Kamis, 02 Juli 2009

Dilema

Ini masih berkaitan dengan catatan saya sebelumnya (Malam Yang Mencekam dan Melelahkan di Rumah Sakit). Sebagaimana saya ceritakan dalam tulisan itu, saya sempat menjadi saksi meninggalnya seorang pasien di ruang High Care Unit (HCU) Bangsal Anak, dimana anak saya juga sempat dirawat di sana.

Pasien yang meninggal itu, seorang anak laki-laki usia 8 tahun. Setelah tanya sana-sini, saya dapat informasi, rupanya bocah itu meninggal karena keracunan minuman. Menurut cerita yang saya dengar dari obrolan sesama penunggu pasien di ruangan itu, anak itu keracunan setelah meminum minuman kemasan yang sudah kadaluarsa, yang dijual oleh pedagang jajanan di sekolahnya. Jadi ceritanya, sepulang sekolah, anak itu sudah tidak enak badan, muntah-muntah dan demam. Tapi oleh orang tuanya dikira hanya masuk angin biasa, dan diberi pengobatan sekedarnya. Sampai akhirnya anak itu jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dilarikan ke rumah sakit. Namun, malang. Jiwa anak itu tidak tertolong. Barangkali karena sudah terlambat dan racun itu sudah terlanjur menjalar dan merusak organ-organ dalamnya yang vital.

Kemudian saya juga mendengar obrolan para penunggu pasien diruangan itu, yang panjang lebar membahas "kasus" itu. Intinya, mereka berpendapat bahwa anak-anak jangan dibiarkan jajan sembarangan di sekolah. Jajanan yang dijual oleh para penjual jajanan itu banyak yang berbahaya, tidak sehat, mengandung bahan-bahan yang tidak layak dikonsumsi, terutama untuk anak-anak. Jadi, sebaiknya anak-anak kita dibekali saja makanan/jajanan dari rumah. Kalau mereka tidak mau bawa bekal dari rumah, beri penekanan tegas pada anak-anak kita itu, jangan jajan sembarangan di sekolah, berbahaya!! Demikian rata-rata pendapat mereka.

Mendengar obrolan seperti itu menimbulkan pemikiran yang dilematis pada diri saya. Disatu sisi, keselamatan anak kita memang harus kita lindungi, bahkan harus dinomor satukan. Namun, disisi lain, lihatlah para penjual jajanan di sekolah-sekolah anak-anak kita itu. Mereka rata-rata masyarakat ekonomi lemah, yang berjuang mencari nafkah untuk sekedar menyambung hidup diri dan keluarga mereka.

Kalau kita bisa sedikit berempati, rasakanlah beratnya perjuangan mereka. Betapa, demi membawa sedikit uang untuk menutupi rasa lapar keluarga mereka dirumah, mereka mati-matian mencari nafkah. Bayangkan beratnya perjuangan para pedagang yang harus memikul atau mendorong gerobak dagangannya di tengah panas terik dan polusinya udara kota. Sedangkan kita yang berada diatas mobil saja kadang merasa sumpek di atas mobil jika AC mobil kita dirasa kurang dingin. Apalagi mereka yang harus mendorong gerobak, betapa kepanasan dan letihnya mereka. Tapi Kita kadang malah mengumpat para pedagang gerobak itu. Bikin macet jalan aja!!

Juga, bayangkanalah, andai semua anak kita dibekali makanan dari rumah, atau kita larang jajan di sekolah, bagaimana nasib para pedagang itu? Pernahkah terbayangkan oleh kita? betapa hibanya hati pejuang-pejuang kehidupan itu mendengar ocehan lugu anak-anak kita pada teman-teman mereka seperti ini, "hei teman-teman, jangan beli jajanan Bapak itu, kata Ibuku jajanan itu berbahaya!!"

Mereka akan pulang dengan dagangan yang utuh karena tidak ada pembeli. Tidak ada uang yang bisa dibawa pulang. Dengan apa mereka harus membeli beras dan sekedar lauk pauk sederhana untuk memberi makan perut-perut lapar keluarga mereka? Terbayangkankah oleh kita? mereka dengan menahan air mata berusaha menenangkan anak mereka yang merengek, "nak..tahan saja rasa lapar itu, kita tak punya uang untuk beli beras..."

Sungguh dilematis. Saya yakin, para pedagang yang sederhana itu, tidak bermaksud meracuni anak-anak kita. Kalaupun memang makanan dan minuman yang mereka jual itu berbahaya, itu semata-mata karena ketidak tahuan dan keterbatasan mereka.

Mereka tidak terlalu paham mengenai zat kimia yang berbahaya untuk makanan, mereka tak paham soal kadaluarsa. Atau, kalaupun mereka sedikit paham, kemiskinan dan keterbatasan modal menyebabkan mereka menutup mata. Mereka tak mampu membeli zat pencampur makanan yang tidak berbahaya, karena mahal, sedangkan modal sangat terbatas. Bagaimana mungkin kita bisa mengharapkan para pedagang dengan modal pas-pasan seperti penjual jajanan sekolah itu mau membuang dagangan mereka yang sudah kadaluarsa? Barangakali mereka berpendapat, "ah, dari pada dibuang, sayang, jual aja, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa pada anak-anak pembeli itu.."

Selain itu, sadarkah kita? Dengan membuatkan bekal makanan untuk anak-anak kita, kita hanya memperkaya para pemodal besar saja. Jika misalnya anak kita, kita bekali dengan sandwich atau roti bakar, setidaknya kita mesti belanja roti tawar, meses, selai, atau mentega/margarin. Semua itu hanya bisa kita beli di swalayan atau setidaknya di warung-warung yang agak besar. Sebuah paradoks, kita memperkaya orang kaya disaat banyak orang miskin yang sebenarnya dapat tertolong oleh sedikit rupiah yang dibelanjakan olah anak-anak kita di sekolah mereka.

Kenapa hidup penuh dilema yang menyesakkan seperti ini???

Tidak ada komentar: