Semenjak Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL/Gerhan) dicanangkan tahun 2003 lalu, disadari bahwa salah satu persoalan krusial yang perlu diperhatikan adalah persoalan kelembagaan. Terutama kelembagaan masyarakat (kelompok tani) sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan di lapangan. Pemerintah sangat paham, bahwa tanpa adanya kelembagaan masyarakat yang kuat dan memiliki pranata yang kondusif dalam mendukung semangat rehabilitasi hutan dan lahan, maka tujuan dari kegiatan Gerhan ini akan sulit terwujud. Oleh karena itu, sejak awal, kegiatan pembinaan dan penguatan kelembagaan kelompok tani tidak terlepas dari mata rantai kegiatan Gerhan secara keseluruhan.
Berbagai kegiatan dengan tujuan penguatan kelembagaan kelompok tani selalu memperoleh porsi perhatian pada tiap tahun anggaran. Antara lain untuk kegiatan pelatihan bagi kelompok tani, kegiatan sosialisasi, dan yang terpenting adalah fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok tani. Hanya saja, kegiatan pendampingan kelompok tani ini, semenjak kegiatan Gerhan dimulai tahun 2003 sampai kegiatan tahun 2006, masih terkendala. Penyebabnya antara lain karena peran penyuluh kehutanan belum optimal dan belum dilibatkan secara langsung dikarenakan belum terfasilitasinya penyuluh dalam program Gerhan (sarana komunikasi, insentif, dan lain-lain) selaku petugas pendamping. Selain itu, karena pendampingan terhadap kelompok tani tidak kontinyu dan selalu terputus di akhir tahun anggaran dan memulai lagi pada kegiatan tahun berikutnya. Hal ini disebabkan sistem anggaran tidak mengikuti pola dan mekanisme penyuluhan yang memerlukan kontinyuitas waktu.
Nah, berbagai kekurangan yang dirasakan tersebut telah berupaya ditutupi secara optimal oleh Departemen Kehutanan. Mulai kegiatan Gerhan tahun 2007, kegiatan pendampingan terhadap kelompok tani pelaksana Gerhan telah dilaksanakan dengan konsep multiyears, yaitu dengan merekrut Petugas Lapangan Gerhan (PLG) dari tenaga sarjana teknis Kehutanan/Pertanian. PLG ini dikontrak dengan tahun jamak terhitung Oktober 2007 hingga Desember 2009, dengan tugas utamanya adalah sebagai pendamping kelompok tani pelaksana Gerhan, baik secara teknis maupun administrasi/kelembagaan.
Untuk menunjang optimalisasi pelaksanaan tugasnya tersebut, PLG diberi fasilitas sarana dan prasarana serta anggaran yang relatif memadai. Antara lain sarana transportasi berupa kendaraan roda dua, 1 (satu) unit untuk masing-masing PLG, biaya eksploitasi kendaraan, honorarium, uang pemondokan, uang perjalanan dinas, biaya pertemuan kelompok, biaya temu usaha, biaya ATK, dan lain-lain. Dengan semua fasilitas tersebut, PLG diharapkan bisa bekerja optimal dalam membina kelompok tani pelaksana Gerhan, sehingga berimplikasi pada keberhasilan kegiatan Gerhan secara keseluruhan.
Meskipun keberadaan PLG ini difasilitasi oleh Departemen Kehutanan melalui Unit Pelaksana Teknis di daerah (di Sumatera Barat melalui Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Agam Kuantan), namun secara penugasan PLG bekerja dan bertanggung jawab kepada Dinas yang menangani urusan kehutanan di Kabupaten/Kota. Dinas yang membidangi kehutananan di Kabupaten/Kota berwenang melakukan penetapan penempatan lokasi tugas PLG serta berwenang memberikan penugasan-penugasan lainnya kepada PLG sepanjang penugasan tersebut masih berkaitan dengan kegiatan Gerhan.
Namun, dari fakta yang berkembang di lapangan, kondisi yang terjadi masih belum optimal sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaan PLG tersebut. Penyebabnya antara lain, karena berbagai kondisi, semenjak tahun 2007 anggaran kegiatan hutan rakyat belum bisa dilaksanakan. Hal ini menyebabkan PLG tidak bisa melaksanakan tugas utamanya secara optimal, yaitu membina kelompok tani hutan rakyat. Masalah lainnya adalah persoalan kinerja PLG yang juga belum seluruhnya dan belum sepenuhnya optimal. Hal ini antara lain disebabkan oleh faktor internal dari diri PLG yang bersangkutan, seperti semangat dan motivasi kerja yang rendah, kompetensi yang kurang, dan faktor eksternal berupa kurang harmonisnya hubungan kerja yang terjalin antara PLG dengan dinas di Kabupaten/Kota.
Terlepas dari itu, setelah kurang lebih 1.5 tahun melaksanakan tugasnya, ada beberapa permasalahan yang ditemukan oleh PLG di lapangan. Jika dirangkum, permasalahan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut:
Kelompok Tani yang ada saat ini sifatnya masih sementara, belum permanen, belum ada legalitas (SK penetapan), sehingga organisasi kelompok belum tertata dengan baik. Kondisi ini menyebabkan mekanisme dan dinamika dalam kelompok tidak berjalan. Juga ada sebagian kelompok masyarakat yang belum memahami bagaimana prosedur mendirikan kelompok tani dan bagaimana menata organisasinya.
Sikap mental sebahagian anggota kelompok tani yang belum positif. Seperti: tanggungjawab dan kesadaran merawat tanaman yang telah ditanam masih rendah, hanya mau bekerja jika telah ada upah, sulit dikoordinir/diatur, tidak bisa (tidak mau?) meluangkan waktu untuk kegiatan-kegiatan kelompok, dan lain-lain.
Sebahagian masyarakat belum menyadari nilai ekonomi dari kegiatan RHL yang sedang mereka laksanakan. Masyarakat hanya berfikir pragmatis, karena kegiatan RHL tidak bisa segera menghasilkan, maka masyarakat melaksanakan kegiatan hanya berorientasi untuk memperoleh upah dari keproyekan.
Selalu ada pertanyaan dari masyarakat, khususnya kelompok tani, mengenai kepastian kelanjuatan kegiatan. Kapan pekerjaan akan dilanjutkan, kapan anggaran akan cair, dan lain-lain.
Pada lokasi-lokasi kegiatan yang telah menyelesaikan kegiatan pemeliharaan, kelompok tani pelaksananya banyak yang kemudian menerlantarkan tanaman yang telah ditanam dan kembali lebih fokus menjalani profesi sebagai petani sawah, berdagang, dan lain-lain.
Untuk lokasi kegiatan reboisasi, masyarakat disekitar lokasi hutan yang akan direhabilitasi butuh kepastian apakah mereka akan dipekerjakan oleh pihak III pelaksana reboisasi. Sedangkan pihak III sendiri belum bisa memberi kepastian.
Hubungan kerja antara PLG dengan petugas lain di Dinas Kabupaten/Kota belum sinergis. Sebagian petugas dinas belum memahami fungsi dan manfaat keberadaan PLG, sehingga ada anggapan akan terjadi tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas di lapangan. Selain itu, juga banyak penugasan kepada PLG yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan tanggung jawabnya sebagai Petugas Lapangan Gerhan.
Berkaitan dengan beberapa persoalan diatas, untuk perbaikan ke dapan diharapkan fungsi dan peran PLG bisa direvitalisasi sehingga sesuai dengan harapan dan tujuan dari keberadaannya. Untuk itu, kepada masing-masing PLG diharapkan untuk terus-menerus mengembangkan diri dan meningkatkan kompetensinya, khususnya dibidang teknis kehutanan serta bidang pendampingan kelompok tani, baik secara teknis maupun kelembagaan. Sedangkan kepada pihak dinas di Kabupaten/Kota, diharapkan mampu mendayagunakan keberadaan PLG sesuai dengan fungsi dan tugasnya serta dengan mempertimbangkan porsi peran yang mungkin mereka emban, yang tentunya berkaitan dengan kegiatan Gerhan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Akhir kata, semoga PLG bisa memperlihatkan hasil karya yang lebih nyata sehingga eksistensi PLG diakui dan pantas diperjuangkan!!