Rabu, 11 Februari 2009

"Urang Awak" Kehilangan Identitas

Pasti sangat banyak diantara kita, urang minang yang ada di kampung (di Sumatera Barat), punya sanak saudara di rantau. Ya, sebab angka statistik memang mencatat, bahwa penduduk Sumatera Barat cuma berjumlah lebih kurang 4 juta jiwa. Sedangkan Orang Minang di perantauan, yang tersebar diseluruh nusantara bahkan manca negara, jumlahnya konon mencapai angka 8 juta jiwa. Angka itu membuktikan bahwa Orang Minang memang perantau.

Namun, patut kita pertanyakan, Orang Minang diperantauan itu masihkah mereka memiliki identitas sebagai Orang Minang? Kenapa saya pertanyakan itu? Sebab, sangat banyak dunsanak kita dirantau itu yang sudah tidak tahu dimana kampung halamannya, tidak mengerti sako dan pusakonya. Bahkan yang lebih memprihatinkan, banyak yang sama sekali tidak bisa berbahasa Minang. Bayangkan, bahkan sekedar bahasa ibu pun sudah tidak dimiliki oleh banyak Orang Minang diperantauan. Jika sekedar bahasa saja terlupakan, lebih-lebih lagi budaya dan adat istiadat.

Persoalan Bahasa ini saya anggap sangat penting kita soroti. Sebab, di dunia ini, bahasa daerah/bahasa ibu adalah pembeda utama antara satu sub-etnis dengan sub-etnis yang lain. Sebab, secara biologis, antar sub-etnis tidaklah sumir untuk bisa dibedakan. Kita tentu tidak tahu apakah seseorang itu orang Jawa, orang Batak, orang Minang, atau orang Sunda, hanya dari mengamati mereka secara fisik biologis. Tetapi, jika kita dengar mereka berbicara, setidaknya kita akan bisa menebak dari etnis/sub-etnis manakah mereka. Bahkan saat mereka berbahasa Indonesia sekalipun, kita masih bisa menebak asal mereka dari dialek bahasa daerah mereka saat berbicara. Artinya, bahasa daerah itulah yang menjadi identitas utama suatu sub-etnis. Nah, saat ini, Orang Minang di perantauan banyak yang sudah kehilangan identitas tersebut.

Tak usah jauh-jauh, keluarga besar saya dan istri adalah contohnya. Para sepupu kami yang banyak menetap di Jakarta, rata-rata tidak bisa berbicara bahasa Minang. Jika mendengar mereka berbicara, sama sekali tidak ada tanda-tanda mereka sebagai orang Minang. Ketika berbicara, mereka lebih mencirikan diri sebagai orang Jakarta, orang Betawi, orang Sunda, atau orang Jawa.

Wajar memang demikian. Sebab dialek mereka itu terbentuk oleh sosialisasi dilingkungan sosial mereka. Mereka semenjak lahir bersosialisasi dilingkungan masyarakat heterogen Jakarta, maka jadilah dialek berbahasa mereka seperti layaknya orang-orang Jakarta berbahasa. Nah, yang salah adalah orang tua mereka. Orang tua mereka tidak mengajarkan Bahasa Minang di lingkungan rumah. Menurut hemat saya, seharusnya para orang tua yang notabene Orang Minang tulen itu, mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Di lingkungan rumah tangga, seharusnya Bahasa Minang dijadikan sebagai alat utama komunikasi verbal.

Bandingkan dengan orang Jawa. Dimanapun orang Jawa berada, mereka akan berbahasa Jawa sesama mereka. Anak-anak orang Jawa, kemanapun orang tua mereka merantau, dipastikan tetap bisa berbahasa Jawa. Sebab, dilingkungan rumah tangga, mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka itu. Buktinya, kita tentu tahu, bahkan orang-orang Jawa yang ada di Suriname saat ini, yang sudah merupakan keturunan kesekian dari nenek moyang mereka yang berimigrasi di zaman penjajahan Belanda dahulu, masih mampu berbahasa Jawa dengan sangat-sangat fasih.

Pertanyaannya, kenapa orang Minang dirantau cendrung tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka? Saya mensinyalir, itu karena orang minang itu sendiri sudah mengalami krisis identitas. Krisis identitas itu antara lain berbentuk tidak adanya rasa bangga terlahir sebagai Orang Minang. Banyak penyebabnya. Antara lain, karena adanya berbagai stereotype dan stigma negatif tentang Orang Minang yang terlanjur berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga menyebabkan sebagian Orang Minang dirantau "malu" sebagai Orang Minang. Mereka akhirnya berusaha menghilangkan Identitas ke-Minang-annya . Antara lain dengan tidak mau berbahasa Minang dan tidak mengajarkan Bahasa Minang pada anak-anak mereka. Lebih ektrim lagi, ada yang berusaha keras agar mampu berbahasa atau setidaknya berdialek bahasa sub-etnis lain, supaya mereka tidak disangka sebagai Orang Minang.

Implikasi dari persoalan ini ternyata sangat luas. Orang Minang merasa tidak percaya diri menggunakan Bahasa Minang saat ngobrol antar sesama mereka ketika mereka berada dilingkungan bukan orang Minang. Padahal, kembali kita ambil contoh orang Jawa, teman-teman sekantor saya yang orang Jawa sangat percaya diri dan cuek saja ngobrol menggunakan bahasa Jawa dilingkungan kantor, ditengah-tengah karyawan lainnya yang mayoritas Orang Minang.

Orang Minang juga banyak yang tidak percaya diri (kalau tidak bisa dibilang malu) dengan kemampuan berbahasa Indonesianya karena masih kental dengan dialek Minang. Dan celakanya, sebahagain orang Minang malah justru malu/risih mendengar orang Minang lain berbahasa Indonesia kalau masih kental dialek Minangnya. Orang Minang merasa kampungan kalau berbahasa Indonesia dengan dialek kampung mereka. Padahal, orang Batak tidak pernah malu berbahasa Indonesia dengan dialek batak yang keras, orang Sunda tetap percaya diri berbahasa Indonesia ala Sunda yang mendayu-dayu, orang Jawa juga tidak merasa perlu menghilangkan dialek medok mereka saat berbahasa Indonesia.

Orang Minang malu berbahasa Indonesia dengan dialek Minang ini, menurut hemat saya juga terjadi karena rekonstruksi budaya yang dibangun oleh budaya populer melalui media massa, terutama media audio visual televisi. Media televisi yang dari awalnya memang berkembang di Pulau Jawa (baca Jakarta) , dan dikelola secara teknis dan materi program mayoritas juga oleh orang-orang dari etnis yang ada di pulau Jawa, menyebabkan berbagai tayangan program acara di televisi kental dengan dialek masyarakat Pulau Jawa kebanyakan. Para presenter program-program TV dengan nuansa populer haruslah mereka-mereka yang mampu berdialek gaul ala Jakarta. Sinetron, film, juga penuh dengan dialog-dialog berdialek masyarakat Pulau Jawa. Talkshow, wawancara, mayoritas juga menghadirkan artis, tokoh, maupun pejabat yang bersasal dari Jawa. Nah, masyarakat yang terus-menerus disuguhi oleh tayangan-tayangan tersebut, akhirnya merasa bahwa dialek bahasa Indonesia yang "tepat' itu adalah sebagaimana yang sering ditayangkan dalam berbagai program televisi itu. Yaitu dialeknya orang Jakarta/Betawi, dialek Sunda, dan dialek Jawa tentu saja. Sehingga ketika mendengar dialek-dialek lain, masyarakat merasa itu ganjil. Akhirnya, masyarakat dengan dialek lain, termasuk dialek Minang, merasa "malu" dengan dialek mereka sendiri ketika berbahasa.
Rata Penuh
Aneh memang, Bahasa Indonesia yang sejatinya berakar dari bahasa Melayu, oleh masyarakat justru dipersepsikan lebih cocok digunakan dengan dialek masyarakat di Pulau Jawa. Dialek lain dianggap aneh, termasuki dialek Minang. Dianggap aneh jika berbahasa Indonesia dengan dialek Minang. Padahal Bahasa Minang banyak kemiripan dengan Bahasa Indonesia, dan merupakan salah satu sumber pembentuk Bahasa Indonesia. Alhasil, Orang Minang semakin malu dengan bahasa daerahnya. Dan, Orang Minangpun makin kehilangan identitasnya..






1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setuju bos....
Kita sebagai kaum yang "melek" akan pentingnya budaya, terutama bahasa, sudah sepantasnyalah melestarikan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Semoga dialek daerah tetap lestari ditengah gempuran "dialek media"