Alasan lainnya adalah karena saya memang tidak punya modal lain untuk bergaul. Sebagai anak yang berasal dari keluarga yang sangat sederhana, saya tumbuh menjadi remaja yang introvert, cenderung tertutup dan pendiam, bahkan boleh dibilang kurang percaya diri. Tanpa modal apa-apa, sulit rasanya bisa dihargai dan berbaur dengan anak-anak gaul di SMA masa itu. Jika kita bukan anak orang kaya, jika kita tidak punya tampang di atas rata-rata, jika kita tidak berotak encer, atau jika kita tidak memiliki keunikan tertentu, maka tersisihlah kita dari pergaulan. Nah, kebetulan saya memang merasa tidak punya semua itu. Sehingga, saat itu rasanya saya sangat sulit untuk bergaul. Namun, di lapangan basket saya merasa tidak memerlukan semua itu. Yang saya perlukan hanyalah kemampuan bermain basket untuk bisa dianggap dan dihargai, setidaknya dilingkungan teman-teman sesama penggemar basket. Karena memang hanya kemampuan bermain basketlah yang dianggap paling berharga untuk dinilai di lapangan basket. Orang akan sangat respek pada anda jika permainan basket anda bagus, tidak peduli bagaimanapun kondisi dan latar belakang anda. Inilah alasan lain saya begitu total dengan basket. Saya butuh media eksistensi diri. Saya butuh tempat bersosialisasi dimana saya bisa dianggap dan dihargai. Basketlah tempatnya. Inilah peran pertama basket dalam membangun kepribadian saya. Yaitu memenuhi kebutuhan akan eksistensi diri dalam menjalani masa remaja. Secara perlahan sayapun mulai menemukan kepercayaan diri dalam menjalani takdir hidup saya yang dimasa remaja itu merasa tidak punya kelebihan apa-apa.

Berikutnya, hari-hari masa SMA saya jalani dengan segala dinamikanya. Kegiatan bersekolah biasa-biasa saja. Secara akademis tidak ada prestasi istimewa yang saya capai. Bahkan saya cenderung lemah dibeberapa mata pelajaran eksakta. Penyebabnya apalagi kalau bukan karena pelajaran-pelajaran eksakta itu terasa sangat tidak menarik buat saya (barangkali karena keterbatasan tingkat intelejensi saya juga), sehingga seringkali jadwal mata pelajaran eksakta jadi sasaran saya untuk membolos . Ini tidak pernah diketahui keluarga. Untuk ini, saya minta maaf pada semua keluarga yang dari dulu selalu yakin dan menganggap saya “anak baik-baik”.

Terlepas dari itu, saya mulai enjoy disekolah, karena telah memiliki peergroup sendiri, yaitu anggota ekskul basket SMA 3 Padang, yang mana saya nyaman berada di tengahnya. Saya mulai cukup dikenal karena termasuk anggota ekskul yang lumayan terampil bermain basket. Dengan berjalannya waktu, ikatan pergaulan kami sebagai komunitas anggota ekskul basket juga makin akrab dan mengerucut. Beberapa diantara kami mulai terlihat berpotensi akan menjadi calon anggota Tim Basket SMA 3 Padang, penerus tradisi kejayaan Tim Basket sekolah yang disegani. Basket menyebabkan kami memiliki ikatan yang kuat. Berbagai kegiatan diluar basketpun kami lakukan bersama-sama. Basket akhirnya hanya jadi sekedar alat yang mempertemukan dan mempersatukan kami. Inilah peran kedua basket dalam hidup saya, yaitu mempertemukan saya dengan teman-teman terbaik. Mereka inilah yang kemudian menjadi orang-orang yang berperan besar dalam hidup saya. Beberapa kejadian penting dalam hidup saya ke depan tak terlepas dari peran dan keterlibatan mereka.

Setahun berlalu. Saya naik kelas 2 dengan predikat biasa-biasa saja. Hasil psycho-test dan kondisi perolehan nilai-nilai saya selama kelas 1 mengharuskan saya ditempatkan di jurusan sosial. Bagi saya itu sama sekali tidak menjadi masalah. Selain karena ilmu sosial justru lebih menarik bagi saya, sedari awal saya memang menganggap sekolah hanya sebagai sarana supaya saya bisa bermain basket. Tak pernah ada upaya optimal saya lakukan untuk menggapai target akademis. Di saat banyak teman les Fisika, Matematika, Bahasa Inggris, saya hanya sibuk dengan basket dan basket. Selain memang karena terlalu asik dengan basket, les juga sesuatu yang mustahil bagi saya. Karena harus bayar, tentunya. Saya tidak ingin menambah beban pengeluaran orang tua. Jadi apa yang saya capai secara akademis ini memang sudah seharusnya begitu. Bukankah output tergantung apa inputnya dan bagaimana proses yang dilaluinya?

(Bersambung)

Tidak ada komentar: