Kamis, 30 Oktober 2008

Kembali Ke Jogja


Setelah hampir dua tahun semenjak terakhir kali berada di Kota Jogjakarta, akhirnya saya kembali berkesempatan menjejakkan kaki di Kota Pelajar dan Kota Budaya tersebut. Hampir tak ada yang berubah. Jogja masih tetap memberi kenyamanan bagi setiap pengunjungnya. Sikap ramah dan bersahabat masyarakatnya masih tetap sama. Dan yang lebih penting, terutama bagi pengunjung berkapasitas kantong terbatas seperti saya, indeks biaya hidup rata-rata di Kota Jogjakarta masih tetap sama, relatif murah dibanding kota-kota lain di Indonesia…

Kalaupun ada yang sedikit berubah, antara lain. Kota Jogja telah memiliki busway sebagai moda transportasi umum (saya baru tahu). Namun, busway di Jogja tidak seperti busway-nya Jakarta. Busway di Jogja hanya menggunakan armada bis ukuran tiga perempat. Ini tentu saja karena rata-rata jalan raya di Jogja tidak terlalu lebar, bahkan bisa dibilang sempit, apalagi jika dibanding dengan jalan raya di Jakarta. Karena itu, penggunaan bis ukuran tiga perempat memang dirasa paling ideal. Selain itu, jalur bisnya pun tidak diberi separator yang menjadi pembatas jalur khusus bis dengan kendaraan-kendaraan lain seperti jalur khusus busway di Jakarta. Jalur khusus busway hanya diberi tanda dengan marka jalan, yang tentu saja menyebabkan kendaraan lain masih bisa dengan leluasa menggunakan lajur khusus busway tersebut. Ini tentunya juga karena alasan jalan raya di Kota Jogja sudah terlalu sempit untuk di beri lagi pembatas lajur khusus busway. Namun, terlepas dari itu semua, keberadaan busway di Kota Jogjakarta ini cukup bermanfaat. Paling tidak, dengan adanya busway, pengguna transportasi umum di Jogja bisa menikmati perjalanan yang lebih nyaman. Sebab, selain karena armada angkutan umum di Jogja rata-rata telah uzur, dengan sistem transportasi busway yang telah didisain sedemikian rupa, tentu mampu mengeliminir persoalan angkutan kota sebagaimana yang biasa kita rasakan, seperti masalah keamanan dalam bis, masalah sesama bis yang balapan berebut penumpang, dan lain-lain.

Perubahan lain adalah, Pasar Klitikan di Jalan Pangeran Mangkubumi sudah tidak ada. Telah direlokasi ke suatu tempat yang saya lupa lokasinya. Pasar klitikan adalah semacam pasar loak berbagai jenis barang. Tidak semuanya juga barang bekas. Ada juga barang baru diperjual belikan di sana. Selain tempat jual beli barang-barang yang umum diperdagangkan, di pasar klitikan juga bisa ditemukan berbagai barang yang mungkin sulit untuk ditemukan ditempat lain. Seperti onderdil kendaraan yang mungkin langka, peralatan audio tua seperti pemutar piringan hitam, dan benda-benda "aneh dan langka" lainnya yang tentunya memang bekas. Nah, sebelum direlokasi, pasar klitikan ini digelar setiap malam di sepanjang jalan Pangeran Mangkubumi yang memilik panjang hampir 1 Km. Pada ujung selatan Jalan Mangkubumi ini terdapat Stasiun Tugu, stasiun utama di Jogjakarta. Dari Stasiun Tugu, terus kearah selatan, hanya dibatasi oleh perlintasan kereta, ada Jalan Malioboro yang terkenal itu. Nah, kondisi demikian menyebabkan keberadaan pasar klitikan di sepanjang Jalan Mangkubumi yang bersambungan dengan Stasiun Tugu dan Jalan Malioboro hingga batas kawasan keraton, menyebabkan suasana malam di Jogja terasa semarak dan selalu ramai. Semenjak pasar klitikan ini direlokasi, suasana tersebut tidak terasa lagi. Namun, memang suasana dilokasi tersebut jadi terlihat lebih rapi dan tertata karenanya.

Dalam Kunjungan kali ini saya juga menyempatkan kembali mengunjungi komplek Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Cukup berkesan, karena kali ini saya menyewa seorang guide. Tak rugi memang, karena melalui penuturan sang guide yang terlihat fasih itu, banyak hal bisa saya fahami seputar keraton Kesultanan Jogja dan falsafah-falsafah budaya yang melingkupinya. Kunjungan tersebut juga bertepatan dengan persiapan akan dilaksanakannya pisoanan ageng. Yaitu peristiwa semacam open housenya sang sultan dengan rakyatnya. Isu soal suksesi Sultan sebagai Gubernur dan rencana akan majunya Sultan sebagai capres pada pemilu 2009 nanti, menjadi isu yang akan dibicarakan oleh Sultan dengan rakyatnya dalam pisoanan ageng tersebut.

Merasakan Kekurangan Air


Saya baru saja mengikuti Pembekalan Teknis dan Manajerial Bagi Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Wilayah Indonesia Bagian Barat, di Cilampuyang Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pembekalan tersebut terbilang singkat, hanya satu minggu.

Namun, kondisi Cilampuyang yang sedemikian rupa, membuat kegiatan yang satu minggu tersebut memberikan berbagai kesan dan pengalaman tersendiri, yang belum pernah saya rasakan pada kegiatan-kegiatan sejenis sebelumnya, antara lain merasakan kekurangan air. Saya pernah beberapa kali mengikuti kegiatan pembekalan, pelatihan, maupun penyegaran. Tempat pelaksanaannya juga beragam. Pernah di Balai Diklat Kehutanan, di Balai Diklat Pemda, di Pusdiklat Kehutanan, dan bahkan pernah di hotel berbintang empat di Ibu Kota Negara Jakarta. Dari berbagai tempat tersebut, walau tingkat kondisi sarana dan prasarananya bervariasi, namun ketersediaan air - terutama untuk kebutuhan MCK - sangat memadai. Bahkan tidak terbatas.










Nah, di Cilampuyang kondisinya bertolak belakang. Hari pertama saat saya tiba, saya tidak bisa langsung mandi, karena sama sekali tidak ada air di kamar mandi asrama. Terpaksa, dalam kondisi lelah dan lecek karena habis menempuh perjalanan jauh dari Padang, saya langsung beristirahat dan tidur. Tidak nyaman tentu saja. Menurut panitia, air baru besok bisa mengalir. Lokasi tempat kegiatan ini memang berada diperbukitan yang tentunya sulit air. Walaupun musim kemarau belum memasuki puncaknya.

Ternyata sumber air yang dijanjikan akan mengalir tersebut juga sangat terbatas. Air dibawa dari Bandung dengan mobil tanky berkapasitas lebih kurang 5.000 Liter. Air dari tanky tersebut di pindah ke reservoir penampungan. Dari reservoir, air kemudian dialirkan ke bak-bak penampungan di beberapa kamar mandi yang ada di asrama peserta. Susahnya, air cuma dialirkan ke kamar mandi dua kali sehari. Dini hari untuk kebutuhan mandi pagi, dan siang hari untuk kebutuhan mandi sore. Begitu bak-bak dikamar mandi terisi penuh, air berhenti mengalir.

Kondisi tersebut menyebabkan kegiatan mandi, baik pagi maupun sore, serta buang hajat tentunya, menjadi suatu kebutuhan yang memerlukan perjuangan dan kesabaran yang luar biasa untuk memenuhinya. Jumlah kamar mandi yang hanya 8 unit dan dengan bak-bak air yang relatif kecil, harus kami gunakan untuk 70 orang peserta. Kami harus saling berebut duluan jika ingin mandi agak berkualitas, yaitu mandi dengan kondisi air yang cukup dan bersih. Jika dapat giliran-giliran terakhir, mandilah dengan beberapa gayung air saja, yang mudah-mudahan masih bersih. Selain itu, kami harus menyetel jam biologis kami untuk buang hajat sesuai dengan ketersediaan air. Jangan sampai mau buang hajat saat air tidak ada!

Pada hari pertama, mulai jam 6 pagi, kami antri panjang untuk mandi. Saya berpikir, besok harus bangun paling awal untuk bisa mandi duluan. Ternyata teman-teman lain berpikiran sama. Alhasil jam 4 dini hari telah terjadi antrian mandi!! Sial…

Demikianlah pengalaman kekurangan air di Cilampuyang. Tapi kami sebagai rimbawan tidak cukup cengeng untuk menganggap itu sebagai pengalaman buruk, apalagi sampai menimbulkan trauma. Kami terlalu tangguh untuk takluk hanya oleh kendala susah mandi dan hajat saja. Kami tetap mengikuti kegiatan dengan penuh semangat, antusias, fokus, demi tercapainya tujuan kegiatan tersebut, yaitu menjadikan kami sebagai Pejabat Fungsional PEH yang berwawasan dan berpengetahuan luas, berintegritas, berorientasi berbuat yang terbaik bagi masyarakat dibidang kehutanan, dan tentu saja TIDAK CENGENG!!!

Dan ternyata, kondisi kekuarangan air tersebut juga memiliki makna dan hikmah tersendiri bagi kami, Pejabat Fungsional PEH Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Direktorat Jenderal RLPS memiliki tugas pokok dan fungsi dalam merehabilitasi hutan dan lahan serta melaksanakan konsep perhutanan sosial sehingga berimplikasi pada konservasi tanah dan air. Intinya, kami bekerja dalam rangka menjamin keberlanjutan ketersedian air sebagai sumber kehidupan.

Dengan mengalami kekurangan air selama di Cilampuyang, menyebabkan kami tersadar betapa tidak nyamannya jika air tidak tersedia dengan cukup. Kesadaran yang demikian mendorong kami untuk lebih optimal bekerja. Sebab jika kami tidak optimal bekerja, kondisi tanah dan air akan makin terdegradasi. Akibatnya, bukan kami saja yang pernah mengalami kekurangan air, tetapi BANGSA INI JUGA AKAN MERASAKAN PENDERITAAN KARENA KEKURANGAN AIR.

Rabu, 15 Oktober 2008

Orang Jogja Rusuh?? Aneh......

Sebelumnya saya pernah membahas mengapa suporter sepakbola di Pulau Jawa suka rusuh. Saya kembali tertarik membahas hal ini, karena beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah pertandingan sepakbola lanjutan kompetisi divisi utama Liga Indonesia, kembali terjadi kerusuhan antar suporter kedua tim yang bertanding. Menariknya, kali ini suporter rusuh dalam pertandingan derby Daerah Istimewa Yogyakarta, PSIM Yogyakarta versus PSS Sleman!!

Kenapa menarik? Menariknya, karena ada paradoks seperti yang pernah saya bahas dalam tulisan sebelumnya. Orang Jogja yang santun bisa tiba-tiba brutal di sekitar stadion Maguoharjo Sleman setelah menonton pertandingan sepakbola. Mereka tawuran, merusak dan saling serang. Dan lebih mengherankan lagi tawuran terjadi antar sesama Orang Jogja. Orang Jogja gitu loh? Orang Jogja rusuh? Bagi anda-anda yang pernah menetap di Jogja, ini terasa aneh.

Saya sempat menetap dua tahun di Jogja. Jogja Kota yang damai dan tentram. Penduduknya ramah dan sangat-sangat bersahabat. Di Jogja anda tidak perlu khawatir, apa lagi takut, keluar masuk gang atau perkampungan. Tidak akan ada preman-preman kampung yang lagi nongkrong di sudut-sudut gang dan dengan wajah sangar menatap anda dengan pandangan menakutkan, atau menginterogasi anda dengan kasar, atau bahkan memalak anda. Jika dikota-kota lain juru parkir biasanya “brengsek”, di Jogja sangat ramah. Mereka akan melayani anda ditempat parkir dengan santun. Dan ketika anda membayarkan uang parkir pada mereka, mereka akan menunduk hormat dan berterima kasih dengan takzim saat menerima uang dari anda. Selain itu, sebut saja, kernet bis kota, tukang becak, kuli bangunan, dan lain-lain golongan, yang kalau dikota-kota lain biasanya berprilaku kasar, di Jogja, mereka semua begitu santun, ramah dan bersahabat. Bahkan para pemabuk dan kriminal pun tetap saja terkesan santun saat mereka normal. Ya seperti yang saya bahas dulu. Memang tidak ada budaya “kasar” pada orang Jogja.

Bahkan jika anda cermat, di Jogja, angka kejadian kriminal yang menonjol juga jenis-jenis kejahatan “santun”. Di banyak tempat di Jogja, banyak dipampang peringatan, “HATI-HATI, BANYAK CURANMOR”. Anda tentu tahu, pencurian kendaraan bermotor adalah jenis kejahatan yang “tidak gentlemen”. Karena pelakunya melakukan kejahatan itu dengan resiko minimal, karena pemilik kendaraan bermotor sedang tidak berada dekat dengan kendaraannya. Tak banyak kejahatan “gentlemen” di Jogja. Seperti penodongan, perampasan, jambret, atau kejahatan-kejahatan dimana pelaku berhadapan langsung dengan korban dan korban mungkin saja melakukan perlawanan. Begitulah, bahkan jika terpaksa berbuat kriminalpun, orang Jogja memilih “kejahatan yang tidak terlalu mengusik korbannya”.

Itulah Jogja. Nah, sulit dipercaya masyarakat yang demikian bisa rusuh, tawuran dan merusak bukan? Namun, kenyataannya itu terjadi. Baru-baru ini. Dipicu oleh sebuah pertandingan sepakbola. Ini membuat saya semakin yakin dengan analisa saya pada tulisan terdahulu. Bahwa memang kerumunan massa dalam wujud suporter sepakbola menjadi saluran potensi perilaku agresif dan destruktif bagi masyarakat dengan budaya “halus” seperti masyarakat Jogja dan Jawa pada umumnya.

Selasa, 07 Oktober 2008

Memulai (Lagi) Dari Titik Nol...

Setelah melaksanakan puasa Ramadhan satu bulan penuh, dan setelah ber-Idul Fitri, katanya kita kembali fitrah. Kita ibarat insan yang terlahir kembali. Bersih, tanpa noda dan dosa. Begitu memang idealnya. Tetapi, itu tentu saja jika puasa kita berkualitas dan kita memaknai Idul Fitri sebagaimana tuntunan Ajaran Islam.

Ya, semua kembali ke titik nol. Jika puasa kita benar, segala dosa kita pada sang Khalik, Insya Allah kembali nol. Segala salah dan khilaf dalam hubungan antar manusia, juga kembali nol, karena telah saling bermaafan pada momen Idul Fitri... Benarkah demikian? Yakinkah kita bahwa semuanya memang telah kembali ke titik nol? Tidak ada manusia yang mampu memastikan. Hanya Dia yang tahu.

Hanya satu yang pasti. Yaitu, banyak diantara kita yang kondisi keuangannya kembali ke titik nol!!! Penyebabnya, apalagi kalau bukan karena "habis-habisan" dalam berlebaran. Selesai lebaran, kita nol lagi. Kemudian kita memulai lagi dari titik nol memperbaiki kondisi keuangan. Dengan sebuah gurauan bernada satire, beberapa teman berceloteh: "masih lumayan kalau memulai lagi dari titik nol, kami bahkan harus memulai lagi dari titik minus"... Nah...begitukah makna Idul Fitri dan berlebaran bagi sebagian dari kita?