Minggu, 14 September 2008

Memilih Untuk Tidak Memilih

Semenjak reformasi menggelinding di Indonesia tahun 2008 lalu, hingga sekarang, euforia demokrasi benar-benar terasa. Hampir semua aspek kehidupan diwarnai oleh semangat kebebasan. Kebebasan Pers mengalir deras bak semprotan air dari slang pemadam kebakaran. Kehidupan sosial politik juga penuh dinamika oleh berbagai perubahan yang dilandasi oleh semangat kebebasan.

Di ranah politik, perubahan itu terasa begitu drastis. Reformasi sekonyong-konyong merubah wajah perpolitikan Indonesia dari keterkungkungan otoritarian menjadi politik demokrasi liberal. Bahkan dunia internasional mengakui, bahwa saat ini Indoneisa termasuk negara yang paling demokratis di dunia. Yang paling menarik dari demokrasi politik Indonesia saat ini adalah, rakyat bisa memilih langsung pemimpinnya, mulai dari tingkat presiden sampai pada tingkat bupati/walikota.

Namun, agak unik memang Indoneisa ini. Meskipun kran kebebasan telah dibuka selebar-lebarnya, namun masih belum berimplikasi positif pada perbaikan kondisi berbangsa dan bernegara. Pemilu langsung juga demikian. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang baik, mumpuni, serta mampu membawa kemajuan, yang lebih banyak kita dengar sebagai output dari pemilu langsung itu, tak lebih hanya cerita mengenai kisruh hasil penghitungan suara, konflik antar pendukung peserta pemilu/pilkada, soal gugat menggugat karena kalah dalam pemilihan, dan lain-lain masalah yang keseluruhannya kontra produktif bagi perbaikan kondisi bangsa.

Kondisi tersebut akhirnya memunculkan fenomena semakin banyaknya pemilih yang tidak mau lagi menggunakan hak pilihnya (golput) pada setiap ajang pemilihan pemimpin. Statistik hasil pemilu/pilkada di berbagai daerah menunjukkan bahwa kaum golput ini seringkali "menang" dalam berbagai ajang pilkada. Tak jarang jumlah suara golput jauh mengungguli jumlah suara yang diraih pemenang pilkada.

Gejala apa ini? Apakah masyarakat menjadi semakin apatis politik? Bisa jadi ya. Sebab sebagaimana yang telah disebutkan tadi, masyarakat menganggap pemilu/pilkada tidak menghasilkan perbaikan bagi kehidupan mereka. Namun jika kita berfikiran sedikit modifikatif, fenomena golput tersebut bukanlah sebuah kondisi yang negatif. Malah sebaliknya, positif.

Bisa saja orang golput, karena merasa semua kandidat itu sama, punya visi dan misi yang bagus. Tidak ada program mereka yang tidak bertujuan untuk kebaikan. Nah, jika semuanya mengusung program yang bagus, dan seandainya program-program tersebut benar-benar mampu mereka realisasikan, tentu tidak jadi masalah siapapun yang akan memenangi pemilihan. Karena pasti akan membawa kebaikan. Jadi untuk apa ikut memilih? Dalam perspektif seperti ini, orang yang menggunakan hak pilih malah patut dicurigai. Sangat mungkin motif mereka memilih hanya karena dasar primordialisme, sektarianisme, ataupun karena kedekatan psikologis dengan calon tertentu. Atau memilih hanya karena punya kepentingan yang hanya akan terakomodir jika calon tertentu yang memenangi pemilihan. Bukankah kondisi yang demikian malah merupakan potensi masalah? Primordialisme dan sektarianisme hanya akan merusak ke-bhinekaa-an dalam NKRI. Memilih karena dasar suka/tidak suka secara psikologis terhadap seorang calon, juga bukan sebuah ukuran yang objektif. Terlebih lagi kalau memilih atas dasar kepentingan. Malah akan menjadi embrio makin parahnya KKN jika pemimpin yang dipilih menjabat kelak.

Jadi, jika dasarnya untuk tercapainya kebaikan bersama, pemilih yang paling ideal justru adalah mereka yang golput. Bagi kaum golput, tidak menjadi masalah siapa saja yang menjadi pemimpin, asal berorientasi pada kebaikan bersama. Dan bukankah sebenarnya golput itu juga sebuah pilihan? Yaitu “memilih untuk tidak memilih”. Jadi, tidak menjadi persoalan jika orang memilih untuk tidak memilih. Apalagi kalau patisipasi politik dari rakyat, dengan menggunakan hak pilihnya dalam pemilu/pilkada, hanya dibutuhkan sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan belaka..lebih baik golput saja….

Tidak ada komentar: